Dark
Light

Google Kini Lebih Fokus Lisensikan Teknologi Stadia Ketimbang Kembangkan Platform Konsumennya

2 mins read
February 7, 2022

Saat pertama kali diumumkan di tahun 2018, Google Stadia terdengar begitu revolusioner. Istilah cloud gaming kala itu masih terdengar cukup asing di telinga banyak orang, dan ide bahwa kita dapat memainkan deretan game AAA hanya dengan bermodalkan koneksi internet yang cepat dan stabil langsung menggugah perhatian publik.

Stadia resmi diluncurkan pada bulan November 2019, namun dalam kurun waktu hanya dua tahun lebih sedikit, layanan ini sudah hampir tidak kedengaran suaranya. Yang terbaru, Stadia malah dirumorkan sedang dalam proses pergeseran menjadi layanan B2B atau white label di bawah nama baru: Google Stream — kalau Anda masih ingat, Stadia awalnya memang diperkenalkan dengan nama “Project Stream”.

Dilaporkan Business Insider, Google diam-diam rupanya sempat bernegosiasi dengan sejumlah publisher ternama untuk menjadi pemasok teknologi cloud gaming bagi mereka. Salah satu yang disebut adalah Bungie, yang tahun lalu kabarnya sempat mempertimbangkan untuk menghadirkan platform streaming-nya sendiri.

Dalam proposalnya, dijelaskan bahwa Bungie bakal memegang kendali atas konten sekaligus aspek front-end, sementara Stadia ditunjuk sebagai teknologi yang menenagai dari sisi back-end, dan negosiasinya pun disebut sudah berjalan cukup intensif. Namun seperti yang kita tahu, Sony belum lama ini mengumumkan bahwa mereka bakal mengakuisisi Bungie senilai $3,6 miliar, dan sejauh ini tidak ada yang tahu apakah hal itu bakal berpengaruh pada rencana Bungie dan Google ke depannya.

Publisher lain yang juga sempat berdiskusi dengan Google adalah Capcom. Pemilik franchise Resident Evil itu kabarnya berniat menghadirkan versi demo dari game-game barunya dengan memanfaatkan teknologi cloud gaming Stadia, sehingga konsumen bisa langsung mencoba memainkannya dari browser.

Sejauh ini, Google sudah punya setidaknya dua mitra yang memakai arsitektur Stadia buat proyek gaming-nya masing-masing, yakni Peloton dan AT&T. Di bulan Juli 2021, Peloton memperkenalkan sebuah game untuk dimainkan menggunakan deretan produk sepeda statisnya. Game berjudul Lanebreak itu rupanya berjalan dengan memanfaatkan platform Stadia.

Berkat arsitektur Stadia, pelanggan AT&T bisa memainkan Batman: Arkham Knight langsung di browser komputernya / Sumber: 9to5Google

Kemudian di bulan Oktober 2021, AT&T meluncurkan game Batman: Arkham Knight via sebuah situs. Cukup dengan membuka situsnya di browser komputer, para pelanggan AT&T dapat langsung memainkan game tersebut tanpa perlu mengunduh apa-apa. AT&T sendiri telah mengonfirmasi bahwa proyek tersebut dapat terwujud berkat dukungan arsitektur Stadia.

Indikasi lain peralihan Stadia bisa dilihat dari pergeseran jabatan petingginya, Phil Harrison. Disebutkan bahwa Phil sekarang melapor ke divisi subscription services di bawah kepemimpinan Jason Rosenthal, bukan lagi ke bos besar divisi hardware Google, Rick Osterloh. Restrukturisasi jabatan ini kabarnya berlangsung tidak lama setelah Google menutup studio pengembangan game internalnya, Stadia Games and Entertainment, di bulan Februari 2021.

Laporan Business Insider tidak merincikan nasib Stadia sebagai platform konsumen ke depannya, akan tetapi dijelaskan bahwa prioritasnya sudah menurun drastis dibanding ketika awal layanannya diluncurkan. Ambisi Google untuk mendatangkan judul-judul game AAA sudah tidak sebesar dulu. Sebaliknya, yang diincar adalah judul-judul game indie yang pada dasarnya bisa didapat dengan nilai kontrak yang lebih murah.

Yang pasti, sejak penutupan Stadia Games and Entertainment tahun lalu, Google sudah tidak tertarik lagi untuk menghabiskan jutaan dolar demi mengamankan hak penerbitan game di platform Stadia. Mereka kabarnya bahkan sudah tidak punya niatan lagi untuk menyajikan game secara eksklusif di Stadia. Fokus tim pada Stadia sebagai platform konsumen diperkirakan hanya sisa 20% saja.

Mendengar kabar seperti ini, wajar kalau ada yang berpikiran bahwa Stadia bakal sepenuhnya pivot ke segmen B2B. Google sadar akan kekhawatiran publik terkait hal itu, dan sehari setelah laporan Business Insider itu tayang, akun Twitter Stadia langsung memposting: “Tim Stadia bekerja sangat kerjas demi masa depan yang hebat untuk Stadia dan cloud gaming. Kami harap Anda setuju, dan kami tahu buktinya ada dalam bermain.”

Supaya lebih meyakinkan, tim Stadia juga menyebutkan bahwa layanannya bakal kedatangan lebih dari 100 game baru di tahun 2022 ini, tidak ketinggalan pula sejumlah fitur anyar yang belum bisa mereka elaborasi. Stadia juga berbangga bisa menawarkan 50 game yang dapat diklaim oleh para pelanggan paket Pro-nya di bulan Februari ini.

Apapun yang terjadi, Stadia kemungkinan besar masih akan tetap eksis ke depannya, meski mungkin tidak dalam wujud yang kita kenal selama ini (platform untuk konsumen dengan mekanisme subscription). Kalau memang terpaksa, teknologi streaming Stadia sebenarnya bisa juga diaplikasikan untuk keperluan non-gaming, seperti misalnya untuk 3D modelling maupun tugas-tugas komputasi berat lainnya. Sejumlah karyawan Stadia kabarnya memang pernah menyuarakan ide terkait pengaplikasian non-gaming tersebut.

Sumber: Business Insider. Gambar header: Moises Gonzales via Unsplash.

Previous Story

Perusahaan Esports Tiongkok Ajukan IPO di Hong Kong, Kompetisi Balap Sepeda Virtual Kembali Digelar

Next Story

Total Pendapatan Oculus Quest Store Tembus $1 Miliar

Latest from Blog

Don't Miss

Google Luncurkan Tampilan Baru untuk Asisten AI NotebookLM

Google memang terus mengejar pengembangan model AI-nya di berbagai bidang.

Google Umumkan Versi Baru untuk Model AI Veo, Imagen, dan Whisk

Perlombaan pengembangan AI generatif memang terus berlanjut, dan tidak hanya