Saya berkesempatan mendengarkan langsung pandangan-pandangan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dalam acara yang digagas CSIS dan Kementerian Luar Negeri akhir September lalu. Jonan, menurut saya, memiliki visi yang menarik soal bagaimana mengembangkan transportasi di negara kita yang berbentuk kepulauan ini. Sayangnya, keputusannya tadi malam tidak mencerminkan keberpihakan terhadap publik.
Jonan, yang memiliki latar belakang pendidikan ekonomi dan sempat lama berkecimpung di bebeberapa institusi finansial, memutuskan layanan transportasi berbasis aplikasi dilarang beroperasi di Indonesia.
Yang dicontohkan sebagai layanan di segmen ini adalah keluarga Go-Jek (Go-Ride dan Go-Box), keluarga Grab (GrabBike dan GrabCar), Uber, Blu-Jek, dan Ladyjek. Dasar hukum yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 Tentang Angkutan Jalan.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Djoko Sasono dalam pernyataannya menyebutkan:
“Ketentuan angkutan umum adalah harus minimal beroda tiga, berbadan hukum, dan memiliki izin penyelenggaraan angkutan umum.”
Jonan sendiri mengatakan:
“Aplikasi online itu sistem reservasi. Sementara ojek pangkalan selalu dianggap sebagai kegiatan non-transportasi publik. Grab Taxi atau apapun namanya boleh saja, sepanjang kendaraannya memiliki izin sebagai transportasi umum [berpelat kuning], termasuk harus di-KIR. Jadi, silakan mengajukan ke dinas perhubungan setempat.”
Semua layanan tersebut di atas dianggap hanya memenuhi 1-2 aspek dan gagal memenuhi tiga poin yang termaktub secara keseluruhan. Kemenhub menunjuk unsur keselamatan sebagai basis pelarangan ini, sementara regulator lupa bahwa selama ini mereka membiarkan taksi gelap dan ojek pangkalan beroperasi. Mereka pun lupa memberi sanksi bagi layanan transportasi publik yang sudah tidak layak beroperasi di abad ke-21.
Pro dan kontra di kalangan pemerintahan
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara adalah pendukung layanan transportasi berbasis aplikasi. Di bulan Juni, Rudiantara berpendapat:
“Menurut saya soal ride sharing mesti diatur, karena ini mirip dengan e-commerce. Kalau e-commerce itu sesuatu yang pasti akan datang, yaitu digital economy. Nah, pemanfaatan teknologi TI seperti ini [ride sharing] juga akan datang.”
Tak cuma dukungan lewat kata-kata, Rudiantara membawa co-founder dan CEO Go-Jek Nadiem Makarim dalam rombongan Indonesia yang menyambangi Silicon Valley. Di sana Rudiantara membanggakan Go-Jek sebagai salah satu startup yang berpotensi menjadi unicorn.
Sejauh ini belum ada komentar dari Rudiantara terkait keputusan Menteri Perhubungan ini.
Presiden Joko Widodo sendiri setali tiga uang. Dalam dialognya saat peresmian Indonesia Convention Exhibition (ICE) di BSD, Presiden yang mendapat pertanyaan dari Nadiem mengatakan:
“Bisnis kreatif berbasis budaya dan teknologi akan jadi masa depan Indonesia. [..] Saya sangat menghargai apa yang sudah dilakukan Go-Jek dan teman-teman lainnya. Saya juga mendukung kebebasan investasi dari luar agar [pertumbuhan bisnis industri kreatif] cepat melonjak.”
Kita juga masih ingat waktu Presiden ikut mengundang mitra pengemudi Go-Jek ke istana dan makan siang bersama. Saya cukup penasaran apakah keputusan Menteri Perhubungan ini sudah berdasarkan konsultasi dengan Presiden.
Larang dulu atau ubah aturannya?
Jika berpegang teguh terhadap aturan yang ada, model bisnis yang dimiliki Uber, Grab, atau Go-Jek sulit mengakomodasinya. Mereka ingin “menghancurkan” tatanan yang sudah ada, bukan hanya semata-mata karena alasan bisnis, melainkan juga kegagalan pemerintah untuk memberikan layanan transportasi publik yang diharapkan masyarakat.
Bisa saja Uber atau GrabCar berbadan hukum lokal, menggunakan pelat kuning, membayar pajak, tetapi isunya bukan di situ. Isu sebenarnya adalah penggunaan teknologi yang menjadi kelebihan layanan ini, kemudahan pembayarannya, dan kenyamanannya.
Masyarakat meradang karena selama ini merasa manfaat layanan transportasi berbasis aplikasi lebih banyak memberi manfaat ketimbang mudharat. Pun masyarakat menggunakan layanan ini tidak semata untuk layanan transportasi, tetapi juga untuk logistik, pengantaran makanan, dan bahkan layanan on-demand baru (bisa berkembang bermacam-macam) yang tidak termasuk ranah Kementerian Perhubungan.
Masalahnya sekarang, apakah pemerintah (dan organisasi transportasi yang mulai keteteran dengan kehadiran layanan baru ini) mau mengubah aturan sesuai kondisi yang berlaku saat ini.
Buat pemerintah, sangat mudah untuk melarang suatu bisnis atau layanan yang tidak sesuai undang-undang. Buat saya, apakah mereka selama ini sudah berkaca dengan kualitas layanan yang diberikan bagi rakyat? Apakah mereka tidak menanyakan ke hati kecil mereka kenapa masyarakat mau menggunakan layanan yang dianggap tidak aman, ngemplang pajak, dan tidak mau tunduk dengan aturan pemerintah?
Sebuah artikel tahun 2010 di The Economist dengan lugas menyatakan:
The most important factor that led to America’s stunning success in information technology was not the free market but government regulation.
[…]
Countries that never experienced this great regulatory splintering are at a disadvantage. They are trapped in a mid-20th-century form, characterised by domineering, vertically integrated firms, which try to do everything in-house or at least keep it within their family of closely related companies. As a result, customers are beholden to suppliers, and innovations go under-exploited.
Sementara Luke A. Stewart dari Information Technology & Innovation Foundation dalam paper-nya menyimpulkan:
Regulation that does not require innovation for compliance will generally stifle innovation.
[…]
What is clear is that regulators can design regulation such that it minimizes the compliance burden on firms while maximizing the probability that the compliance innovation will be successful.
Sungguh sayang jika inovasi dilemahkan langkahnya oleh regulasi yang tidak mengakomodasi perkembangan zaman.