Bagaimana Industri Game & Esports Indonesia dan Tiongkok Merefleksikan Karakteristik Negara

Kecenderungan pemerintah Tiongkok untuk menyensor internet juga tercermin dalam industri game

Indonesia dan Tiongkok punya beberapa kesamaan, seperti jumlah populasi yang besar. Tiongkok merupakan negara dengan populasi terbesar pertama sementara Indonesia duduk di peringkat empat. Dari segi geografis, Indonesia dan Tiongkok juga cukup dekat. Hal ini memudahkan pertukaran budaya antara kedua negara. Jadi, tidak heran jika gaya kepemimpinan pemerintah Indonesia punya kesamaan dengan pemerintah Tiongkok. Tapi tenang, kesamaan antara pemerintah Indonesia dan Tiongkok bukan berarti Partai Komunis Indonesia kembali bangkit.

Kali ini, saya akan menjelaskan kesamaan regulasi pemerintah Indonesia dan Tiongkok di bidang game dan esports. Setelah itu, saya akan membandingkan pendekatan pemerintah Indonesia dan Tiongkok di beberapa sektor lain, seperti infrastruktur internet, smartphone, dan BUMN. Tujuannya adalah untuk melihat apakah regulasi yang pemerintah Indonesia dan Tiongkok tetapkan di industri game dan esports muncul akibat hukum di bidang lain yang terkait.

Berikut pembahasannya.

 

Industri Game

Menjunjung nasionalisme merupakan salah satu kesaamaan antara Indonesia dan Tiongkok di industri game. Di Indonesia, masih ada game-game yang dipasarkan dengan menggunakan sentimen "game buatan anak negeri!" Tak bisa dipungkiri, memang ada orang-orang yang tertarik dengan game-game tersebut. Hanya saja, strategi marketing itu bisa menjadi bumerang jika game tidak dilengkapi dengan gameplay yang menarik. Pada akhirnya, seseorang bermain game demi mendapatkan kepuasan bermain dan bukannya untuk mendukung kedaulatan negara. Satu hal yang harus diingat, developer bisa menjadikan budaya lokal dalam game sebagai daya tarik jika mereka memang bisa menempatkan konten lokal dengan porsi yang pas.

Rasa nasionalisme juga dijunjung tinggi di Tiongkok. Beijing bahkan turun tangan secara langsung untuk memastikan semua game yang dirilis di Tiongkok tidak mengandung konten yang bertentangan dengan ideologi negara. Hal ini juga berlaku untuk para publisher asing yang hendak merilis game-nya di Tiongkok. Nasionalisme di Tiongkok begitu dijunjung hingga semua teks dalam game harus berupa Simplified Chienese. Menurut laporan Niko Partners, bahkan ada game yang dilarang rilis karena menampilkan kata seperti "Winner" atau "Attack" dalam bahasa Inggris dan bukannya Simplified Chinese.

Di Tiongkok, jumlah game yang dirilis setiap tahun juga dibatasi. Game yang mempromosikan budaya atau sejarah Tiongkok juga akan diprioritaskan. Hal ini menjadi bukti lain bagaimana nasionalisme menjadi poin penting dalam industri game Tiongkok. Tujuan pemerintah memprioritaskan game yang menunjukkan budaya dan sejarah Tiongkok adalah untuk meningkatkan kualitas game dan memperluas audiens yang bisa dijangkau oleh sebuah game. Dengan membatasi game buatan asing yang dirilis di Tiongkok, secara tidak langsung, pemerintah melindungi developer game lokal dengan membatasi persaingan.

Di Indonesia, pemerintah tidak membatasi jumlah game yang bisa dirilis atau menyaring game-game yang akan diluncurkan. Bentuk dukungan pemerintah pada developer lokal bukan dalam bentuk membatasi jumlah game asing yang beredar. Salah satu bentuk dukungan pemerintah Indonesia adalah dengan mengadakan event bagi developer lokal untuk unjuk gigi, seperti Game Prime. Selain itu, mereka juga berusaha untuk memfasilitasi developer lokal agar bisa mendapatkan investasi serta mempromosikan game lokal, seperti Lokapala.

Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), Norman Marcioano sempat berkunjung ke markas Anantarupa Studios -- developer Lokapala -- pada Desember 2020. Ketika itu, dia menyatakan keinginannya agar KONI ikut mempromosikan Lokapala sebagai game esports nasional, seperti dikutip dari Kompas. Caranya, dengan memasukkan mobile game itu ke Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua 2021. Selain itu, Lokapala juga pernah diadu di Piala Menpora.

Lokapala jadi salah satu game yang diadu di PON 2021. | Sumber: Suara

Selain sama-sama menjunjung nasionalisme, Indonesia dan Tiongkok juga punya kesamaan lain, yaitu kecenderungan untuk memblokir game. Pada 2017, Kementerian Komunikasi dan Informatika sempat memblokir game berjudul Fight of Gods. Alasannya, game itu menampilkan karakter berupa tokoh agama atau dewa dari berbagai negara, seperti Yesus, Buddha, Zeus, dan Anubis. Saat itu, Kominfo menjelaskan tujuan mereka memblokir game itu adalah demi mencegah terjadinya pertengkaran antara penganut agama.

Selain itu, di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia juga mengeluarkan fatwa haram akan PUBG Mobile. Hal ini mendorong Aceh untuk mengharamkan PUBG Mobile dan game-game serupa lainnya. Pertimbangan MUI adalah karena PUBG dan game serupa dianggap bisa mengubah perilaku pemainnya dan mengganggu kesehatan, menurut laporan CNBC Indonesia. Hal ini memicu rumor bahwa Kominfo juga akan memblokir PUBG Mobile. Dan memang, pada Maret 2019, Kominfo mengaku siap untuk memblokir PUBG jika MUI menganggap pemblokiran memang perlu dilakukan. Meskipun begitu, pada akhirnya, Kominfo mengklaim bahwa kabar tentang pemblokiran PUBG Mobile tidak lebih dari hoaks.

Lucunya, PUBG Mobile juga diblokir di Tiongkok. Padahal, game itu dirilis di bawah bendera Tencent Games. Alasan pemerintah melakukan hal itu adalah karena PUBG Mobile dianggap menampilkan kekerasan eksplisit. Alhasil, pada Mei 2019, Tencent menarik PUBG Mobile. Sebagai gantinya, mereka meluncurkan Game for Peace alias Peacekeeper Elite. Game itu punya gameplay yang sama persis dengan PUBG Mobile. Hanya saja, tema yang diusung dalam game itu adalah perang melawan terorisme dan bukannya saling membunuh demi bisa bertahan hidup.

 

Industri Esports

Tak hanya di industri game, keputusan pemerintah Indonesia dan Tiongkok terkait industri esports juga punya kesamaan. Keduanya sama-sama mendukung esports. Hanya saja, lagi-lagi, dukungan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia dan Tiongkok pada pelaku industri esports berbeda.

Di Tiongkok, salah satu dukungan pemerintah pusat pada pelaku industri esports adalah dengan menyatakan pemain profesional sebagai pekerjaan resmi. Semantara itu, pemerintah lokal justru tidak segan untuk mengucurkan dana demi mengembangkan fasilitas esports. Shanghai menjadi salah satu kota yang peduli akan ekosistem esports. Pada 2019, pemerintah lokal Shanghai bahkan menyatakan keinginan mereka untuk menjadikan Shanghai sebagai "ibukota esports". Mereka berharap untuk merealisasikan rencana itu dalam waktu 3-5 tahun ke depan.

Shanghai bukan satu-satunya kota yang peduli akan industri esports. Pemerintah Huangzhou juga menunjukkan ketertarikan untuk menjadikan kota turis itu sebagai pusat esports. Untuk itu, pemerintah Huangzhou menyiapkan US$280 juta untuk membangun komplek esports seluas 360 ribu meter persegi. Keputusan pemerintah Huangzhou ini mendorong LGD Gaming dan Allied Gaming untuk membuka kantor di komplek tersebut. LGD Gaming merupakan organisasi esports yang punya beberapa tim sukses, termasuk tim League of Legends. Sementara Allied Gaming mengoperasikan jaringan esports di Tiongkok. Hal ini menunjukkan sinergi antara pemerintah dengan pelaku swasta dari industri esports, bagaimana pemerintah bisa menunjukkan dukungan secara nyata pada pelaku esports.

Chongqing Zhongxian E-Sports Stadium. | Sumber: SCMP

Pada Januari 2021, pemerintah Shanghai memamerkan desain dari esports hub yang hendak mereka bangun. Esports hub yang dinamai Shanghai International New Cultural and Creative Esports Center ini akan dibuka pada 2024. Untuk membangun fasilitas seluas 500 ribu meter persegi ini, pemerintah Shanghai menggelontorkan uang sebanyak US$900 juta. Salah satu fungsi esports hub itu adalah untuk menjadi tempat diselenggarakannya turnamen esports. Memang, esports hub tersebut dapat menampung penonton hingga enam ribu orang. Setelah esports hub ini jadi, ia akan menjadi salah satu stadion esports terbesar di dunia. Sejauh ini, kebanyakan stadion khusus esports punya kapasitas kurang dari enam ribu orang. Sebagai perbandingan, Esports Stadium Arlington, stadion esports terbesar di Amerika Utara, hanya memiliki kapasitas 2,5 ribu penonton.

Dua fasilitas tadi bukan stadion khusus esports pertama yang dibangun di Tiongkok. Pada 2018, di Tiongkok, telah dibangun Chongqing Zhongxian E-Sports Stadium, yang memiliki kapasitas 7 ribu orang. Stadion ini juga dilengkapi dengan plaza di bagian luar yang bisa menampung hingga 13 ribu orang. Para penonton yang ada di luar akan bisa menonton jalannya pertandingan melalui layar LED raksasa yang terpasang pada dinding luar stadion.

Sementara di Indonesia, salah satu bentuk dukungan pemerintah adalah dengan membentuk organisasi yang memayungi esports, yaitu Pengurus Besar Esports alias PB Esports, yang dipimpin oleh Jendral Pol (Purnawirawan) Budi Gunawan. Hanya saja, sebelum PB Esports dibentuk pada Januari 2020, telah ada beberapa organisasi yang menaungi para pelaku dunia game dan esports, seperti Asosiasi olahraga Video Game Indonesia (AVGI) yang dibentuk pada Juli 2019 atau Federasi Esports Indonesia (FEI), yang didirikan pada Oktober 2019.

Pada pelantikan anggota PB Esports, Budi Gunawan menjelaskan, pemerintah ingin menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh pelaku industri esports melalui PB Esports, mulai dari regulasi sampai training center. Tempat yang dipilih untuk menjadi pusat pelatihan esports adalah Sentul, Bogor. Sayangnya, sampai saat ini, saya tidak lagi mendengar kabar tentang proses pembangunan training center tersebut.

Bentuk dukungan lain dari pemerintah Indonesia adalah dengan menyatakan esports sebagai olahraga berprestasi pada Agustus 2020. Ketika itu, perwakilan PB Esports mengungkap, salah satu langkah konkret yang mereka lakukan untuk mengembangkan ekosistem esports adalah dengan menjaring bibit unggul. Mereka akan mencari para pemain berbakat di tingkat provinsi sebelum mengadu para bibit unggul itu di tingkat nasional. Selain itu, PB Esports juga hendak melakukan pembinaan pada para atlet unggul tersebut.

Berkaca dari akun Instagram resmi PB Esports, mereka telah mengadakan berbagai kompetisi esports di tingkat provinsi dengan game yang beragam, termasuk PUBG Mobile, Mobile Legends, dan PES. Tak hanya itu, mereka juga mengadakan berbagai turnamen esports tingkat nasional, seperti Piala Pelajar yang menawarkan total hadiah hingga Rp500 juta dan Piala KONI yang memiliki total hadiah sebesar Rp200 juta.

Piala KONI juga memasukkan esports. | Sumber: Esports.id

Dari segi budaya game dan esports, Indonesia juga punya kemiripan dengan Tiongkok. Baik di Indonesia maupun Tiongkok, mobile esports berkembang pesat. Di Tiongkok, hal ini terjadi karena Beijing memang sempat melarang penjualan konsol. Mereka baru mengizinkan penjualan konsol pada 2015. Alhasil, industri game yang berkembang di sana adalah game PC dan mobile game.

Sementara di Indonesia, mobile game dan esports tumbuh karena kebanyakan orang Indonesia memang mengenal internet pertama kali melalui smartphone. Tidak heran, mengingat harga smartphone jauh lebih murah dari PC atau konsol.  Selain itu, kebanyakan mobile game bisa diunduh dan dimainkan gratis. Karenanya, jumlah pemain mobile game bisa lebih banyak dari game PC atau konsol. Dan hal ini memudahkan ekosistem mobile esports tumbuh dan berkembang. Psst, kami juga pernah menjelaskan mengapa game esports yang populer adalah game gratis di sini.

 

Infrastruktur Internet dan Bisnis Smartphone

Suka atau tidak, industri game dan esports tidak berdiri sendiri. Keberadaan dan pertumbuhan dua industri ini sangat tergantung pada industri lain, seperti industri smartphone. Selain itu, infrastruktur internet juga memengaruhi perkembangan industri game dan esports. Tidak peduli sejago apa seseorang, dia tetap tidak akan bisa bermain game online atau bertanding di kompetisi esports jika dia tidak mendapatkan akses ke internet yang memadai. Jaringan internet yang buruk bahkan bisa memaksa tim mundur dari turnamen. Hal ini terjadi pada tim nasional Dota 2 dalam babak kualifikasi IESF World Championship 2020 untuk wilayah Asia Tenggara.

Indonesia dan Tiongkok sama-sama negara berkembang. Meskipun begitu, dari segi kecepatan internet, apalagi internet mobile, Tiongkok sudah jauh lebih baik. Berdasarkan data dari Speedtest, kecepatan internet mobile di Tiongkok mencapai 113,35 Mbps, hanya kalah dari Korea Selatan yang memiliki internet mobile dengan kecepatan 121 Mbps. Sementara kecepatan internet mobile di Indonesia hanya mencapai 16,7 Mbps. Kecepatan internet broadband di Tanah Air juga tidak jauh lebih baik, hanya mencapai 22,35 Mbps. Sementara di Tiongkok, kecepatan internet broadband sudah mencapai 138,66 Mbps. Sebagai perbandingan, Singapura -- yang menjadi negara dengan kecepatan broadband tertinggi -- memiliki kecepatan internet hingga 226,6 Mbps.

Namun, pemerintah Indonesia dan Tiongkok punya pendekatan yang sama soal internet: keduanya sama-sama peduli akan penyensoran. Tiongkok tidak hanya dikenal dengan Tembok Besar mereka, tapi juga dengan The Great Firewall of China. Memang, begitu Anda memasuki kawasan Tiongkok, akses internet Anda akan dibatasi. Bahkan perusahaan sekelas Facebook dan Google pun dilarang beroperasi di sana.

Secara garis besar, ada tiga alasan mengapa Beijing menyensor internet. Pertama, untuk mengendalikan massa. Media sosial dan internet bisa digunakan untuk mengumpulkan massa demi memprotes pemerintah. Memang, hashtag yang menjadi trending di jagat Twitter tidak melulu berakhir dengan tindakan di dunia nyata. Meskipun begitu, tidak sedikit kasus yang menunjukkan the power of netizens. Seminggu lalu, akun Instagram dari All England sempat hilang karena serbuan netizen Indonesia. Pasalnya, skuad Indonesia dianggap dicurangi, dilarang untuk bertanding karena ada kasus positif corona dalam pesawat yang mereka naiki.

Akun Instagram All England sempat hilang. | Sumber: CNN Indonesia

Alasan lain pemerintah Tiongkok membatasi akses ke internet adalah untuk mengendalikan informasi sensitif. Dengan membatasi akses masyarakat akan internet, Beijing membatasi informasi yang bisa mereka terima atau bagikan. Jadi, secara teori, pemerintah bisa mengendalikan informasi yang sampai ke tangan masyarakat, khususnya terkait topik sensitif, seperti protes di Hong Kong. Alasan terakhir mengapa Tiongkok menyensor internet adalah untuk melindungi industri lokal. Pemerintah Tiongkok melarang perusahaan asing raksasa seperti Google dan Facebook karena mereka lebih suka untuk menggunakan jasa perusahaan lokal, seperti Baidu, yang menawarkan jasa seperti Google dan dan Weibo, platform media sosial serupa Twitter.

Sama seperti Tiongkok, pemerintah Indonesia juga melakukan penyensoran pada internet. Hanya saja, di sini, alasan pemerintah membatasi akses internet adalah untuk menyensor konten "negatif", seperti pornografi. Untuk itu, Kominfo bahkan rela menyiapkan Rp194 miliar untuk mendapatkan mesin pengais (crawling). Meskipun begitu, saya cukup yakin saya masih melihat konten pornografi berseliweran di internet. Pada Maret 2018, Kominfo juga pernah memblokir Tumblr. Pemblokiran itu bisa diakali menggunakan VPN. Dua hal ini menunjukkan betapa (tidak) efektifnya penyensoran internet di Tanah Air tercinta.

Sama seperti Tiongkok, pemerintah Indonesia juga tidak hanya menyensor pornografi, tapi juga konten sensitif. Misalnya, pada Agustus 2019, pemerintah melakukan throttling kecepatan internet di Papua sebelum memblokir akses internet sama sekali. Alasannya, pemerintah mengklaim, adalah untuk "menangkal hoaks" yang muncul setelah masyarakat Papua melakukan protes besar-besaran akibat perlakuan rasis pada mahasiswa Papua di Surabaya, seperti dikutip dari Tirto.

Sumber: Deposit Photos

Sekarang, mari kita melirik industri smartphone. Selama ini, Tiongkok dikenal karena punya banyak pabrik, termasuk pabrik smartphone. Sementara Indonesia mulai membahas tentang ketentuan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) pada 2015. Komponen lokal yang bisa dimasukkan ke dalam smartphone berupa hardware, software, atau investasi. Untuk memenuhi TKDN, perusahaan smartphone terkadang bekerja sama dengan pabrik lokal atau bahkan membuat pabrik sendiri. Namun, alasan pembuatan pabrik smartphone di Indonesia dan Tiongkok agak berbeda. Indonesia menerapkan TKDN dengan harapan untuk memajukan industri komponen lokal.

Sementara itu, kebanyakan perusahaan smartphone memang memilih untuk memproduksi ponsel mereka di Tiongkok. Salah satu alasannya adalah karena di Tiongkok, gaji pegawai relatif lebih rendah daripada Amerika Serikat. Selain itu, Tiongkok juga punya banyak pekerja. Dan kebanyakan dari mereka tidak keberatan untuk tinggal di asrama yang dekat dengan pabrik demi memangkas waktu pulang-pergi. Selain dari sisi sumber daya manusia, Tiongkok juga menawarkan keuntungan secara geografis. Pasalnya, lokasi Tiongkok lebih dekat dengan negara-negara pemasok bahan baku untuk membuat smartphone. Jarak yang lebih pendek berarti waktu pengiriman bahan baku yang lebih singkat, yang akan berujung pada waktu produksi yang lebih juga lebih pendek.

Tak terbatas pada infrastruktur internet dan bisnis smartphone, Indonesia dan Tiongkok punya kesamaan di sektor lain, seperti BUMN. Seperti namanya, BUMN alias Badan Usaha Milik Negara merupakan perusahaan yang sahamnya dikuasai oleh pemerintah. Di sebagian BUMN, pemerintah menguasai keseluruhan saham perusahaan, sementara di sebagian BUMN yang lain, pemerintah hanya menguasai setidaknya 51% saham perusahaan. Secara garis besar ada dua jenis BUMN, yaitu BUMN yang berorientasi pada keuntungan -- seperti PT Telekomunikasi Indonesia alias Telkom dan PT Garuda Indonesia -- dan BUMN yang fokus pada menyediakan barang atau layanan berkualitas pada masyarakat dengan harga terjangkau, seperti Perum Damri, Perum Perumnas, dan lain sebagainya. Hal yang sama juga berlaku di Tiongkok.

Sementara itu, di sektor keuangan, Jakarta dan Beijing juga membuat peraturan yang ketat. Mengingat uang memang masalah yang sensitif, tidak heran jika sektor finansial menjadi sektor yang diregulasi secara ketat. Di Indonesia, salah satu bentuk nyata campur tangan pemerintah adalah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada startup fintech. Pada September 2018, OJK mengeluarkan 9 pokok peraturan baru soal fintech, termasuk pemantauan dan pengawasan startup fintech.

Di Tiongkok, regulasi di sektor keuangan malah lebih ketat lagi. Beijing bahkan tidak membiarkan investor asing untuk menanamkan investasi di perusahaan Tiongkok begitu saja. Jika investor asing ingin menanamkan modal, mereka harus memenuhi setidaknya satu kriteria dari daftar persyaratan yang diberikan oleh Beijing, seperti tinggal di Tiongkok, bekerja di perusahaan ternama asal Tiongkok, atau punya tempat tinggal di Tiongkok. Dan jika seorang investor memang memenuhi kriteria itu, maka pemerintah akan melakukan background check yang ketat sebelum mengizinkan sang investor membeli saham perusahaan Tiongkok. Saham yang bisa dibeli sang investor pun hanyalah saham non-voting. Dengan kata lain, investor asing tidak akan bisa menentukan arah perusahaan, termasuk keputusan untuk melakukan merger atau penunjukan anggota dewan direksi.

Pada Januari 2021, pemerintah Indonesia berencana untuk membatasi investor asing sehingga mereka hanya bisa menanamkan modal di Indonesia dengan nilai di atas Rp10 miliar. Tak hanya itu, menurut CNN Indonesia, investor asing juga harus membuka PT jika mereka ingin melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Namun, peraturan ini tidak berlaku untuk startup teknologi yang ingin berinvestasi di kawasan ekonomi khusus. Walau peraturan terkait investasi asing Indonesia tidak seketat Tiongkok, BUMN biasanya masih mendominasi pasar. Buktinya, IndiHome masih menjadi penyedia layanan internet dengan jangkauan terluas dan pelanggan terbanyak walau sering mendapatkan keluhan.

 

Kesimpulan

Pemerintah Tiongkok tidak segan-segan untuk membatasi akses masyarakat akan internet. Alasan mereka adalah untuk mencegah protes dan melindungi perusahaan lokal dari persaingan global. Hal ini tercermin dalam keputusan yang pemerintah buat di industri game dan esports. Beijing tak segan-segan untuk melarang peluncuran sebuah game buatan developer asing jika game itu tidak sesuai dengan peraturan yang mereka buat atau mengandung konten yang bertentangan dengan ideologi negara.

Sementara itu, pemerintah Tiongkok juga tidak ragu untuk mendukung para pelaku industri esports, termasuk dalam mengeluarkan uang ratusan juta dollar demi membangun fasilitas esports. Keputusan pemerintah Tiongkok untuk melarang penjualan konsol juga memengaruhi ekosistem esports yang tumbuh. Di Tiongkok, ekosistem esports yang berkembang pesat adalah mobile esports dan PC.

Berbagai keputusan yang diambil Beijing membuat mereka dianggap sebagai pemerintahan yang opresif. Meskipun begitu, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Ash Center, masyarakat Tiongkok merasa puas dengan kinerja pemerintah pusat. Pada 2016, sebanyak 95,5% responden mengaku "cukup puas" atau "sangat puas" akan kinerja pemerintah pusat. Menariknya, tingkat kepuasan masyarakat akan pemerintah lokal justru sangat rendah. Hanya 11,3% responden yang mengatakan bahwa mereka "sangat puas" dengan kinerja pemerintah lokal, seperti yang disebutkan oleh Harvard Gazette.

Walau pemerintah Indonesia punya banyak kemiripan dengan pemerintah Tiongkok, ada juga beberapa perbedaan antara keduanya. Salah satunya adalah konsistensi. Pemerintah Tiongkok lebih konsisten dalam menegakkan peraturan yang mereka tetapkan. Mereka juga tidak segan-segan untuk memblokir perusahaan sekelas Google atau Facebook. Bahkan Apple dan NBA pun harus mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh Beijing jika mereka ingin berbisnis di Tiongkok.

Feature Image via: CGTN