Pemerintah Lampung Timur belum lama ini memaparkan pihaknya tengah mematangkan konsep online marketplace bernama Pasar Lamtim. Menurut pemaparan Bupati Chusnunia Chalim, urgensi pengembangan platform ini untuk meningkatkan penetrasi penjualan dan sebaran produk kerajinan UMKM setempat. Ke depan juga direncanakan hasil pertanian akan dijual melalui kanal tersebut.
Pendekatan digital dinilai tepat untuk mengatasi permasalahan seperti itu. Tidak hanya Lampung Timur, di berbagai daerah di Indonesia inisiatif yang sama mulai banyak terdengar. Beberapa daerah memilih menggandeng layanan yang sudah ada, seperti yang pernah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Pekalongan dengan evelenia. Di level yang lebih tinggi, Kementerian dan BUMN juga mulai menaruh perhatian ke arah digitalisasi pengembangan UMKM.
Ragam inisiatif untuk ekonomi digital oleh pemerintah
Tak hanya dalam bentuk online marketplace, sebelumnya Kementerian Koperasi dan UKM bermitra dengan Universitas Indonesia mengumumkan inisiasi mereka untuk mengelaborasi pendekatan crowdfunding dalam membawa UMKM go-digital. Bentuknya dengan model urunan untuk mendanai proyek-proyek yang dikembangkan UMKM. Tujuannya untuk meminimalkan biaya awal pada pengembangan produk, yang saat ini umumnya dilakukan dengan pendekatan kredit perbankan.
Di Jawa Tengah beda lagi, fokus mereka pada pengendalian harga pangan. Untuk mendapatkan hasil pantauan secara real-time, Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Provinsi Jawa Tengah meluncurkan aplikasi SiHati pada awal tahun 2016 lalu. Sedangkan Pemkot Bandung memiliki pendekatan yang berbeda lagi, mereka menilai menggunakan platform yang sudah mendunia dinilai lebih efektif. Salah satu strategi yang digunakan ialah melakukan edukasi mendatangkan pakar langsung dari penyedia platform tersebut, yang sudah dilakukan ialah dengan Facebook.
Mengapa akhirnya memilih membuat platform sendiri?
Di sisi lain, ketika berbicara terkait platform e-commerce atau online marketplace, nama besar seperti Bukalapak, Tokopedia atau Blibli sudah sangat akrab di telinga masyarakat. Layanan yang disediakan memberikan kemudahan bagi siapapun untuk memulai menjual produk yang mereka miliki. Keuntungannya ialah pemasaran layanan yang sangat luar biasa dengan kapabilitas sistem yang sudah sangat mumpuni. Namun ada satu hal yang mungkin menjadi pertimbangan lain, yakni persaingan di dalam layanan itu sendiri.
Maksudnya di dalam sebuah layanan marketplace sekelas Tokopedia, orang yang berjualan di sana sudah sangat banyak dan jenis produknya pun sudah sangat terfragmentasi. Tendensinya orang yang berkunjung ke laman tersebut ingin mencari produk yang benar-benar sedang dibutuhkan atau sulit dicari. Sedangkan apa yang dibutuhkan oleh UMKM, khususnya pengrajin dan pengolah hasil tani, ialah melakukan showcase produk mereka semenarik mungkin.
Blibli pada pertengahan tahun 2015 juga merilis Galeri Indonesia, sebuah laman yang dikhususnya bagi para UMKM untuk menjual produk yang mereka buat. Namun jika melihat permasalahan di lapangan, apa yang dibutuhkan bukan sekedar platform yang menjembatani transaksi. Seperti yang ada di Lampung Timur, Chusnunia mengatakan justru tantangannya pada edukasi pengguna, karena produk UMKM di daerah didominasi oleh pengrajin senior yang belum fasih dalam mengoperasikan platform digital.
Pengembangan platform lokal memungkinkan nilai-nilai edukasi itu untuk diterapkan secara lebih intensif. Seperti adanya rekanan dari pemerintah yang giat melakukan sosialisasi atau bahkan ada kantor yang melayani konsultasi penggunaan produk. Pada akhirnya visinya menjadi lebih jelas. Selain memang untuk memasarkan produk UMKM secara lebih spesifik. Bukan untuk bersaing dengan layanan e-commerce yang sudah ada, tapi memberikan tempat singgah baru untuk membawa pelaku usaha kecil ke level bisnis yang lebih modern.