Dark
Light

[Guest Post] Antusiasme, Idealisme dan Kultur: Modal Universitas di Indonesia untuk Picu Inovasi

3 mins read
June 28, 2011

Editor: Artikel ini menjadi kelanjutan seputar tema tentang Silicon Valley, Universitas di Indonesa dan kaitannya dengan inovasi serta tema wirausaha. Sigit Purnomo sebagai seorang dosen tentunya punya pandangan menarik seputar tema ini. Berikut artikel guest post oleh Sigit Purnomo.

Tulisan ini akan mencoba melanjutkan trilogi tulisan dari Angelina Veni tentang Silicon Valley, Rama Mamuaya tentang Universitas di Indonesia Harus Picu Inovasi, dan Wiku Baskoro tentang Pilih Dirikan – Bekerja di Startup atau Kerja di Perusahaan Besar?. Pada trilogi tulisan tersebut ada topik bahasan yang sama, yaitu bagaimana universitas dan industri bisa berkolaborasi dengan baik untuk menghasilkan simfoni yang indah berupa “Silicon Valley”. Pada tulisan ini saya akan mencoba membahas apa yang disampaikan oleh Angelina Veni: “Silicon Valley lebih dari sekedar bangunan, perusahaan, universitas – ada antusiasme di sini, idealisme, kultur.” Antusiasme, idealisme dan kultur, tiga hal yang menurut saya sekarang sangat penting bagi universitas di Indonesia untuk picu inovasi.

Antusiasme

Ada dua cerita menarik dalam buku Outliers karangan Malcolm Gladwell yang akan saya jadikan pengantar untuk membahas mengenai antusiasme. Cerita pertama adalah bagaimana Bill Joy masuk ke University of Michigan pada saat yang tepat yaitu ketika universitas tersebut membuka Computer Center. Computer Center ini kemudian menjadi kehidupan Bill Joy, dan disetiap kesempatan Bill Joy membuat program di tempat ini. Kedua adalah ketika Bill Gates sedang menjalani tahun keduanya disebuah sekolah swasta di Lakeside. Sekolah ini membuka sebuah klub komputer dan sejak saat itu, Bill Gates hidup di dalam ruangan komputer itu, dan komputer benar-benar menjadi obsesinya. Ada kesamaan dalam kedua cerita tersebut. Baik Bill Joy maupun Bill Gates, keduanya memiliki antusiasme yang tinggi untuk mempelajari komputer ketika mereka memiliki kesempatan.

Nah, lalu apakah antusiasme tersebut sudah ada di universitas di Indonesia sekarang? Saya yakin, banyak universitas di Indonesia, khususnya di bidang teknologi informasi, yang telah bekerja sama dengan berbagai industri, mulai dari Oracle, Microsoft, CISCO, Sun Microsystem, Nokia dan berbagai vendor lainnya yang memiliki program kerjasama dengan institusi pendidikan. Saya juga yakin bahwa universitas telah menyediakan laboratorium yang berisi komputer dan berbagai piranti lainnya seperti handphone/smartphone. Apakah kesempatan yang diberikan ini membuat  seluruh anggota universitas baik mahasiswa maupun dosen antusias seperti Bill Joy dan Bill Gates?

Berikut ini contoh cerita yang mungkin bisa membantu kita untuk menjawab pertanyaan tersebut. Salah satu bentuk program kerjasama yang diberikan oleh Microsoft kepada universitas adalah  MSDNAA, yaitu pemberian lisensi gratis 180-an software Microsoft bagi setiap mahasiswa atau dosen di departemen STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics). Sebuah kesempatan besar bagi setiap mahasiswa atau dosen agar mampu melakukan inovasi. Sayang, dari 180-an software tersebut kebanyakan yang diunduh adalah OS dan bukan development tools seperti Visual Studio atau XNA Game Studio. Hal ini juga sama dengan penggunaan laboratorium. Komputer yang ada hanya digunakan untuk main game maupun mengakses situs jejaring sosial. Dari sini terlihat bahwa antusiasme yang ada hanya antusiasme sebagai pengguna dan bukan sebagai inovator.

Idealisme

Satu lagi cerita dari Angelina Veni: “Entrepreneurs yang saya ketemu mostly sangat idealis – dalam arti: mereka mikir tentang masalah yang mau diselesaiin first, ciptain sesuatu yang solve itu, dan mikir tentang monetisasi belakangan.” Adakah hal seperti ini di universitas di Indonesia? Jangan-jangan di universitas, entah itu mahasiswa maupun dosennya tidak mengetahui apa sebenarnya masalah yang mereka atau orang lain hadapi dan perlu untuk diselesaikan.

Hal tersebut sangat mungkin terjadi. Teknologi yang menjadi bagian dari keseharian mereka mungkin telah menjadi pedang bermata dua dan ‘membutakan’ mereka untuk melihat masalah yang ada. Ketika mereka membutuhkan informasi, ada Google yang akan menolong mereka. Ketika mereka ingin berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama, ada Twitter atau Facebook, dan berbagai layanan jejaring sosial yang akan menolong mereka.

Kondisi di atas menunjukkan bahwa sepertinya semuanya baik-baik saja dan setiap ada masalah, solusinya telah tersedia. Nah, sesuatu yang menjadi awal dari inovasi saja sudah hilang. Bagaimana bisa berinovasi untuk solve problem yang dihadapi ketika tidak tahu masalah apa yang sebenarnya sedang dihadapi. Mungkin hal ini juga yang menjadikan kecenderungan startup di Indonesia lebih memilih konsep ATM (Amati, Tiru, dan Modifikasi).

Kultur

Kultur? Berbagai universitas di Indonesia sudah mulai memproklamasikan diri sebagai research university maupun entrepreneur university. Adakah universitas di Indonesia yang kulturnya terlihat dengan jelas, baik itu kultur riset maupun kewirausahaannya? Jika belum ada, mungkin pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jiwa research university maupun entrepreneur university tersebut merasuk ke seluruh anggota civitas akademika di universitas itu. PR besar bagi universitas maupun industri jika hal ini dikaitkan dengan Silicon Valley.

Kultur di Silicon Valley sangat terlihat. Universitas dan industri benar-benar mampu membuat sebuah simfoni yang indah. Bagaimana di Indonesia? Wiku telah menuliskan bagaimana industri, khususnya vendor saat ini mulai gencar masuk ke kampus. Berbagai event yang mempertemukan pelaku industri, khususnya startup juga telah banyak dilakukan di kampus (red: Anda bisa baca arsip di DS). Apakah semuanya itu telah membantu menciptakan kultur di universitas? Apakah semuanya itu mampu menjembatani jarak antara industri dan universitas?

Finally, saya sebagai bagian dari universitas, memiliki keinginan besar agar “Silicon Valley” bisa terwujud di Indonesia, tidak hanya di Jakarta saja, melainkan juga di kota-kota lain seperti Jogjakarta. Semoga perkembangan startup di Indonesia yang sangat pesat saat ini (meski mungkin bukan berawal dari universitas), mampu membantu universitas sehingga bisa berkolaborasi dalam membangun sebuah simfoni yang indah yaitu “Silicon Valley Indonesia”. 😀

Artikel guest post ini ditulis oleh Yohanes Sigit Purnomo W.P. Dosen di jurusan teknik informatika Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), selain itu Sigit juga merupakan co-founder dari PersonaFlag (jejaring sosial berbasis lokasi) dan VisualMagz (blog yang membahas tentang fofografi dan desain visual). Anda bisa follow Sigit lewat akun Twitter di @sigitpurnomo atau melihat profil LinkedIn-nya di sini.

Tertarik menulis guest post di DailySocial? Kirimkan artikel Anda ke [email protected].

[Sumber gambar]

3 Comments

  1. fasilitas kadang kala tak berbanding lurus dengan kreatifitas. sering kali palah berbanding terbalik. keterbatasan membuat orang lebih kreatif..

  2. Bill Joy… Ooo yea…
    Outliers… Ooo yea…
    Bisakah kita sehari saja berhenti membahas/membaca buku2 para pakar manajemen, dan membaca buku2 dari orangnya langsung yang membuat Teknologi.

    Tentu buku Malcom itu bagus, jika kita ingin menggunakannya untuk dongeng sebelum tidur.
    Tapi jika yang diinginkan dunia nyata maka banyak buku yang lebih nyata untuk dibahas.
    Misal buku-buku James Gosling, Knuth, dll
    Atau buku2 para pendiri awal bahasa2 pemrograman lama…

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Previous Story

UPDATED : Para Group Acquire Indonesia’s Online Media Giant Detikcom

Next Story

Opera Unveils Opera Desktop 11.50 with Speed Dial Extension

Latest from Blog