Google akan Fasilitasi Developer dalam Membuat Aplikasi berbasis Web3 lewat Google Cloud Platform

Google tawarkan pelayanan back-end kepada para software developer dan perusahaan yang ingin kembangkan bisnis mereka.

Dengan perkembangan teknologi Blockchain yang semakin banyak disadari oleh masyarakat, Google mencoba untuk menyediakan fasilitas bagi para Developer aplikasi yang ingin memanfaatkan teknologi tersebut.

Google ingin menawarkan pelayanan back-end kepada para pengembang yang tertarik untuk membuat software mereka sendiri, apalagi untuk bersaing di infrastruktur Cloud melawan perusahaan raksasa seperti Albaba, Amazon, dan Microsoft. Layanan ini nantinya akan menggunakan Google Cloud Platform.

Amit Zavery, Wakil Presiden Google Cloud

Wakil Presiden Google Cloud, Amit Zavery, mengatakan bahwa dunia saat ini masih berada dalam tahap awal untuk menerima teknologi Web3. Namun telah terbukti, bahwa (tren) ini merupakan sebuah pasar dengan potensi yang luar biasa, dan banyak pelanggan yang meminta kami untuk menambah support untuk Web3 dan teknologi yang berhubungan dengan Crypto.

"Kami tidak sedang mencoba untuk menjadi bagian dari Cryptocurrency itu sendiri secara langsung. Kami akan menyediakan teknologi dan sarana untuk perusahaan-perusahaan yang ingin menggunakan dan memanfaatkan teknologi Web3 pada bisnis dan usaha mereka," katanya.

sumber: weforum.org

Dikutip dari World Economic Forum, Web3 atau Web 3.0 merupakan teknologi internet generasi ketiga yang menggunakan teknologi Blockchain. Di dunia Web3, aktivitas dan data pengguna akan disimpan dalam jaringan komputer yang disebut node Blockchain. Sebelumnya, data disimpan pada server-server korporasi.

Secara penggunaan, tidak ada perbedaan yang mencolok antara Web2 dan Web3. Namun dengan teknologi Blockchain yang bersifat desentralisasi, hal ini akan mengurangi kontrol dari korporasi besar, yang menjadikannya lebih bebas dan demokratis.

Dengan algoritma saat ini, internet telah dibentuk sedemikian rupa untuk mengenal penggunanya. Mulai dari apa yang dibaca, produk apa yang dibeli, apa yang ditonton, hingga apa saja isi pembicaraan antar pengguna.

Informasi pribadi tersebut dapat menjadi pedang bermata dua. Pengguna akan disuguhkan dengan informasi dan iklan dari produk-produk yang memang sudah sesuai dengan selera pengguna. Namun di sisi lain, privasi pengguna juga bisa disalahgunakan.

Sudah banyak kekhawatiran mengenai siapa saja yang memiliki akses dan kontrol terhadap informasi pribadi, terutama untuk perusahaan-perusahaan raksasa. Pada tahun 2019, 43% dari total aliran lalu lintas di internet melewati Google, Amazon, Meta, Netflix, Microsoft, dan Apple.