Saya ingat betul tentang bagaimana guru di SD memberikan pelajaran kepribadian dengan menganalogikan sebuah pohon. Semakin pohon itu tumbuh besar dan rindang, maka semakin kuat goncangan yang akan ditimbulkan oleh angin, jadi akarnya harus kuat. Begitulah ketika saya melihat bisnis ojek berbasis aplikasi Go-Jek yang dewasa ini menjadi tren baru di tanah air. Seiring bisnis Go-Jek bertumbuh, masalah pun juga mulai bermunculan. Dan masalah yang baru-baru ini diributkan, terkait status pengemudi Go-Jek, termasuk dalam siklus bisnis Go-Jek.
Banyak pengemudi menuntut kepada pihak Go-Jek untuk menjadikannya sebagai karyawan. Beberapa di antaranya juga sempat melakukan demonstrasi di depan kantor Go-Jek, yang terletak di kawasan Kemang, untuk menyerukan tuntutannya. Sampai saat ini pengemudi Go-Jek terhadap perusahaan memang statusnya baru sebagai mitra. Para pengemudi yang memprotes tentang status tersebut, berdalih bahwa yang dilakukan Go-Jek tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Kultur pengemudi dengan fleksibilitas dan jam kerja “bebas”
Kita akan coba menelisik lebih dekat dari dua sisi yang berbeda terkait dengan masalah status kerja sama ini. Status karyawan dalam sebuah bisnis mau tak mau harus membuat seseorang memiliki kedisiplinan penuh terhadap kebijakan yang ada, yang paling umum biasa dikaitkan dengan jam kerja.
Pengemudi Go-Jek memiliki fleksibilitas dan kontrol terkait jam kerja. Bahkan seperti yang sudah kita lihat dari pemberitaan yang banyak muncul sebelumnya, banyak yang menjadikan Go-Jek sebagai side job di waktu libur atau luangnya, untuk penghasilan tambahan.
Menjadikan pengemudi sebagai karyawan dari sisi bisnis tentu membutuhkan banyak penyesuaian. Mulai dari sistem penggajian, jaminan sosial, kompensasi hingga fasilitas harus dipikirkan ulang. Namun saya secara subyektif melihat bahwa ini akan sulit diterapkan dengan kultur yang sudah dibangun Go-Jek dari awal.
Ribuan, bahkan puluhan ribu, pengemudi yang ada saat ini akan menjadi pekerjaan besar bagi manajemen jika harus dikonversi menjadi karyawan.
Yang dibutuhkan Go-Jek adalah aturan yang kuat
Salah satu yang menjadi momentum diteriakkannya tuntutan tersebut karena Go-Jek sebelumnya dikabarkan melakukan pemotongan pendapatan yang diklaim untuk biaya seragam dan perlengkapan pengemudi. Banyak pengemudi yang menganggap itu sebagai sebuah pelanggaran dari kesepakatan yang telah ada di awal. Beberapa pihak pengemudi juga menuding manajemen kurang transparan dalam pengelolaannya.
Di awal jasa Go-Jek banyak diburu konsumen lantaran memiliki harga yang kompetitif dengan berbagai penawaran dan bonus yang diberikan. Kala itu kita menyaksikan bahwa dari potensi konsumen yang ada, mitra pengemudi bisa meraup banyak untung, kendati tarif yang diberlakukan sangat murah. Mungkin hal ini juga yang mendorong banyak orang berniat menggeluti pekerjaan ini secara penuh waktu.
Seperti tanaman yang dimanjakan dengan pupuk dan tiba-tiba dibiarkan tumbuh secara alami, konsumen Go-Jek pun terlihat mulai menurun antusiasmenya. Banyaknya protes terkait layanan dan aplikasi yang sering ditemui di media sosial. Selain itu para pengemudi yang sebelumnya jumlahnya terbatas, kini harus berkompetisi dengan pengemudi lain yang jumlahnya makin banyak. Belum lagi persaingan dengan layanan pesaing, seperti GrabBike.
Tak sedikit upaya yang sudah dilakukan Go-Jek untuk memberikan kenyamanan pekerja dan konsumen, salah satunya dengan menghadirkan asuransi untuk risiko kecelakaan sebagai penyedia layanan transportasi publik. Namun seperti konsep pohon di awal, Go-Jek sekarang semakin besar seperti pohon yang semakin rimbun. Angin bisa menerpa kapan saja. Yang diperlukan Go-Jek adalah memiliki akar yang kuat.
Berbicara tentang akar sebuah bisnis maka akan banyak komponen yang masuk di dalamnya. Mulai dari permodalan, anggota tim, hingga aturan bisnis yang harus menjadi kiblat dalam menjalankan aktivitas bisnis.
Saya begitu yakin, proses bisnis yang ada pada Go-Jek saat ini sudah pada track yang tepat, terbukti banyak sekali sistem transportasi yang mereplikasi dan menggunakan cara yang sama. Di Yogyakarta, tempat saya tinggal, juga ada O’Jack dengan sistem yang sama, menjadikan driver sebagai rekan, dan bisnisnya juga berjalan lancar.
Sistem yang bagus dapat selalu menjadi acuan berjalannya bisnis saat berbagai pihak mampu mendisiplinkan diri dengan landasan tersebut. Matangkan, komunikasikan, dan aplikasikan aturan yang ada. Lalu biarkan sistem yang baik berjalan secara alami. Sekencang apapun angin yang menerpa pohon, dengan akar yang kuat akan lebih menjamin pohon itu tetap berdiri. Kendati dedaunannya mungkin berguguran, namun selagi pohon berdiri masih mampu menghasilkan daun-daun baru yang lebih segar.