XL Axiata (XL) akhirnya resmi mengumumkan akuisisi terhadap 95% saham Axis Telekom yang dikuasai oleh Saudi Telecom. 17 juta pelanggan terdaftar Axis yang nanti ditambahkan ke dalam cakupan XL bakal membuatnya resmi menjadi operator seluler terbesar kedua di Indonesia, berdasarkan jumlah pelanggan, setelah Telkomsel. Entitas baru hasil akuisisi bakal memiliki sekitar 66 juta pelanggan. Yang menjadi pertanyaan, apakah cuma itu yang dikejar oleh XL atau ada tujuan lain di balik pembelian operator GSM dengan jumlah pelanggan paling kecil ini?
Tentunya sudah merupakan rahasia umum bahwa yang diincar oleh XL adalah spektrum frekuensi, terutama di pita 1800 MHz dan 2100 MHz yang bakal digunakan untuk pemanfaatan layanan jaringan berkecepatan tinggi, seperti LTE. Uji coba LTE yang dilakukan oleh XL dan Telkomsel di kedua frekuensi tersebut mengisyaratkan bahwa ketika LTE secara nasional diluncurkan, kedua operator ini bakal membutuhkan lebar frekuensi yang memadai di dua spektrum itu. Telkomsel saat ini disebutkan sudah memiliki lebar frekuensi yang cukup. tapi XL membutuhkan tambahan frekuensi untuk mencapai kondisi ideal. Langkah yang akhirnya dilakukan adalah akuisisi Axis ini.
Mengingat secara regulasi frekuensi tidak bisa dipindahtangankan secara langsung ke pihak lain, pemerintah dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Informasi harus memberikan lampu hijaunya bagi penggunaan frekuensi (eks)-Axis ke entitas baru hasil akuisisi. Berkaca ke pengalaman sebelumnya, misalnya akuisisi Satelindo oleh Indosat dan Sampoerna Telekom oleh Bakrie Telekom, saya pikir ujung-ujungnya persetujuan menteri tidak bakal sulit diberikan.
Peningkatan lebar frekuensi mungkin bisa diibaratkan jalan raya yang memperoleh lajur baru. Dengan lajur yang lebih banyak, potensi kemacetan bisa dikurangi, meskipun saat rush hour sekalipun. Lalu lintas data, mengambil analogi sebelumnya, seharusnya bakal semakin lancar.
Secara teoritis, teknologi LTE bisa menghantarkan berselancar di Internet dengan kisaran kecepatan 20-80 Mbps, bergantung kualitas teknologi yang diimplementasikan. Bisa dibayangkan lonjakan produktivitas yang akan terjadi di berbagai pelosok di Indonesia, terutama akibat penetrasi jaringan seluler yang jauh lebih luas ketimbang jaringan Internet berbasis kabel.
Terlepas dari berapa lama proses akuisisi ini akan berlangsung, sisi positif yang bisa diambil adalah pelaku industri sudah menyadari masa depan teknologi seluler Indonesia adalah dengan memiliki operator seluler yang tidak terlalu banyak. Ke depannya, teknologi yang lebih maju lagi (setelah LTE) bakal semakin rakus mencari “lajur-lajur jalan”. Pemain industri yang terlalu banyak malah bakal menimbulkan “bottleneck” — yang merugikan baik untuk operator maupun konsumen pemakainya.
Satu operator yang sudah terus-menerus merugi akhirnya “menyerah”, tiga operator yang lain (terutama yang menggunakan teknologi CDMA) mungkin perlu mempertimbangkan opsi yang sama ketika laporan keuangannya sudah semakin berdarah-darah. Opsi diakuisisi ataupun beralih menjadi Mobile Virtual Network Operator (MVNO) saya rasa tidaklah terlalu buruk.