Dark
Light

Kebangkitan Program Akselerasi dan Inkubasi Startup di Indonesia

2 mins read
April 16, 2015

Sesi Diskusi Kebangkitan Program Akselerasi dan Inkubasi Startup di Indonesia  / DailySocial

Beberapa tahun yang lalu, terdapat banyak program akselerator dan inkubasi untuk startup di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, gaung mereka seolah-olah menghilang hingga pada titik di mana hanya beberapa saja yang dirasa masih aktif. Padahal kedua program ini memiliki peran penting di masa-masa awal pertumbuhan startup. Ajang Echelon Indonesia 2015 pun memberikan sesi diskusi khusus terkait dengan problem ini.

Dengan kondisi “mati suri” yang dialami program inkubasi dan akselerasi startup, Echelon Indonesia 2015 memberikan sesi diskusi khusus di hari kedua. Sesi ini diisi oleh Peter Goldsworthy (Ardent Labs), Aryo Ariotedjo (CEO and Founder Grupara), Nicko Widjaja (Director Indigo Incubator), dan Antonny Liem (CEO Merah Putih Inc) selaku pembicara. Founder dan CEO Picmix Calvin Kizana bertindak sebagai moderator untuk sesi diskusi ini.

Inkubasi vs Akselerasi

Pada dasarnya program inkubasi dan akselerasi startup memiliki tujuan yang sama, yaitu mempercepat pertumbuhan startup di masa-masa awalnya. Perbedaan mendasar yang dimiliki oleh kedua program ini ada pada waktu yang dihabiskan oleh startup ketika mengikuti salah satu di antaranya saat masa pengembangan bisnis mereka. Program inkubasi biasanya memakan waktu lebih lama (6 bulan atau lebih), sedangkan akselerator biasanya berlangsung lebih cepat (3 bulan atau lebih).

Hubungan antara startup dan program inkubator atau akselerator sebenarnya adalah hubungan yang saling menguntungkan. Program akselerator dan inkubator tak akan berjalan tanpa adanya startup yang mengikuti salah satu di antaranya. Sedangkan startup, butuh salah satu dari kedua program ini untuk membantu mereka menumbuhkembangkan bisnisnya di masa-masa awal mereka memulai.

Menurut Antonny, saat ini ada paradigma yang salah untuk program inkubasi dan akselerasi di tengah-tengah ekosistem startup yang ada di Indonesia. Banyak startup yang menganggap kedua program tersebut sama halnya seperti Venture Capital, padahal kenyataanya tidak seperti itu. Antonny menjelaskan bahwa kedua program tersebut menyediakan mentoring, working space, dan juga capital. Aryo pun menyampaikan hal yang serupa.

“Yang kami lakukan adalah membantu mereka (startup) untuk membuka network, mencarikan mentor, dan juga mengadakan workshop. Lalu setelah berjalan 3 atau 6 bulan (dibimbing untuk pengembangan bisnis), mereka akan menemukan bentuk produk terbaik untuk mereka,” ujar Aryo.

Nicko pun menegaskan bahwa program inkubasi atau akselerasi juga akan membantu startup dalam mencari model bisnis terbaik untuk mereka. Dengan demikian, jika sudah “lulus” nanti dari program yang diikuti, mereka tetap dapat mengembangkan bisnisnya. Tetapi, senada dengan Antonny, Nicko juga mengungkapkan bahwa baik program akselerator ataupun inkubator pun tak akan banyak berharap dengan waktu yang diberikan (3-6 bulan) dapat menghasilkan startup yang luar biasa. Oleh sebab itu kedua program akan selektif dalam memilih startup.

“Kami tak berharap banyak dengan waktu yang kami berikan akan benar-benar berhasil. Kami hanya akan menginkubasi startup yang terbaik saja untuk mengikuti program,” kata Nicko.

Apa yang diutarakan oleh Nicko juga diamini oleh Peter. Menurut Peter, startup yang baik harus memiliki value yang lebih. Hal tersebut dapat dilihat dari tim yang dimiliki, mulai dari founder, co-founder, dan tim teknis lainnya.

Menarik startup berproduk baik agar mengikuti program inkubasi atau akselerasi

Nicko mengungkapkan bahwa salah satu cara untuk menemukan startup yang baik adalah melalui sebuah ajang kompetisi seperti hackathon misalnya. Dari sana, menurut Nicko, pemain program inkubasi dan akselerasi bisa menemukan produk-produk yang bagus dan bisa dikembangkan lebih jauh. Tapi tak berhenti sampai di situ, langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah pendekatan secara personal terhadap pemilik produk itu. Pembicara lain juga satu suara dengan Nicko untuk hal ini.

“Bagi saya, selain dari sisi produk, saya juga harus tahu siapa dan apa di balik itu semua. Saya perlu tahu siapa founder-nya, apa yang mereka butuhkan, apa latar belakang mereka, dan apa yang mereka inginkan dengan produknya. Kemudian juga saya akan menanyakan apakah mereka punya technical founder atau tidak untuk berjaga-jaga,” ujarnya.

Melalui diskusi ini, dapat diambil kesimpulan bahwa untuk membuat ekosistem ini berjalan, perlu peran dari kedua belah pihak, baik itu startup ataupun program inkubasi dan akselerasi. Program inkubasi dan akselerasi tak dapat berjalan dengan semestinya jika tak ada startup yang mengikuti salah satu di antaranya. Begitu juga dengan startup, jika mereka memustuskan untuk tak mengikuti salah satu dari program yang ada, mereka harus rela menghabiskan waktu lebih lama untuk menumbuhkembangkan bisnisnya.

Satu-satunya hambatan yang mungkin ada yakni kesamaan visi antara startup dan kedua program tersebut. Jika visi tak sejalan tentu akan membuat hubungan yang terjalin menjadi kurang harmonis. Akan tetapi, dengan masih banyaknya program inkubasi dan akselerasi yang masih aktif di Indonesia, seharusnya pelaku startup dapat menemukan satu yang memiliki visi sama dengan mereka.

Previous Story

Perang Besar Antar Hantu di Ghost Battle 2

Next Story

Apple Akan Gelar WWDC 2015 Pada 8 – 12 Juni

Latest from Blog

Don't Miss

Grab akan resmi IPO pada tanggal 2 Desember ini. Apakah IPO-nya akan sukses?

Hal-hal Menarik yang Perlu Diperhatikan Menjelang IPO Grab

Pada masanya, desas desus mengenai debut Grab di Nasdaq diproyeksi
Para founder startup terpilih di acara Graduation Day / Grab

Grab Ventures Velocity x Sembrani Wira Loloskan 6 Startup, Fokus Digitalisasi UMKM

Pada bulan Juni 2021 lalu, Grab dan BRI Ventures mengumumkan