Penetrasi asuransi yang masih minim di Indonesia menjadi tantangan sekaligus peluang besar yang bisa digarap. Bisnis asuransi pada dasarnya berbasis pada kepercayaan antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi. Untuk itu kebanyakan membutuhkan agen sebagai perantara antara keduanya.
Hanya saja, cara pendekatan lewat agen dirasa kurang relevan dengan perkembangan saat ini, terutama saat generasi milenial mulai berkembang. Untuk itu keberadaan teknologi terkini yang mampu menjawab inti bisnis dasar asuransi sangat dibutuhkan. Inilah yang coba dijawab Hearti.
Perusahaan insurtech dan blockchain yang berbasis di Singapura ini ingin menjawab tantangan asuransi yang butuh unsur kepercayaan yang dipadukan dengan keamanan data yang tersimpan dalam teknologi blockchain.
CEO dan Founder Hearti Lab Keith Lim menuturkan blockchain adalah teknologi yang pas untuk memadukan industri keuangan khususnya asuransi dalam hal kepercayaan. Blockchain yang memiliki dua unsur elemen utama hash dan proof of work, memungkinkan semua data yang tersimpan sulit untuk di ubah-ubah.
“Asuransi itu harus transparan proses bisnisnya, kedua belah pihak harus tahu isi polis tanpa bisa diubah-ubah. Nah ini bisa dikomplementerkan dengan blockchain, sehingga semua data bisa diketahui kedua belah pihak,” terang Lim kepada DailySocial.
Hearti Lab menjalani bisnisnya dengan model B2B2C. Artinya, perusahaan menyediakan full suite application platform, yang di dalamnya termasuk chatbot (berbentuk white label) untuk mitra perusahaan asuransi. Nanti perusahaan asuransi bisa memasukkan fitur-fitur yang diinginkan sebelum disebar ke masyarakat.
Setiap percakapan yang terjadi di dalam chatbot, sambungnya, akan tersimpan dalam big data dan diolah oleh machine learning. Semakin sering bercakap-cakap, chatbot akan semakin pintar memberikan rekomendasi berkat AI yang disematkan.
Teknologi blockchain akan bekerja untuk menyimpan seluruh data dan polis pengguna, sehingga tidak bisa diubah tanpa persetujuan antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi.
Perubahan isi polis seperti ini sebenarnya, menurut Lim, terjadi di Thailand. Saat terjadi banjir bandang, nasabah tidak bisa mengklaim asuransi properti yang sudah mereka beli karena terjadi perbedaan data antara kedua belah pihak.
Perusahaan asuransi di sana tidak memberitahukan saat isi polis terjadi perubahan ke para nasabahnya. Alhasil, nasabah tidak bisa mengklaim saat membutuhkannya. Hal ini juga terjadi di Singapura, namun tidak separah di Thailand. Perusahaan asuransi di sana terkadang lupa memberitahukan ketika ada perubahan polis ke nasabah.
Berkat kehadiran big data, perusahaan asuransi dapat menyesuaikan harga premi asuransi dengan biaya tambahan (surcharge) dalam chatbot mereka berdasarkan kondisi iklim atau bencana yang terjadi di daerah tertentu. Nasabah tetap bisa terlindungi dengan asuransi saat berkunjung ke sana, yang mana hal seperti ini biasanya tidak dapat terjadi ketika beli asuransi perjalanan biasa.
Perusahaan juga bisa memberikan sejumlah diskon untuk para nasabahnya yang sudah loyal dan tidak mengklaim dalam beberapa tahun belakangan. Hal-hal seperti ini yang bisa menguntungkan kedua belah pihak.
“Ini menguntungkan buat nasabah dan perusahaan asuransi. Nasabah yang beli asuransi itu pasti inginnya terlindungi dengan asuransi di mana pun mereka berada. Namun terkadang karena aturan khusus dalam polis, membuat keinginan untuk terlindungi jadi percuma karena tidak bisa diklaim.”
Hearti Lab juga meluncurkan token tersendiri untuk pembelian polis, dinamai Sure Token berbasis mata uang digital Ethereum platform ERC-20. Dengan token ini, dapat menguntungkan orang-orang yang belum memiliki rekening bank untuk membeli asuransi. Token bisa dibeli lewat aplikasi Hearti Lab.
Salah satu perusahaan asuransi yang sudah menggunakan chatbot buatan Hearti Lab adalah Asuransi Sompo di Singapura yang meluncurkan chatbot bernama Serene. Dia dapat menangani semua hal berkaitan asuransi perjalan di Sompo secara instan, entah sekadar untuk cari informasi, membeli polis, hingga klaim secara 24/7.
“Bahkan Sompo berencana untuk membawa Serene buat pengembangan bisnisnya di Indonesia.”
Rencana bisnis di Indonesia
Hearti Lab hadir di Indonesia sejak Februari 2018 dan dipimpin Benny Jioe sebagai Country Manager Hearti Lab Indonesia. Benny menerangkan saat ini pihaknya masih fokus untuk mengembangkan tim karena Indonesia akan dijadikan tempat pemasaran bisnis Hearti Lab.
Penetrasi soal blockchain di Indonesia juga bakal terus dikembangkan, mengingat pendekatan asuransi dengan blockchain masih terdengar cukup awam bagi banyak orang. Oleh karena itu pada tahap awal perusahaan memberi opsi kepada setiap pengguna. Apakah ingin menyimpan polis dalam sistem blockchain atau data sentral.
“Kami ingin pastikan dulu orang paham dengan blockchain. Ini momennya tepat karena saat ini sudah banyak asuransi konvensional di Indonesia yang mulai sadar dengan potensi digital,” terang Benny.
Saat ini perusahaan sedang dalam tahap diskusi untuk penerapan perdana blockchain dengan salah satu bank yang kuat dengan lini usaha asuransi dari anak usahanya. Sayangnya, Benny enggan berkomentar lebih lanjut untuk detil soal ini.
Selain Indonesia dan Singapura, Hearti Lab memiliki tim di Thailand dan Vietnam. Hearti Lab pernah menerima investasi dari sejumlah angel investor, di antaranya Pang Yew Khat, Khoo Kah Siang (COO Manulife Singapura) senilai US$2,8 juta pada 2015.