Kontroversi penggunaan Bitcoin secara global terus berlanjut setelah berita bangkrutnya salah satu lembaga penyimpanan Bitcoin besar Mt Gox. Hal tersebut ternyata tidak menyurutkan langkah penggerak Bitcoin untuk mendorong adopsinya di Indonesia. Salah satu penyedia layanan pembayaran Bitcoin lokal Bitwyre mengumumkan penerimaan penggunaan Bitcoin sebagai sarana pembayaran di bar dan restoran Upstairs Cikini, Jakarta.
Seperti disebutkan oleh Dendi Suhubdy dari Bitwyre, sebagai bentuk promosi penggunaan Bitcoin, segelas bir di bar tersebut bisa diperoleh dengan harga 4 mBTC (mendekati Rp 30 ribu). Selain di Upstairs, Bitwyre berencana memasukkan skema pembayaran menggunakan Bitcoin di Bakoel Coffee, Potato Head Garage Jakarta dan Bali, Ku De Ta Bali, dan semua restoran di Gili Trawangan.
Selain adopsi secara offline, IndoWebster sebagai salah satu layanan penyimpanan online terbesar di Indonesia juga Maret ini telah menerima pembayaran menggunakan Bitcoin. Yang menarik, semua langkah kerja sama ini dilakukan setelah Bank Indonesia menyatakan tidak mendukung penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran diakui, meskipun tidak ada sanksi tegas terhadap penggunaannya.
Menurut Oscar Darmawan dari Bitcoin Indonesia, penutupan Mt Gox tidak berpengaruh terhadap adopsi Bitcoin di ranah lokal. Penutupan “toko emas besar” seperti Mt Gox dianggap tidak berpengaruh apapun terhadap jaringan Bitcoin. Yang terpengaruh secara langsung adalah orang-orang yang menitipkan “emasnya” (dalam hal ini Bitcoin) ke Mt Gox dan Mt Gox harus bertanggung jawab kepada mereka (nasabah) secara hukum, ungkap Oscar.
Terkait dengan keamanan penyimpanan dan transaksi Bitcoin, Oscar menyebutkan, “Hampir semua kejadian di-hack oleh BTC bukan terjadi karena kelemahan sistem BTC tetapi lebih karena kesalahan dari pihak manajemen sendiri dalam menjaga account mereka, bukan karena kesalahan protokol Bitcoin. Saya merasa sistem Bitcoin sampai hari ini sangat aman. Sedikit informasi, keamanan dari Bitcoin (yang) menggunakan sistem public key dan private key adalah teknologi yang digunakan di dalam tingkat keamanan (sekelas) MasterCard, https, dan landasan security di dalam (dunia) IT.”
Seharusnya, menurut Oscar, Mt Gox hanyalah berfungsi tempat jual beli (exchanger), bukan dompet Bitcoin. Dalam bahasa awam, Oscar menganalogikan, “Sebagaimana kalau di pedesaan / kota kecil, banyak orang menitipkan emas kepada toko emas, sehingga kalau toko emasnya bangkrut/kerampokan maka otomatis emasnya ikut hilang padahal secara on paper ada angkanya.”
Tentu saja Bitcoin masih belum bisa diterima secara luas dengan optimisme yang sama. Api Perdana sebagai pendiri startup finansial Ngatur Duit dalam artikelnya mengemukakan keraguan tentang apakah Bitcoin mampu mengatasi tiga tantangan terbesarnya — yaitu kestabilan nilai, paradoks regulasi, dan paradoks inflasi — untuk menjadi perangkat pembayaran masa depan. Dijelaskan oleh Api, paradoks regulasi dan inflasi Bitcoin adalah fakta bawa Bitcoin sesungguhnya membutuhkan regulasi dan inflasi supaya lebih terjamin dan bisa berkembang.
Api masih menilai Bitcoin lebih pas diposisikan sebagai komoditas, seperti layaknya emas yang biasa dianalogikan, ketimbang mata uang itu sendiri. Saya pikir persepsi masyarakat luas saat ini tidak jauh berbeda dengan pendapat Api dan tugas para advokat dan penggiat Bitcoin di Indonesia lah untuk membuktikan bahwa pendapat ini (dalam jangka panjang) tidak tepat.
[Ilustrasi foto: Shutterstock | Berita Bitwyre via Coindesk]