Dark
Light

Hak Untuk Dilupakan: Manfaat Perlindungan dan Potensi Penyalahgunaan

4 mins read
November 23, 2016
Hak untuk Dilupakan adalah pasal baik, asal juga diterapkan secara adil untuk semua lapisan masyarakat / Pixabay

Internet adalah tempat yang bebas bagi publik untuk menyimpan data dan mengabarkan peristiwa. Meskipun terdapat berbagai peraturan yang berusaha untuk mengelola dan membatasi kebebasan tersebut, pada kenyataannya, teknologi internet berkembang relatif lebih cepat daripada ketentuan hukum dapat mengimbanginya.

Informasi yang terdapat di internet bisa dalam bentuk data yang kita unggah sendiri atau diunggah oleh orang lain. Foto memalukan yang kita post sendiri bisa kita hapus dengan mudah. Namun, bagaimana jika foto tersebut di-copy oleh orang lain, atau bahkan menjadi viral atau meme, dan sulit bagi kita untuk meminta orang-orang tersebut untuk menghapusnya satu-persatu. Bagaimana jika foto memalukan tersebut memberikan kita ketenaran yang tidak diinginkan atau bahkan sampai mengganggu karier? Pertanyaan yang sama berlaku bagi jenis-jenis informasi lainnya, seperti tweet, status update, maupun laporan berita.

Setiap orang memiliki masa lalu dan mungkin kejadian-kejadian tersebut sudah tidak relevan dengan kehidupan kita sekarang. Internet dan teknologi cloud membuat kita sulit untuk mengubur masa lalu itu. Maka, munculnya ‘hak untuk dilupakan’ adalah perkembangan hukum yang wajar dalam era digital ini.

Apa itu ‘hak untuk dilupakan’?

The right to be forgotten atau hak untuk dilupakan sudah menjadi perbincangan di Uni Eropa sejak tahun 2006. Menurut Mantelero Alessandro, profesor Hukum Perdata dari Italia, hak untuk dilupakan berangkat dari keinginan individual untuk menentukan sendiri arah pengembangan hidup mereka secara otonom, tanpa terus-menerus dikenai stigma sebagai konsekuensi dari tindakan tertentu yang mereka lakukan di masa lalu.

Hak ini mulai diberlakukan saat seorang warga Spanyol merasa pemberitaan mengenai suatu hutang di masa lalunya sudah tidak relevan lagi untuk diberitakan, sebab ia telah melunasi hutang tersebut. Ia menggugat Google supaya menghapus seluruh tautan pemberitaan tersebut dari search result sebagai wujud haknya untuk dilupakan. Google membela diri dari permintaan tersebut sebab mereka ingin menjadi platform informasi yang netral. Namun Google kalah dan hak untuk dilupakan ini menjadi preseden yang berlaku terhadap seluruh pengendali data di Uni Eropa.

Perlu dicatat bahwa dalam kasus ini, penghapusan tautan hanya dilakukan di search engine, sementara tautannya sendiri masih bisa ditemukan di situs berita yang bersangkutan. Dengan berlakunya hak untuk dilupakan secara menyeluruh di Uni Eropa, hak ini juga dapat diberlakukan terhadap media berita dan media sosial.

Perdebatan soal hak untuk dilupakan sesungguhnya mendasar secara konsep dan filsafat hukum. Ketika diturunkan menjadi diskursus antara hak untuk dilupakan versus hak kebebasan berekspresi, hak asasi manusia dapat menjadi pedang bermata dua. Kedua hak tersebut merupakan hak asasi manusia. Tidak sedikit yang mengkritik hak untuk dilupakan sebagai suatu bentuk penyensoran dan penulisan ulang sejarah.

Hak untuk dilupakan vs hak atas informasi

Hak untuk dilupakan tidak sama dengan hak privasi. Hak privasi adalah hak atas informasi-informasi pribadi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi identitas seorang individu dan berpotensi membahayakan keselamatan individu tersebut, seperti alamat, nomor telepon, catatan kesehatan, dan lain-lain. Sedangkan hak untuk dilupakan berhubungan dengan informasi akan seorang subyek di internet pada periode waktu tertentu.

Terlepas dari kontroversinya, hak untuk dilupakan dapat dimanfaatkan untuk hal-hal baik. Korban dari revenge porn atau perbuatan asusila dapat menggunakan hak ini untuk menghentikan, atau setidaknya membatasi, distribusi konten tentang dirinya di internet. Remaja Gen Z atau bayi-bayi yang sudah punya akun Instagram sendiri karena orang tuanya, yang menyesali keberadaan konten digital dirinya, juga dapat memanfaatkan hak yang sama untuk menghapus konten tersebut.

Namun, bagaimana dengan seorang dokter yang pernah melakukan malpraktik atau pengobatan yang sempat menjadi sorotan? Dokter itu bisa saja menggunakan hak untuk dilupakan demi mengubur informasi soal malpraktiknya di masa lalu. Kerugian terbesar tentunya adalah bagi konsumen yang perlu mengambil keputusan dengan informasi menyeluruh.

Pada skala lebih kecil, jika kita pernah diberitakan melakukan tindakan kriminal atau memiliki konten memalukan di akun atau situs publik, dan kita tidak mau informasi tersebut mempersulit kita mencari kerja, pantaskah hak untuk dilupakan digunakan dalam hal ini? Apakah pemberi kerja berhak untuk mengetahui informasi ini, meskipun kita merasa informasi tersebut sudah tidak relevan?

Hak untuk dilupakan ini sudah dimanfaatkan oleh Dejan Lazic, pianis dari Uni Eropa, untuk menghapus resensi jelek soal musiknya di internet. Penerapan hak untuk dilupakan sangat nyata dalam kehidupan publik di internet dan berpengaruh langsung terhadap kebutuhan akan informasi masyarakat.

Bagaimana pengaturan Hak Untuk Dilupakan dalam Perubahan UU ITE?

Oktober lalu, DPR telah mengesahkan perubahan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Salah satu perubahan itu adalah penambahan ketentuan Pasal 26 soal perlindungan data pribadi di internet. Berdasarkan pemberitaan Kominfo, penambahan Pasal 26 adalah:
(a) setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan; dan
(b) setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan.

Hingga saat ini, saya belum berhasil mendapatkan teks asli Perubahan UU ITE, sehingga saya hanya mengandalkan pemberitaan Kominfo. Ada beberapa hal yang dapat ditanggapi:

(a) Definisi ‘tidak relevan’ terlalu rancu. Informasi apa yang masih relevan dan tidak relevan? Apakah Perubahan UU ITE akan menjelaskan ukuran dari ‘tidak relevan’? Belajar dari perkembangannya di Uni Eropa, perlu ada pengecualian terhadap informasi yang diunggah sehubungan dengan kegiatan jurnalistik dan resensi karya seni, supaya hak-hak warganegara akan informasi tetap terjamin. Pengadilan Uni Eropa secara eksplisit mengklarifikasi bahwa hak untuk dilupakan tidaklah absolut dan akan selalu perlu diseimbangkan dengan hak-hak fundamental warganegara, seperti kebebasan berekspresi. Pemberitaan Kominfo tidak memperlihatkan pengecualian tersebut.

(b) Siapa yang dimaksud dengan ‘Penyelenggara Sistem Elektronik’? Berdasarkan definisinya di UU ITE, penyelenggara yang dimaksud akan meliputi seluruh pengendali data di internet, seperti search engine dan media digital, termasuk media sosial dan blog pribadi. Namun, ketentuan ini menjadi tidak berlaku bagi search engine dan media non-Indonesia karena perbedaan yurisdiksi. Jika pemerintah Indonesia tidak berhasil menggalakkan kewajiban OTT untuk memiliki badan hukum di Indonesia, hak untuk dilupakan tidak bisa diterapkan terhadap OTT asing.

(c) Apa yang dimaksud dengan ‘menghapus’? Apakah menghapus berarti meniadakan tautannya saja, atau menghapus laman yang bersangkutan sekaligus?

(d) Penggunaan hak untuk dilupakan mengharuskan adanya penetapan pengadilan, yang mana memakan waktu dan biaya. Sisi positifnya adalah Penyelenggara Sistem Elektronik tidak bisa mengelak. Penetapan pengadilan juga memastikan hak untuk dilupakan tidak dapat digunakan begitu saja. Di sisi lain, jika Penyelenggara Sistem Elektronik keberatan untuk menghapus data, mereka harus melakukan upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung. Hakim sebagai penentu apa yang ‘relevan’ jadi memiliki beban baru untuk memahami internet, termasuk soal integritas dan distribusi informasi di internet, serta hubungannya dengan konteks sosial dari informasi tersebut. Ketiadaan preseden juga berpotensi mengakibatkan penetapan hakim berbeda dari kasus ke kasus, sehingga dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum.

(e) Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengatur mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan. Akan tetapi belum jelas apakah Perubahan UU ITE akan menentukan standar mekanisme itu. Mungkinkah hal tersebut akan diserahkan sepenuhnya ke Penyelenggara Sistem Elektronik?

(f) Bagaimana jika Penyelenggara Sistem Elektronik menolak untuk menghapuskan Informasi Elektronik yang bersangkutan? Apakah mereka dapat dikenakan denda atau upaya hukum lainnya? Pemberitaan Kominfo tidak menggambarkan sanksi tersebut.

Saya turut menekankan perlu ada mekanisme tambahan supaya hak untuk dilupakan tidak disalahgunakan oleh pemangku kepentingan. Pasal 27 ayat (3) soal penghinaan dan pencemaran nama baik di internet cenderung dapat disalahgunakan oleh pejabat dalam melawan kritik terhadap pemerintah. Ketentuan hak untuk dilupakan berpotensi untuk disalahgunakan dalam konteks yang serupa.

Beberapa media nasional telah menyampaikan kekhawatiran mereka soal ‘penyensoran’ ini. Pemerintah dan penegak hukum perlu mengimbangi kekhawatiran tersebut dengan menentukan koridor-koridor yang jelas dalam penggunaan hak untuk dilupakan. Jika tidak, hak untuk dilupakan hanya akan menambah pekerjaan rumah, bukannya memberikan solusi keamanan dan kenyamanan berinternet.


Disclosure: Fallissa Putri, S.H. adalah konsultan hukum dan advokat dari Klikonsul, konsultan hukum dan bisnis di bidang ekonomi kreatif, termasuk teknologi informasi. Informasi lebih lanjut dapat dibaca di http://klikonsul.com

Previous Story

Indosat Ooredoo Business Resmi Luncurkan NEXThing

Next Story

Fashion Reseller Banananina Joins E-Commerce Race

Latest from Blog

Don't Miss

Web3 penulis

Kepenulisan dan Penulis dalam Blockchain

Nawala dan portal informasi tertulis kian menjadi sarana distribusi informasi

Mencermati Tempat NFT Di Industri Musik

Tak lama setelah lulus kuliah, saya sudah bekerja di industri