Di beberapa negara di dunia laju bisnis Uber menjadi sorotan. Ada sorotan yang berdampak pada penolakan oleh para penyedia jasa transportasi konvensional seperti di Indonesia dan Prancis tempo hari, namun ada juga tanggapan positif dari warga dan wisatawan yang terbantu dengan sistem yang dikelola Uber. Di Tiongkok kondisinya sedikit berbeda, Uber menjadi sorotan karena mendapat tantangan serius oleh produk lokal, Didi Chuxing.
Persaingan bisnis ini menjadi begitu menarik untuk disimak karena menjadi sebuah titik puncak dari persaingan solusi transportasi berbasis teknologi (on-demand) lokal vs luar. Sesuatu yang seharusnya bisa ditiru oleh negara-negara lain untuk bisa memunculkan “Uber” lokal.
Didi Chuxing (selanjutnya disebut Didi) yang sebelumnya memiliki nama Didi Kuaidi dikenal dekat masyarakat setempat karena selain bersaing secara harga, Didi juga disebutkan akan segera menyematkan teknologi-teknologi mutakhir seperti artificial intelligence dan machine learning sebagai kunci untuk lebih memahami pengguna mereka.
Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi dalam keberhasilan Didi dalam persaingannya melawan Uber yakni localization (konten yang didasarkan pada kultur lokal), subsidi, bagaimana Didi memandang teknologi, dan tentu dukungan berupa modal dari perusahaan-perusahaan top dari dalam dan luar Tiongkok.
Untuk masyarakat Tiongkok yang akrab dengan produk-produk lokal macam Weibo untuk media sosial, JD dan Alibaba untuk e-commerce, dan layanan-layanan lain, hadirnya Didi tentu menjadi alternatif yang menarik untuk layanan perjalanan menggantikan Uber. Hingga pada akhirnya Uber benar-benar ‘menyerah’ dan akhirnya menjual operasional mereka yang ada di Tiongkok kepada Didi.
Mungkin apa yang dilakukan Didi di Tiongkok bisa ditiru startup-startup lain di negara mana pun, termasuk Indonesia, namun dengan sedikit penyesuaian. Penyesuaian di sini adalah dengan tidak mengartikan localization yang dilakukan Didi hanya dengan jargon-jargon bernada nasionalis macam “gunakan produk-produk dalam negeri” dan lain sebagainya.
Localization harus lebih dimaknai dengan menambahkan pemahaman terhadap kebiasaan dan budaya-budaya setempat. Salah satunya adalah memastikan para mitra paham rute daerah sekitar sehingga bisa menghindarkan penumpang dari kawasan-kawasan macet dan lain sebagainya. Selain itu, bentuk kerja sama dengan driver juga bisa menjadi faktor sukses lainnya. Misalnya dengan menambah porsi persentase bagi hasil atau bentuk subsidi-subsidi lainnya.
Faktor teknologi menjadi faktor lain. Masyarakat pada umumnya menilai kualitas layanan transportasi online tidak terlepas dari kemudahan akses dan kestabilan aplikasi yang digunakan. Untuk itu membangun infrastruktur dan aplikasi yang baik bisa berpengaruh pada tingkat kepuasan pelanggan, termasuk juga bagaimana menjaga kerahasiaan pelanggan.
Selain beberapa faktor internal, faktor eksternal kesuksesan Didi didapat dari kebijakan pemerintah. Selain mendukung bisnis berkembang kebijakan ketat terhadap pola kepemilikan kendaraan umum dan surat izin mengemudi untuk warganya juga berperan untuk meningkatkan penggunaan transportasi umum, apa pun itu.
Di Indonesia hal tersebut yang masih menjadi masalah. Harusnya jika pemerintah ingin meningkatkan penggunaan transportasi umum untuk mengurai kepadatan kendaraan di jalan mendorong transportasi umum seperti kereta, busway, termasuk juga layanan transportasi online harus dimulai dari sekarang. Karena diakui atau tidak potensi mengurangi kemacetan juga ada pada layanan-layanan transportasi online macam Go-Jek, Uber, Grab dan lainnya.