Beberapa bulan terakhir bermunculan berita mengenai sulitnya akses internet untuk pembelajaran jarak jauh, terutama para pelajar yang berada di wilayah rural atau terpencil. Ada yang terpaksa berkumpul di pemakaman demi mendapat akses internet yang lebih baik, ada pula yang menggunakan HT (handie talkie) karena dirasa lebih murah dibandingkan harus membeli kuota internet. Kondisi ini semakin memperlihatkan kesenjangan digital atau teknologi yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Pandemi COVID-19 berhasil memaksa dunia pendidikan bertransformasi dengan cepat namun pada waktu bersamaan turut mengangkat beberapa masalah krusial ke permukaan. Masalah umum, yang hadir sejak dulu, mencakup perbedaan status sosial dan pembangunan infrastruktur yang tidak merata, sehingga memberikan dampak nyata pada kesenjangan akses pendidikan berkualitas.
Sejak pemerintah menerapkan kebijakan pembelajaran jarak jauh di bulan Maret 2020, jurang antara si miskin dan si kaya, anak kota dan anak daerah semakin terlihat. Hanya saja, kita terlalu fokus ke topik yang itu-itu saja. Salah satunya adalah isu teknologi.
Teknologi sesungguhnya memberikan peluang solusi pemerataan pendidikan yang lebih luas, tapi ketidaktersediaan infrastruktur membuat kesenjangan semakin menjadi.
Disrupsi pendidikan di masa pandemi
Sebelum Covid-19 melanda seluruh penjuru tanah air, disrupsi dalam dunia pendidikan sudah dimulai sejak lama. Selama satu dekade terakhir, gelombang digital yang melanda industri pendidikan telah menciptakan disrupsi, salah satunya di bidang teknologi pendidikan atau edtech.
Layanan edtech di Indonesia mulai menjadi hype memasuki tahun 2015an – kendati startup seperti Zenius sudah ada sejak tahun 2004. Pemain besar lain, seperti Ruangguru dan HarukaEdu, baru debut di 2013. Popularitas platform tersebut juga mengikuti tren digital yang berkembang di masyarakat, termasuk sebaran broadband yang meluas, makin akrabnya masyarakat dengan layanan berbasis aplikasi, hingga opsi pembayaran digital yang lebih banyak.
Tim riset DSResearch baru saja mempublikasi laporan bertajuk Edtech Report 2020 yang membahas seluk beluk tentang dunia teknologi pendidikan di Indonesia.
Ketika tahun 2020 dimulai, tepat sebelum COVID-19, pendidikan online mulai mendapatkan pengakuan karena dianggap cukup, atau bahkan lebih efektif, daripada pendidikan kelas tradisional. Teknologi pembelajaran digital yang inovatif memasuki pasar, sedangkan semakin banyak orang yang terhubung ke area daring di seluruh dunia berkat investasi publik dan swasta dalam infrastruktur jaringan. Literasi digital berkembang di tengah masyarakat, terutama di kalangan anak muda.
Tantangan pembelajaran jarak jauh
Setelah Mendikbud menyatakan kondisi Pandemi COVID-19 tidak memungkinkan kegiatan belajar mengajar berlangsung secara normal, terdapat ratusan ribu sekolah ditutup sementara untuk mencegah penyebaran. Sekitar 68 juta siswa kini melakukan kegiatan belajar dari rumah,dan kurang lebih empat juta guru melakukan kegiatan mengajar jarak jauh . Hal ini menciptakan peluang untuk industri teknologi berperan dalammenyambung pendidikan para pelajar di seluruh penjuru tanah air.
Konsep pembelajaran jarak jauh (PJJ) ini sebenarnya bukan hal baru, namun keragaman wilayah Indonesia, menjadi sebuah tantangan yang besar untuk bisa mewujudkan pemerataan akses pendidikan.
Sebagaimana diatur dalam SE Mendikbud No. 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan pada Masa Darurat Penyebaran Covid-19, satuan pendidikan harus menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh sejak akhir Maret 2020. Tidak bisa dipungkiri, metode ini menyisakan banyak celah, namun saat ini pembelajaran jarak jauh secara daring merupakan skenario terbaik dari yang terburuk.
Dalam pelaksanaannya, PJJ menimbulkan respon yang sangat variatif dari seluruh elemen sekolah (guru, siswa dan wali murid). Ada yang menyikapi dengan positif, ada yang mencanangkan protes, ada pula yang masih kebingungan. Dukungan fasilitas, administrasi, serta latar belakang ekonomi siswa bisa dikatakan menjadi pemicu reaksi terhadap perubahan dalam dunia pendidikan. Sekolah yang termasuk kriteria golongan menengah ke atas tentu tidak menemukan masalah signifikan dalam menerapkan konsep PJJ ini.
Dalam sebuah paper yang dipublikasi CIPS, yang membahas tantangan dalam Pembelajaran Jarak Jauh, disebutkan pergeseran tiba-tiba dari metode tatap muka di kelas ke pembelajaran jarak jauh di rumah memperlihatkan perlunya peningkatan kapasitas guru. Laporan ini juga turut membahas akses yang tidak merata ke Internet, disparitas dalam kualifikasi guru dan kualitas pendidikan, serta kurangnya keterampilan TIK menjadi kerentanan dalam inisiatif pembelajaran jarak jauh di Indonesia.
Tim DailySocial berbincang dengan salah satu pengamat pendidikan, Budi Muhamad, yang juga dikenal sebagai Bukik, mengenai isu ini.
Ia menyampaikan, “Pada pembelajaran tatap muka, seringkali guru berperan sebagai menara kontrol yang memantau, menegur dan mendisiplinkan perilaku murid. Pembelajaran jarak jauh membuat guru kehilangan kemampuan untuk mengontrol murid. Tidak ada pilihan peran bagi guru selain menjadi fasilitator. Sayangnya hanya sedikit guru yang siap berperan sebagai fasilitator, apalagi orangtua yang memang tidak pernah mengikuti pendidikan menjadi pendidik.”
Tidak kenal batasan umur, hampir di semua jenjang menerapkan sistem pembelajaran jarak jauh. Untuk jenjang pendidikan usia dini, dasar, dan menengah pertama, jet lag atau semacam cultur shock rentan terjadi. Pada dasarnya, di usia 12 tahun ke bawah, pendidikan tidak hanya soal pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga nilai dan emosi. Di jenjang pendidikan tersebut teknologi digital bukan solusi yang konkret.
Namun, di jenjang lainnya, seperti SMA dan perguruan tinggi, teknologi digital harusnya bisa diserap dan diadopsi di beberapa aspek. Beberapa layanan teknologi pendidikan sudah mulai menawarkan blended learning, pembelajaran yang menggabungkan tatap muka dan online.
Yang masih jadi persoalan adalah mereka yang berada di jenjang SMK atau sekolah vokasi, yang notabene merupakan sekolah yang mengandalkan keterampilan sebagai output para siswanya. Di sini digital secara penuh mungkin membutuhkan waktu, terlebih untuk mereka yang butuh lab untuk praktek, dan proyek-proyek lapangan lainnya.
Bukik menambahkan, “Pembelajaran jarak jauh membuat perubahan ritme belajar. Ritme belajar yang selama ini dikontrol guru, berubah menjadi diatur guru, murid dan orangtua. Dulu ketiga pihak bersepakat mengenai waktu pembelajaran. Misal jam 8-12, maka guru, murid dan orangtua melakukan upaya-upaya agar terselenggara pembelajaran pada jam yang telah disepakati itu. Sementara pada pembelajaran jarak jauh, ada sejumlah faktor yang menjadi pembeda mulai dari kemampuan orangtua, kesibukan orangtua, jumlah anak, ketersediaan gawai dan akses internet.”
Pandemi memaksa sektor pendidikan bertransformasi dengan cepat serta mengadopsi teknologi digital secara masif dan menyeluruh. Pemerintah, melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sudah menawarkan solusi, beberapa kali direvisi untuk menyesuaikan kondisi.
Beragam upaya untuk tetap berdaya
Dunia pendidikan Indonesia bak tersambar petir di siang bolong. Pandemi datang di saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sedang mulai gencar menerapkan program kerjanya. Sejumlah rencana terpaksa harus mundur digantikan dengan rencana-rencana lain untuk segera mengantisipasi dampak pandemi yang semakin meluas. Jika dipetakan secara lebih luas, problemnya mungkin ada banyak tapi banyak pihak sudah mulai mengambil peran masing-masing.
Tak hanya pemerintah, gerak cepat dalam rangka membantu dunia pendidikan datang dari sejumlah pihak. Seperti operator yang berbondong-bondong menghadirkan paket kuota khusus belajar di rumah dengan harga terjangkau. Tak hanya itu pemerintah juga mencanangkan subsidi kuota untuk semua elemen pendidikan, mulai dari guru, siswa, mahasiswa hingga dosen.
Di sisi lain, kondisi ini adalah laboratorium sempurna bagi layanan teknologi pendidikan. Demand akan layanan digital sedang tinggi-tingginya. Mereka yang notabene masuk sebagai layanan teknologi pendidikan pun ramai-ramai mencoba menghadirkan solusi. Mulai dari yang memudahkan akses konten hingga melengkapi teknologi yang memungkinkan pengelolaan kelas.
Kemendikbud juga bermitra dengan industri edtech. Salah satunya Quipper untuk memberikan tayangan-tayangan video pembelajaran melalui kanal TV Edukasi yang ditayangkan di TVRI secara gratis. Upaya tersebut merupakan salah satu cara untuk tetap memberikan konten edukasi bagi siswa yang tidak dapat mengakses internet dan hanya memiliki akses frekuensi TV (TVRI). Sayangnya hal itu belum cukup.
Terlalu sering menghadapi perangkat gawai membuat anak-anak usia sekolah dasar dan menengah cenderung lebih cepat jenuh. Hal ini menjadi tugas dan beban berat bagi para pengajar. Di titik ini bantuan orang tua atau wali murid sangat dibutuhkan.
Kerja sama antara guru dan orang tua menjadi sebuah keharusan. Keduanya harus memiliki komitmen untuk membuat anak belajar dengan cara yang menyenangkan namun tetap bisa menambah pengetahuan. Kurikulum yang ada tak mungkin dikejar dengan kondisi sekarang ini. Untuk itu pemerintah mengeluarkan kurikulum darurat, dengan harapan anak-anak tetap belajar dan bertumbuh di tengah carut marut kondisi pandemi ini.
Sementara untuk jenjang yang lebih tinggi, mau tidak mau harus ada solusi yang lebih baik. Terlebih untuk sekolah vokasi untuk pelajaran berbentuk praktek.
Untuk jenjang SMA, para siswa bisa terbantu dengan adanya layanan teknologi pendidikan dengan sederet konten pembelajaran yang dikemas menarik dan penuh gamifikasi. Meskipun demikian, pengalaman praktek sulit tergantikan. Pengalaman langsung terlibat dalam sebuah proyek, memegang alat berat, dan semacamnya tidak bisa digantikan dengan simulasi atau sekadar pembelajaran online. Sesuatu yang sampai saat ini masih menjadi persoalan.
–
Prayogo Ryza berkontribusi untuk penulisan artikel ini