Tahun ini ditandai dengan menjamurnya layanan online yang berhubungan dengan tiket hotel dan pesawat di Indonesia. Memang fenomena ini tidak berdiri sendiri. Faktor semakin baiknya taraf hidup kaum kelas menengah di Indonesia dan semakin terjangkaunya tarif pesawat membuat tren baru di sini. Dalam beberapa tahun terakhir, angka konsumsi yang berkaitan dengan kegiatan perjalanan ini meningkat pesat. Peningkatan konsumsi tentu saja dijawab dengan peningkatan penyedia layanan. Lalu apa yang membedakan di antara semuanya?
Saya mencoba membedakan dua layanan ini berdasarkan asalnya. Satu sisi biasanya memiliki afiliasi dengan perusahaan travel tradisional yang sudah bertahun-tahun berkecimpung di bidang ini — dan memiliki koneksi yang luas secara langsung dengan para pemain di dalamnya. Mereka sudah memiliki basis pengguna offline yang loyal dan sekarang mencoba membangun pasar untuk pengguna online.
Biasanya pengguna online memiliki ciri yang berbeda dengan pengguna offline. Mereka ini cenderung memiliki sifat Internet savvy, berusia muda, berbudget terbatas dan tidak terlalu pusing dengan tetek bengek seperti pelayanan dan guidance (misalnya pengurus atau pemandu trip)
Jenis yang lain adalah murni berupa layanan online yang berafiliasi dengan layanan online internasional lainnya. Ini lebih ke arah reseller, di mana layanan online ini tidak perlu lagi memiliki koneksi langsung dengan maskapai penerbangan dan pengelola hotel. Yang perlu disiapkan oleh pengguna ini adalah integrasi dengan layanan miliknya, customer service yang memadai, serta bagaimana caranya supaya terjadi banyak pemasukan — melalui iklan atau bentuk promosi lainnya.
Seleksi alam pasti terjadi. Dengan layanan yang mirip-mirip seperti ini, seleksi bakal terjadi dari bagaimana layanan ini bersaing memberikan harga paling terjangkau, layanan paling menyenangkan dan tentunya eksekusi terbaik. Ini wajar terjadi di semua bidang. Saya pribadi tidak ingin kasus yang terjadi dengan seorang travel blogger terkenal dengan sebuah layanan regional ternama beberapa waktu lalu — para pembaca tentu sempat dengar kasus ini — dialami melalui layanan startup kita.
Apa yang terjadi jika ternyata konsumen tidak memperoleh kamar yang dipesan melalui layanan kita? Apa yang terjadi jika konsumen yang membeli tiket melalui layanan kita malah dimasukkan ke dalam daftar tunggu penumpang dan gagal berangkat? Pastikan startup di bidang ini sudah memikirkan worst case yang mungkin terjadi seperti ini.
Sebagai added value, startup yang baik di bidang ini bakal memastikan seluruh kebutuhan konsumennya terpenuhi — termasuk melakukan cek dan ricek dengan para partnernya. Permasalahan dengan pemasaran online adalah kencangnya pemasaran dari mulut ke mulut. Sekali saja layanan kita memberikan kesan buruk dan itu tersebar di jejaring sosial, pada saat itu juga kepercayaan masyarakat akan runtuh.
Keruntuhan itu bukan saja dengan startup tertentu, tapi bisa menjadi stigma secara umum bahwa layanan online tidaklah reliable dan terpercaya, apalagi buat pengguna newbie yang ingin mencoba kemudahan layanan online. Cost untuk membersihkan stigma ini tentu saja terlalu besar jika harus ditanggung oleh seluruh komunitas yang baru membangun kepercayaan publik.