Berbicara soal awal perjalanan industri startup di Indonesia, rasanya sulit dilepaskan dari kebiasaan interaksi sosial yang bisa mendefinisikan pasar Indonesia sejak awal dekade 2010-an silam. Betapa tidak, dengan dukungan teknologi 3G kala itu yang memungkinkan akses cepat ke internet, memicu munculnya berbagai layanan media sosial interaktif yang diadopsi secara cepat oleh pasar Indonesia, mengakselerasi perubahan interaksi sosial di dunia nyata ke dunia maya
Interaksi sosial digital tersebut meliputi berbagai hal. Mulai dari mengobrol, berbagi informasi, berdiskusi dan bertukar pendapat, hingga melakukan transaksi jual beli. Berbagai aktivitas berbasis interaksi sosial inilah yang difasilitasi oleh startup. Sejak saat itu hingga kini, komponen interaksi sosial berevolusi dan selalu menjadi bagian dari perjalanan startup lokal untuk memenangkan pasar Indonesia.
Kalau kita melihat industri digital di Indonesia ke belakang, terlihat sekali betapa signifikan kebiasaan interaksi sosial masyarakat Indonesia membentuk industri digital seperti sekarang ini. Mulai dari forum online hingga social commerce.
Forum online, pencetus tren awal pencetus diskusi tanpa batas
Forum online merupakan platform yang dibuat sebagai wadah untuk berdiskusi bagi para penggunanya. Lewat forum online, pengguna dapat berbagi informasi dan bertukar pendapat mengenai topik tertentu. Lebih jauh lagi, interaksi yang dilakukan dalam forum online juga mampu melahirkan berbagai komunitas.
Salah satu startup dengan layanan forum online terbesar di Indonesia adalah Kaskus. Didirikan pada tahun 1999, Kaskus menjadi wadah diskusi online yang membahas berbagai hal. Mulai dari diskusi informasi umum, hingga berbagi info soal hobi. Dari situ, Kaskus alhasil juga menjadi “rumah” bagi berbagai macam komunitas. Tak hanya berinteraksi secara online, berbagai kegiatan offline pun sering diadakan para ‘Kaskuser’ (sebutan pengguna Kaskus) mulai dari hanya sekedar ‘kopdar’ (kopi darat), hingga gathering massal berskala nasional.
Dari masifnya interaksi sosial yang mengiringi perjalanan Kaskus, platform yang awalnya dikembangkan di Amerika Serikat ini “mengembangkan sayap” untuk memfasilitasi para penggunanya melakukan promosi penjualan barang hingga jasa. Alhasil, lahirlah Forum Jual Beli (FJB) Kaskus yang sempat menjadi tempat belanja online paling populer di Indonesia, jauh sebelum akhirnya muncul berbagai e-commerce lain yang memberikan kenyamanan lebih untuk bertransaksi secara online, termasuk kemudahan dan keamanan pembayaran lewat payment gateway system seperti yang disediakan oleh Midtrans.
Selain Kaskus, ada juga beberapa startup lain dengan layanan serupa seperti misalnya; Indowebster (IDWS) yang forumnya juga cukup dikenal meski layanan utamanya adalah untuk berbagi file antar pengguna, kemudian ada juga forum-forum online lain dengan segmen yang lebih niche macam Jalan2.com untuk penggemar plesiran, Fotografi.net bagi para pecinta dunia fotografi, dan juga ada Modifikasi.com yang disediakan untuk para penggiat industri otomotif.
Ada juga beberapa startup lain dengan layanan serupa. Misalnya Indowebster (IDWS) yang forumnya cukup ramai meskipun layanan utamanya adalah untuk berbagi file antar pengguna. Ada pula layanan forum online dengan tema yang lebih spesifik seperti Jalan2.com (traveling), Fotografi.net (fotografi), atau Modifikasi.com (otomotif).
Lewat jejaring sosial, interaksi sosial dapat dipersonalisasi
Mewabahnya tren berjejaring sosial yang diusung oleh Friendster (2003), MySpace (2005), hingga Facebook di Indonesia pada rentang 2000-2010an silam, tak pelak juga memicu para penggiat startup lokal mencoba membangun dan menawarkan layanan yang mewadahi interaksi sosial. Masih cukup segar di ingatan kami, startup jejaring sosial lokal seperti Fupei, ACS, hingga Koprol sempat menikmati kesuksesan di Indonesia. Koprol sendiri akhirnya sempat diakuisi oleh Yahoo! pada 2010 silam, meski akhir perjalanannya kurang baik.
Di samping nama-nama tadi, bermunculan pula beberapa media sosial lokal lain dengan layanan yang masih eksis hingga saat ini, seperti Yogrt, Oorth, Sebangsa, Mindtalk, dan DailyAct. Semua penyedia layanan itu seakan menegaskan – dan membuktikan – bahwa selama interaksi sosial masih melekat di masyarakat, masih ada kesempatan bagi mereka untuk eksis di tengah dominasi media sosial raksasa dunia.
Dari interaksi sosial ke pinjaman sosial
Interaksi sosial juga tak hanya “berakhir” di wadah diskusi, tukar pendapat, dan jual-beli semata. Hal yang berkaitan dengan finansial pun bisa lahir dari interaksi sosial yang begitu lekat di masyarakat Indonesia. Di ranah teknologi, istilah ‘social lending’ atau ‘crowd lending’ diwakili oleh startup dengan layanan berbasis Peer To Peer (P2P) Lending. Konsep P2P sendiri merupakan konsep yang mempertemukan peminjam dana dengan pemberi pinjaman secara online. Peminjam dana di sini bisa merupakan individu atau badan usaha, sedangkan untuk pinjaman biasanya dikumpulkan dari para pendana individu, layaknya aktivitas “patungan dana” yang biasa terjadi di masyarakat.
Tersedianya beberapa pemain fintech (financial technology) yang melayani P2P lending ini juga dinilai turut mengakselerasi inklusi finansial di masyarakat. Seperti yang tertuang di dalam Fintech Report 2020 oleh DailySocial dikatakan, dua-pertiga dari populasi Indonesia masih tidak memiliki rekening bank. Tak ayal, platform ini juga menjadi salah satu pendorong perkembangan UMKM, dengan kemampuannya menyediakan akses permodalan yang lebih cepat, dengan persyaratan dan proses yang jauh lebih mudah daripada yang ditawarkan oleh perbankan konvensional.
Kemunculan startup-startup lokal yang mengusung konsep P2P lending ini lahir di pertengahan dekade 2010-an, atau tepatnya di circa 2015-2016. Dari beberapa hingga ratusan, badan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, data per Oktober 2020 kemarin terdapat sebanyak 155 perusahaan fintech yang menyelenggarakan P2P lending secara legal dan resmi sesuai izin di Indonesia. Tentunya yang beroperasi secara ilegal pun juga tak sedikit, meski akhirnya ditutup izinnya oleh OJK.
Beberapa nama startup fintech lokal dengan konsep P2P lending yang dapat Anda temui antara lain adalah Amartha, Investree, Koinworks, Modalku, dan sebagainya. Meski mengusung layanan yang sama, beberapa startup di layanan ini memiliki keunikan masing-masing entah itu di ranah segmentasi, maupun jenis kebutuhan finansial yang mereka layani. Seperti misalnya dengan Amartha yang fokus memajukan pemberdayaan pengusaha perempuan lewat akses pendanaan. Lain lagi halnya dengan Investree, yang mengunggulkan salah produk pembiayaannya yang berbasis invoice demi meningkatkan tingkat kepercayaan pendana. Serta keunikan lain dari tiap-tiap pemain ranah P2P lending yang semakin mematangkan industri teknologi finansial di Indonesia.
Revolusi social commerce: Dari arisan ke toko digital
Kepopuleran e-commerce yang semakin meningkat juga tak luput berkat interaksi sosial yang tinggi di pasar Indonesia. Alhasil, istilah ‘Social Commerce’ lahir dan tumbuh bersama industri e-commerce yang booming di Indonesia sejak dekade 2010-an. Sesuai namanya, social commerce adalah aktivitas dagang yang hidup di dalam ekosistem media sosial. Ada banyak alasan yang menyeruak mengapa social commerce sama-sama populer dengan layanan e-commerce pada umumnya.
Menurut laporan “Asia Social Commerce Report 2018” yang dirilis PayPal, pebisnis dalam negeri ditengarai paling banyak menggunakan platform Instagram dan Facebook untuk mempromosikan bisnisnya. Anggapan kemudahan berpromosi lewat jejaring sosial itu mendukung pula anggapan bahwa, kekuatan “the word of mouth” yang hidup di dalam ekosistem media sosial betul-betul dimanfaatkan para pebisnis online untuk mengakselerasi bisnisnya. Lagi-lagi hal ini kemudian bisa menyimpulkan bahwa kekuatan interaksi sosial sangat mempengaruhi perjalanan industri teknologi di tanah air.
Konsep social commerce sudah lama diterapkan di Indonesia. Acara arisan dimanfaatkan para anggota untuk menjual alat masak dan barang-barang rumah tangga. Mapan, bagian dari Gojek Group, bahkan telah menggunakan mekanisme arisan untuk membantu masyarakat membeli barang kebutuhan secara online. Social commerce menjadi kegiatan yang sudah mendarah daging di masyarakat akar rumput, yang sekaligus menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia tetap berjalan walau terdampak krisis seperti resesi yang terjadi di 2008 silam.
Dengan tingginya potensi pasar social commerce, beberapa startup juga berusaha terjun untuk mendukung dan membantu kegiatan bisnis para penjual lewat layanan yang mereka tawarkan. Mulai dari menyediakan layanan chatbot, menghubungkan penjual dengan brand atau produsen, hingga membantu dari segi rantai pasok (supply chain). Beberapa nama startup lokal yang ada di bidang ini adalah Woobiz yang fokus menghubungkan mitra – yang kebanyakan datang dari kaum perempuan – dengan brand, Taptalk.io yang berfokus menyediakan layanan integrasi aplikasi pesan singkat bagi bisnis online, hingga Halosis yang menyediakan fitur chatbot untuk pebisnis.
Sebagai startup anak bangsa dengan salah satu fokus bisnis untuk membantu perkembangan ekosistem UMKM di Indonesia, Gojek melalui Moka juga tengah mengembangkan produk berbasis social commerce yang bernama GoStore. Layanan GoStore memungkinkan penjual membuat dan mengelola toko online yang secara otomatis dapat diintegrasikan ke media sosial untuk menjangkau lebih banyak pengguna. Selain itu, produk lain dari Gojek yang bernama Selly juga menawarkan layanan berupa keyboard otomatis, yang bisa digunakan oleh para social seller untuk mengaktifkan layanan chatbot, cek ongkos kirim, hingga integrasi langsung ke fitur pembayaran yang disediakan oleh Midtrans.
Berkembangnya social commerce di ranah digital juga menciptakan kebutuhan dari penjual maupun konsumen untuk dapat bertransaksi dengan aman. Peran startup payment gateway yang menyediakan pilihan pembayaran non-tunai menjadi pendukung perkembangan social commerce. Midtrans contohnya, menyediakan opsi pembayaran non-tunai dengan GoPay, kartu debit, kredit, dan berbagai metode lainnya yang memudahkan para social sellers memproses transaksi digital.
Melihat sejumlah fakta di atas, rasanya tak berlebihan jika menganggap inovasi startup lokal sangat dipengaruhi oleh tingginya arus interaksi sosial di masyarakat Indonesia. Evolusi dan perkembangan yang dipengaruhi ini juga sepertinya tidak akan berhenti dalam waktu dekat, entah itu bagi kehidupan individu sehari-hari, maupun bagi geliat bisnis, interaksi sosial patut dipandang sebagai aspek pendorong kemajuan industri teknologi di Indonesia. Bukan hal yang tidak mungkin juga, jika interaksi sosial yang terus berevolusi itu bakal memicu layanan-layanan baru di masa depan. Bisa jadi nanti akan ada pengembang lokal yang membuat aplikasi serupa Clubhouse yang sedang booming itu. Karena sesungguhnya kita sangat gemar berinteraksi sosial bukan?