Dark
Light

Hanifa Ambadar Menantang Halangan Gender

3 mins read
November 21, 2014

IMG_0811

Siang itu untuk pertama kalinya saya mengunjungi kantor FDN (Female Daily Network). Waktu yang tepat karena beberapa hari yang lalu kami menerbitkan berita FDN menerima pendanaan Seri A sebesar $1 juta. Menariknya beberapa waktu yang lalu saya sempat membaca sebuah artikel yang mengulas tentang kenapa tidak banyak perusahaan bernilai jutaan dollar yang didirikan oleh perempuan atau memiliki CEO perempuan.

Perkenalan pertama kepada dunia entrepreneurship

Hanifa Ambadar, salah satu pendiri sekaligus CEO FDN, membuka cerita bahwa ia telah terpapar oleh dunia entrepreneurship sejak dini. Ayahnya mendirikan sebuah firma hukum yang mengurusi hak cipta. Hani (begitu panggilan akrabnya) kecil pun pernah bermimpi menjadi seorang bos yang memiliki kantor dan usaha sendiri. Seiring berjalannya waktu, mimpi tersebut tenggelam berganti menjadi ingin bekerja dan mempunyai jabatan bagus di perusahaan multinasional.

Setelah lulus sekolah menengah atas, Hani melanjutkan pendidikannya ke sekolah bisnis di Maryville University of St. Louis – John E. Simon School of Business, Amerika Serikat. Setelah lulus ia sempat bekerja di perusahaan fashion ternama GAP. Setelah menikah dan memiliki anak, Hani berpikir rasanya tidak mungkin untuk kembali bekerja dengan jam kerja seperti dulu lagi. Hani mulai berpikir ulang tentang pekerjaan dan menjawab pertanyaan paling mendasar dalam dirinya, “kerja untuk apa?”

Akhirnya ia pun menggabungkan dua hal yang disukainya: nge-blog (menulis) dan fashion. Inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya FDN. Ia berpartner dengan Affi Assegaf. Hani menjalankan blognya dari Amerika Serikat, sementara Affi saat itu juga masih bekerja. Ketika mereka berdua masih belum fokus menggarap blog di tahun 2005, ternyata sambutannya sudah cukup baik.

Hani mengenang saat itu komunitasnya pun sudah terbentuk dan ada beberapa perusahaan yang sudah mau beriklan. “Perusahaan yang beriklan itu brand besar. Lalu saya berpikir belum diseriusin saja sudah menghasilkan uang, apalagi kalau serius. Lalu setelah kembali ke Indonesia saya berniat untuk menggarap ini dengan serius,” cerita Hani. (Baca juga: Hanifa Ambadar, CEO Female Daily Network, Bicara Tentang Membangun Komunitas)

Pentingnya delay gratification

Awalnya, FDN berkantor di sebuah ruangan kosong di tempat yang sama dengan butik Hani. Setelah berkembang ia pun harus memilih meninggalkan bisnis butiknya. FDN telah melalui banyak proses dan perubahan dalam perjalanannya, namun tetap konsisten berada dalam jalur pengembangan perempuan.

Hingga saat ini Hani masih menyayangkan soal satu hal. Ia belum sempat belajar banyak soal bisnis dari ayahnya. Setelah tumbuh besar justru lebih banyak waktu dihabiskan di luar negeri, jauh dari sang ayah. Meskipun demikian ia mensyukuri nilai delay gratification yang ditanamkan sejak kecil oleh orangtuanya. Bila ia menginginkan sesuatu, hal tersebut tidak pernah langsung diwujudkan.

“Padahal uang bukan masalahnya, lagipula yang saya minta juga bukan hal yang luar biasa. Misalnya minta sepatu baru, itu tidak langsung ada. Tunggu dulu, akan diberikan kalau misalnya nilai sekolahnya bagus. Ini benar-benar membentuk saya dalam menjalankan bisnis, namanya bisnis hal yang kita kerjakan sekarang belum tentu hasilnya akan dirasakan saat ini juga,” terangnya.

Dengan kucuran dana yang diterima, Hani dan kawan-kawannya berencana untuk menyempurnakan platform FDN yang sudah ada. “Kami belum memiliki mobile apps, sedangkan pengunjung dari mobile sudah mencapai 60 persen,” ujarnya yang berencana untuk mengembangkan seluruh platform-nya secara in-house.

Perempuan di tampuk kepemimpinan

Industri digital masih lekat dengan persepsi bahwa ini adalah dunia laki-laki. Sayangnya fakta masih menunjukkan hal itu. Tidak hanya industri digital, tetapi juga dunia bisnis secara keseluruhan. Secara global hanya 2,7 persen perusahaan yang mendapat investasi lebih dari satu juta dollar Amerika yang punya CEO perempuan. Bahkan menurut laporan Ernst & Young tahun lalu, hanya 2 persen perusahaan yang didirikan perempuan yang berhasil menembus angka penjualan hingga satu juta dollar Amerika.

Menanggapi hal ini, Hani memiliki cerita yang menarik. Ia pribadi tidak pernah merasakan adanya perbedaan ini, sebab ia berkecimpung di dunia perempuan yang dikelilingi perempuan. Bahkan klien-klien sebagian besar perempuan. Hingga saatnya bertemu dengan VC yang mempertanyakan karena ia bersama partner-nya semuanya perempuan dan sudah berkeluarga.

femaledaily

“Mereka ingin ada laki-laki dalam manajemen. Buat kami tidak masalah asalkan memang ia capable dan skill-ya dibutuhkan. Jangan hanya karena dia laki-laki,” ungkap Hani.

Hani cukup senang dengan kemitraan yang dijalankan saat ini dengan Ideasource. Hani mengatakan, “Dengan Pak Andi sudah kenal cukup lama dan ia juga percaya dan yakin bahwa these girls know what they are doing.”

Ia mengerti kekhawatiran tidak adanya laki-laki di manajemen puncak perusahaannya, apalagi dijalankan oleh perempuan-perempuan yang sudah berkeluarga.

Hani menyebutkan, “Ya, sebagai perempuan berkeluarga kan tidak bisa injek gas kencang terus dalam menjalankan bisnis. Ada masanya untuk pelan-pelan bahkan mundur dulu. Banyaklah, saat hamil, anak sakit, anak sedang tes. Itu membuat kami harus memikirkan ulang prioritas. Untungnya, kami semua perempuan dan saling mengerti, jadi bisa saling mendukung.”

Membangun kultur perusahaan yang mommies friendly

Ini juga yang membuat kultur perusahaan FDN sangat mommies friendly. “Kami sangat fleksibel soal jam kerja dan ijin. Kalau ada urusan keluarga apalagi menyangkut anak sakit, boleh kok kerja dari rumah atau anaknya dibawa ke kantor,” jelasnya.

Sistem ini telah berjalan di FDN cukup lama dan Hani mengatakan berjalan dengan baik.

Ia melanjutkan, “Intinya sih, mau kerja lebih keras saja. Misalnya kalau tidak bisa ke kantor karena harus jaga anak di rumah, ya kalau anaknya sudah tidur kerjaan diselesaikan, meski jatuhnya harus begadang juga.”

Bicara soal nilai sosial yang umum yang diterima, meski sangat bisa diperdebatkan, perempuan sebagai si empu rahim yang mempunyai kemampuan untuk melahirkan anak, membuat posisi caregiver menjadi milik perempuan, dan dituntut menempatkan keluarga menjadi prioritas di atas prioritas lainnya.

Hani memiliki pandangan bahwa tidak seharusnya perempuan membatasi dirinya, dan menyerah pada tantangan-tantangan yang belum dihadapi. Menurutnya, “Nanti kalau hamil gimana? Nanti kalau punya anak kan repot. Ya udah hamil saja dulu, punya anak saja dulu. Tantangannya belum ada di depan, baru hanya di pikiran. Jangan belum apa-apa sudah tutup diri.”

Fakta yang tidak bisa dipungkiri adalah perempuan, tidak bisa lari kencang setiap saat. Ada fase dalam hidupnya ia justru harus berjalan dengan sepelan mungkin. Bukankah menjalankan bisnis sifatnya marathon, bukan sprint? Hani and her partner prove that women can have it all.

[Foto: DailySocial]

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Previous Story

Pendapat Praktisi Media Sosial Polandia Tentang Industri E-Commerce Indonesia

Next Story

Wow, Tony Hawk Main Skateboard Terbang!

Latest from Blog

Don't Miss

Behind VC’s Investment on Local Cosmetics and Beauty Tech Startups

The rise of the beauty and personal care industry in
Investasi di startup kecantikan dan kosmetik dapat dimanfaatkan untuk mendorong "scalability" bisnis dan memahami kebutuhan konsumen lewat teknologi

Mengapa VC Berinvestasi di Startup Kecantikan dan Kosmetik Lokal

Kebangkitan industri kecantikan dan perawatan diri (beauty and personal care)