Kemunculan media sosial membuat semua orang berpotensi jadi influencer: yang memberikan keuntungan dan berpotensi menimbulkan masalah baru.
Beberapa tahun belakangan, pemerintah Tiongkok tengah sibuk untuk meregulasi konten digital. Tahun lalu, pemerintah Tiongkok membatasi waktu main untuk gamers di bawah umur, menjadi hanya tiga jam dalam seminggu. Sekarang, Beijing membuat regulasi untuk para streamer dan kreator konten.
Dengan diterapkan peraturan baru ini, influencer tidak bisa sembarangan membuat konten edukasi. Jika dia ingin membuat konten terkait bidang medis, keuangan, atau bidang khusus lainnya, seorang kreator konten atau streamer harus memiliki sertifikat di bidang yang relevan, menurut laporan TechTimes.
Keputusan pemerintah Tiongkok ini cukup masuk akal. Pasalnya, di era digital, semua orang bisa mengakses informasi dengan cepat dan mudah. Masalahnya, tidak sedikit orang yang membagikan informasi yang mereka dapat tanpa memverifikasi kebenaran dari informasi tersebut terlebih dulu. Alhasil, hoaks dan berita salah dapat menyebar dengan mudah. Tampaknya, masalah inilah yang ingin pemerintah Tiongkok atasi.
Dalam artikel ini, saya akan mencoba untuk membahas tentang bagaimana seorang influencer atau selebritas bisa memiliki “kuasa” atas audiens mereka dan bagaimana mereka bisa mempengaruhi kebiasaan membeli atau bahkan opini dari para penontonnya.
Evolusi dari Konsep Popularitas
Aleksander III dari Makedonia, yang juga dikenal sebagai Aleksander Agung, adalah seorang raja yang hidup ratusan tahun Sebelum Masehi. Namun, sampai sekarang, nama dan pencapaiannya masih diingat sampai sekarang. Salah satu pencapaian Aleksander adalah dapat membuat Kekaisaran terbesar di dunia hanya dalam waktu 13 tahun. Menurut akademisi Leo Braudy, pencapaian lain dari Aleksander adalah menjadi “orang terkenal” pertama. ada alasan lain mengapa nama Aleksander masih diingat sampai sekarang.
Dalam buku berjudul “Frenzy of Renown: Fame and Its History”, Braudy menjelaskan, Aleksander sadar, salah satu “aset” terpenting untuknya adalah reputasinya di mata rakyat. Dan hal ini menjadi salah satu hal yang membedakan Aleksander dengan raja-raja lain.
Aleksander sangat peduli akan public image dari dirinya. Untuk membangun reputasinya, dia bahkan mengklaim sebagai keturunan dewa. Di ibukota Yunani, Athena, dia bahkan dianggap sebagai seorang “dewa”. Tidak sembarang seniman bisa membuat karya yang menampilkan Aleksander. Faktanya, hanya ada tiga seniman yang dipercayai oleh Aleksander untuk membuat karya yang menggambarkan dirinya.
Tampaknya, Aleksander sadar: representasi visual punya peran penting dalam mendorong popularitas seseorang. Layaknya kata pepatah: tak kenal maka tak sayang. Karena itulah, Aleksander memastikan bahwa masyarakat tahu bagaimana rupanya. Aleksander bahkan berani untuk memampangkan wajahnya di mata uang yang digunakan di kerajaannya. Padahal, di era tersebut, mata uang koin biasanya hanya menampilkan rupa dari para dewa atau orang-orang yang dianggap sebagai pahlawan besar.
Di era Kerajaan Yunani Kuno dan Romawi, jika Anda ingin populer, Anda harus melakukan hal-hal hebat, seperti menjadi seorang raja dan menguasai negara tetangga. Harapannya, para penyair akan tertarik untuk membuat puisi dan cerita dari hal-hal hebat yang telah Anda capai. Dengan begitu, nama dan kisah Anda pun akan diketahui oleh banyak orang. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, konsep popularitas dan selebritas berubah, menyesuaikan diri dengan budaya, yang juga selalu berubah.
Kemunculan lukisan pada era Renaissance membuat konsep akan popularitas mulai berubah. Dengan lukisan, wajah seseorang bisa dikenal oleh banyak orang. Karena, ketika itu, lukisan bisa tersebar luas, hingga ke seluruh penjuru Eropa. Dengan begitu, “popularitas” tidak lagi menjadi komoditas eksklusif untuk para raja atau ratu. Tak hanya itu, orang-orang yang karirnya melibatkan masyarakat juga mulai sadar akan kuasa yang dimiliki oleh orang-orang populer, bahwa semakin populer seseorang, semakin besar pula kuasa yang dia punya.
Di abad ke-15, penulis Italia, Leon Batista Alberti bahkan mengatakan, lukisan bisa membuat rupa seseorang dikenang lama setelah dia mati. Di era ini, salah satu contoh “tokoh populer” yang peduli akan penampilan dan reputasinya adalah Queen Elizabeth I. Untuk membuat orang-orang tahu bagaimana rupanya, dia meminta para seniman untuk membuat lukisan dari dirinya. Namun, para seniman hanya boleh meniru lukisan resmi yang telah disetujui oleh sang ratu.
Pada abad ke-19, konsep popularitas kembali berubah. Ada dua hal yang menyebabkan perubahan itu terjadi: kamera dan pakaian siap pakai. Keberadaan kamera membuat semakin banyak orang bisa melihat bagaimana rupanya. Sementara kemunculan pakaian massal siap pakai memunculkan fungsi baru untuk fashion, yaitu sebagai alat untuk mengekspresikan identitas seseorang. Karena itu, jangan heran jika banyak orang mulai mengikuti cara berpakaian dari tokoh yang mereka idolakan. Pada akhir abad ke-19, popularitas tidak lagi identik dengan pahlawan dan raja. Sebagai gantinya, konsep popularitas fokus pada identitas seorang individu dan caranya untuk mengekspresikan diri.
Sejak saat itu, konsep popularitas terus berubah. “Gambar bergerak” alias film menjadi hal lain yang mengubah konsep popularitas di mata masyarakat. Keberadaan film memunculkan lowongan pekerjaan baru: aktor. Dan popularitas yang berhasil diraih oleh seorang aktor — yang wajahnya ditampilkan dan ditonton banyak orang di bioskop — ada di level yang berbeda dengan aktor teater.
Konsep popularitas kembali berubah dengan kemunculan TV. Karena, TV bisa menayangkan lebih banyak acara dengan frekuensi yang lebih sering daripada bioskop. Dan ketika seorang selebritas terus muncul di TV, hal ini membuat fans merasa “dekat” dengan selebritas tersebut, yang berpotensi untuk memunculkan fenomena yang disebut parasocial relationship. Jika Anda ingin tahu lebih lanjut tentang fenomena tersebut, Anda bisa membaca ulasan Hybrid di sini.
Pada 1980-an, demi menekan biaya produksi, pelaku industri perfilman membuat konsep reality show. Bukan selebritas, acara realitas biasanya akan dibintangi oleh orang-orang “biasa”, yang sangat relatable dengan para penonton. Tak berhenti sampai di sana, kemunculan ajang pencari bakat — seperti Indonesian Idol, Akademi Fantasi Indosiar, dan lain sebagainya — membuat orang-orang berpikir bahwa mereka juga bisa menjadi populer, mereka hanya perlu bisa menunjukkan bakat mereka pada masyarakat.
Menurut penulusuran Wisecrack, hal inilah yang menjadi awal dari ketertarikan masyarakat akan “celebrity making” alias proses bagaimana seorang selebritas bisa menjadi bintang. Nantinya, masyarakat akan lebih terobsesi dengan perjalanan seorang selebritas menjadi bintang, daripada selebritas itu sendiri. Tom Mole, dosen literatur Inggris, menyebut fenomena ini sebagai “Hypertrophic Celebrity Culture”.
Budaya tersebut semakin merajalela dengan kehadiran media sosial. Berkat Instagram, Tik Tok, dan kawan-kawannya, semua orang berpotensi untuk menjadi bintang. Dan untuk itu, mereka tidak lagi perlu melewati audisi, seperti pada acara realitas; mereka hanya harus membuat konten yang menarik bagi netizens. Tidak sedikit orang-orang yang melakukan hal-hal bodoh dan berbahaya demi bisa tenar di media sosial. Contohnya, sekumpulan remaja yang menghadang truk demi mengikut tren di Tik Tok. Dan tren ini telah memakan korban jiwa.
Jika dibandingkan dengan menjadi aktor atau musisi ternama, menjadi influencer di media sosial memang relatif lebih mudah, lebih bisa dicapai oleh banyak orang. Apalagi, karena media sosial memunculkan konsep “micro celebrity” atau “micro influencer“, yaitu sekumpulan orang yang hanya populer di grup tertentu saja. Sebagai contoh, Michael “Shroud” Grzesiek mungkin populer di kalangan gamers dan fans esports, tapi namanya belum tentu dikenal oleh masyarakat luas.
Kuasa yang Dimiliki Influencer
Percaya atau tidak, influencer sebenarnya punya “kuasa” atas audiens mereka. Untuk memahami bagaimana influencer bisa mendapatkan kuasa tersebut, kita bisa menggunakan Field Theory, yang dibuat oleh social scientist Prancis, Pierre Bourdieu. Pada dasarnnya, teori itu terdiri dari tiga elemen: social capital, field, dan agency. Capital alias modal merupakan sesuatu yang seseorang dapatkan dengan melakukan pekerjaan di bidang yang mereka tekuni. Sementara field atau bidang, menurut Bourdieu, adalah karir, tempat bagi orang-orang untuk saling berkompetisi dan mendapatkan hasil dari kerja keras mereka.
Sementara agents diartikan sebagai orang-orang yang punya wacana, baik untuk mensejahterakan diri sendiri atau untuk memberikan manfaat pada masyarakat. Untuk menjadi seorang “agent“, Anda harus memiliki social capital. Jadi, Anda hanya bisa merealisasikan wacana Anda, jika Anda memiliki social capital.
Dalam kasus influencer, dia akan mendapatkan capital ketika dia bekerja di bidangnya, yaitu membuat konten di media sosial. Hasil yang influencer harapkan dari kerja kerasnya adalah engagement, berupa likes, follows, atau bahkan komentar. Dengan berinteraksi dengan seorang influencer, para penonton sebenarnya memberikan “kuasa” pada sang influencer. Karena, mereka memberikan kesempatan bagi sang influencer untuk mempengaruhi keputusan mereka dalam membeli sesuatu atau opini mereka akan sebuah topik.
Jika seorang influencer bisa menjaga hubungan dengan fansnya, dia akan mendapatkan social capital. Semakin banyak fans seorang influencer, semakin besar pula kuasa yang dia punya. Karena, semakin banyak pula orang yang pikirannya dia pengaruhi. Bentuk nyata dari teori tersebut adalah endorsement yang dilakukan oleh para influencer.
Pada dasarnya, endorsement punya konsep yang sama dengan iklan. Seorang influencer memperkenalkan atau bahkan memuji sebuah produk, dengan tujuan untuk mendorong audiens membeli produk tersebut. Sama seperti iklan, endorsement hadir dalam beragam bentuk.
Seorang influencer juga punya kebebasan untuk memilih brands atau produk yang akan mereka endorse. Tak terbatas pada brands, seorang influencer juga bisa memberikan dukungan alias endorsement pada tokoh masyarakat lain, seperti politikus. Misalnya, Arie Kriting pernah menunjukkan dukungannya pada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam Pilkada DKI 2017 dan mendukung Joko Widodo pada Pemilu 2019.
Strategi kampanye politik menggunakan influencer tidak hanya digunakan di Indonesia saja, tapi juga di negara-negara berkembang, seperti Amerika Serikat. Faktanya, dalam Pemilu 2020, pasangan Biden-Harris bekerja sama dengan sejumlah influencer untuk memenangkan massa. Salah satu kegiatan yang Biden lakukan adalah mengadakan siaran live di Instagram bersama influencer. Dalam siaran tersebut, para penonton bebas untuk melemparkan pertanyaan pada Biden, menurut laporan The Finery Report.
Dalam kasus kampanye Biden-Harris di pemilu 2022, peran influencer — dan media digital — bahkan menjadi semakin penting karena di tahun itu, pandemi COVID-19 mulai merajalela. Alhasil, sejumlah negara pun memutuskan untuk memberlakukan lockdown, termasuk Amerika Serikat. Dan hal itu berarti, mengumpulkan massa secara offline menjadi sesuatu yang sulit untuk dilakukan.
Keberadaan influencer juga memberikan opsi baru untuk brands yang ingin mempromosikan produk mereka. Menariknya, jika dibandingkan dengan iklan tradisional, strategi marketing via influencer juga menawarkan keuntungan tersendiri. Salah satunya, audiens cenderung percaya pada omongan influencer. Menurut Global Trust in Advertising Report dari Nielsen, sebanyak 83% konsumen percaya omongan dari orang yang mereka kenal. Dan jika dibandingkan dengan aktor layar lebar atau bintang TV — yang biasanya muncul dalam iklan — influencer terasa lebih “dekat” dengan konsumen.
Selain itu, brands juga bisa menyesuaikan tipe influencer yang mereka ajak untuk kerja sama, tergantung dari tujuan yang ingin mereka capai. Sebagai contoh, jika sebuah brand ingin meningkatkan awareness sehingga produknya dikenal oleh banyak orang, mereka bisa memilih untuk bekerja sama dengan influencer yang memang memiliki banyak followers, yang biasa disebut sebagai mega-influencer atau macro-influencer.
Sementara jika brand lebih ingin mendorong tingkat engagement, mereka bisa menggandeng micro-influencer. Dari segi jumlah pengikut, micro-influencer memang kalah dari mega atau macro-influencer. Namun, biasanya, hubungan sang influencer dengan audiens lebih erat. Selain itu, micro-influencer juga biasanya berkutat di bidang niche tertentu.
Sebenarnya, keberadaan influencer itu menguntungkan banyak pihak. Brands punya opsi marketing baru dan penonton bisa mendapatkan konten yang jauh lebih beragam dari acara yang disajikan di TV. Namun, sama seperti segala sesuatu yang ada di dunia, keberadaan influencer juga berpotensi untuk memunculkan masalah baru.
Masalah yang Bisa Ditimbulkan oleh Influencer
Keberadaan media sosial membuat semua orang merasa bahwa mereka bisa menjadi bintang, bahwa mereka punya ruang untuk berbicara. Menurut saya, tidak ada masalah dengan kebebasan untuk beropini. Dan media sosial memang bisa menjadi platform bagi para pekerja profesional di bidangnya — seperti dokter, pilot, dan lain sebagainya — untuk membagikan pengalaman atau bahkan mengedukasi audiens mereka.
Sayangnya, keinginan untuk tenar terkadang mendorong para pekerja profesional itu untuk melakukan hal-hal yang… yah, tidak profesional, atau bahkan melanggar kode etik di bidang yang mereka tekuni. Salah satu contoh yang paling baru, seorang suster yang bekerja di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Santa Anna mengunggah video singkat, menunjukkan bagaimana dia mencubit dan membuat seorang bayi menangis. Tak hanya itu, dia juga terlihat menempelkan pipinya ke pipi sang bayi. Padahal, dia masih mengenakan masker. Wajah sang bayi yang diperlihatkan ke video pun tidak disensor.
Selain itu, penyebaran misinformasi massal jadi masalah lain yang mungkin muncul karena influencer. Membuat akun media sosial sangat mudah, jelas lebih mudah daripada membuat stasiun TV atau radio. Proses mengunggah konten ke media sosial pun jauh lebih sederhana daripada proses pembuatan acara TV. Dan yang paling penting, seorang influencer punya kebebasan untuk mengunggah konten apapun yang dia mau, selama konten itu tidak melanggar peraturan yang dibuat oleh platform media sosial. Artinya, influencer — orang-orang yang memiliki banyak pengikut di media sosial — bisa membuat konten yang tidak menjadi keahliannya sekali pun.
Sebagai contoh, di Tik Tok, Anda bisa menemukan banyak video singkat yang menawarkan “tips” untuk bisa bertahan hidup saat kecelakaan pesawat. Namun, tidak sedikit video yang memberikan saran yang justru bertolak belakang dengan standar operasi dari maskapai penerbangan. Jumlah video menyesatkan ini begitu banyak sehingga Kelsey — seorang pilot pesawat 747 yang juga memiliki channel YouTube berjudul 74 Gear — membuat video khusus yang membahas tentang betapa salahnya saran yang diberikan oleh para kreator konten Tik Tok itu.
Dan kesalahan ini tidak hanya bisa dibuat oleh para influencer “awam”, tapi juga mereka yang dianggap sebagai pekerja profesional. Biasanya, masalah itu terjadi ketika seorang profesional di sebuah bidang berbicara tentang topik yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan bidang yang dia tekuni. Sebagai contoh, seorang musisi yang membahas tentang efektivitas vaksin.
Idealnya, fans dari seorang influencer tahu akan kapabilitas dari sang idola. Jika seorang influencer merupakan seorang musisi, tentu dia tahu segala sesuatu tentang industri musik, tapi hal itu bukan berarti dia tahu seluk-beluk tentang dunia kedokteran. Masalahnya, biasanya, netizen Indonesia akan menelan bulat-bulat omongan dari influencer yang menjadi idolanya. Fakta bahwa minat baca orang Indonesia rendah pun sama sekali tidak membantu.
Hal ini memunculkan pertanyaan: apakah influencer harus diregulasi?
Di 2020, RCTI sempat mengajukan petisi pada Mahkamah Konstitusi, meminta agar kreator konten juga diharuskan mematuhi peraturan yang sama dengan perusahaan TV. Tuntutan lain dari RCTI adalah agar orang-orang yang ingin menjadi influencer harus memiliki izin terlebih dulu. Harapannya, hal itu akan membuat kompetisi antara kreator konten dan acara TV menjadi lebih seimbang. Wacana RCTI tersebut tidak hanya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, tapi juga disambut dengan amarah oleh netizens.
Di satu sisi, saya mengerti mengapa netizens berang. Pasalnya, RCTI terlihat sebagai “penjahat” yang berusaha untuk mematikan — atau setidaknya mempersulit — para kreator konten, yang memang merupakan pesaing mereka. Di sisi lain, kekhawatiran RCTI ada benarnya. Berbeda dengan stasiun TV, kreator konten dan influencer tidak harus terlalu pusing untuk memikirkan apakah konten mereka sudah sesuai dengan regulasi dari pemerintah atau tidak. Satu-satunya peraturan yang influencer harus patuhi adalah syarat dan ketentuan dari platform yang mereka gunakan.
Alhasil, influencer bisa membuat konten yang bermasalah, seperti hoaks dan misinformasi. Tak berhenti sampai di situ, influencer juga punya kebebasan untuk memberikan endorsement pada produk apapun, tak peduli apakah produk itu akan merugikan konsumen atau tidak. Sebagai contoh, seorang beauty influencer bisa saja mempromosikan brand makeup atau produk yang belum mendapatkan izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Dalam kasus seperti ini, konsumen menjadi pihak yang paling dirugikan.
Dan jangan salah, seorang influencer “besar” pun bisa mendukung produk atau acara yang bermasalah. Contohnya Fyre Festival, yang didukung oleh selebritas media sosial seperti Bella Hadid (lebih dari 53 juta pengikut di Instagram) dan Kendall Jenner (lebih dari 246 juta pengikut di Instagram). Dalam video promosi, Fyre Festival menjanjikan liburan selama dua minggu di pulau pribadi di Bahama. Tak hanya itu, para tamu juga, katanya, akan mendapat makanan mewah, lengkap dengan performa musik yang keren.
Namun, pada kenyataannya, Fyre Festival berujung kacau. Semua musisi yang dijanjikan hadir di festival itu mengundurkan diri sebelum acara. Sementara para tamu harus tinggal di tenda dan bukannya villa mewah. Makanan yang disajikan? Makanan kaleng.
Influencer tak hanya bisa mempengaruhi kebiasaan konsumsi audiensnya melalui endorsement, tapi juga opini mereka tentang topik tertentu. Contoh yang paling gampang, tentu saja, politik. Seorang influencer bisa menggiring opini masyarakat untuk mendukung seorang tokoh politik atau tidak. Dan dalam politik, kampanye menggunakan influencer bisa digunakan oleh siapapun, baik pemerintah maupun pendukungnya atau pihak oposisi.
Memang, setiap orang — termasuk kreator konten dan influencer — bebas untuk berpendapat. Namun, kebebasan berpendapat bukannya tanpa konsekuensi. Ada banyak orang yang terkena masalah karena mereka kurang berhati-hati dalam menggunakan media sosial. Begitu banyak korban media sosial sehingga muncul pepatah baru: jempolmu, harimaumu. Salah satu contoh terbaru yang menunjukkan bagaimana kebebasan berpendapat yang berlebihan justru akan menimbulkan masalah adalah kasus Holywings.
Sebagai bentuk promosi, Holywings menawarkan minuman keras gratis untuk laki-laki bernama “Muhammad” atau perempuan bernama “Maria”. Buntut dari masalah ini: enam karyawan Holywings yang membuat promosi itu menjadi tersangka dan akhirnya dipecat. Tak hanya itu, PT Aneka Bintang Gading — perusahaan yang menaungi Holywings — dituntut ke pengadilan.
Penutup
Seorang influencer punya “kuasa” atas audiensnya. Dia bisa mempengaruhi kebiasaan konsumsi para penonton dan bahkan, opini mereka. Idealnya, seorang influencer tidak akan menjerumuskan audiensnya dengan merekomendasikan produk yang bermasalah atau meyakinkan mereka bahwa Bumi itu datar atau paham salah lainnya. Sayangnya, kita hidup di dunia yang jauh dari kata ideal.
Masih ada orang-orang yang mengaku sebagai “influencer” dan mau menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingannya sendiri. Contoh paling gampang, seseorang yang mengaku sebagai influencer dan memaksa brand untuk memberikan produk secara gratis demi “eksposur”. Contoh lain, ketika seorang influencer mempromosikan produk yang bermasalah.
Bayangkan: seorang influencer memamerkan gaya hidup hedonisme, mengklaim bahwa dia bisa mendapatkan semua itu berkat investasi yang dia lakukan. Para penonton pun tergoda untuk mengikuti jejak sang influencer. Namun ternyata, investasi yang dianjurkan sang influencer adalah investasi bodong.
Pada akhirnya, kebebasan untuk berpendapat itu memang penting. Tapi, ketika kebebasan itu bisa disalahgunakan untuk mencelakai orang lain, mungkin sudah waktunya kebebasan itu dibatasi.
Sumber header: Pexels