Berumur 75 tahun, Geoffrey Hinton memutuskan untuk mengundurkan diri dari Google, lapor The New York Times. Bersamaan dengan itu, dia mengaku bahwa dia menyesali perannya dalam mengembangkan teknologi Artificial Intelligence (AI). Padahal, selama ini, dia dikenal sebagai “Godfather of AI”.
Sebelum bergabung dengan Google, Hinton telah aktif di dunia akademis. Pada 2012, Hinton mengembangkan neural net bersama dengan dua muridnya dari University of Toronto. Satu tahun kemudian, di 2013, Google mengakuisisi perusahaan Hinton, senilai US$44 juta. Dengan itu, Hinton pun menjadi bagian dari Google. Ketika itu, Hinton merasa, Google merupakan perusahaan yang bisa dipercaya untuk mengembangkan dan menggunakan AI dengan bertanggung jawab.
Hinton dinobatkan sebagai “Godfather of AI” karena dia memang punya peran besar dalam pengembangan teknologi AI. Risetnya terkait neural networks dan deep learning menjadi pondasi dari berbagai AI yang ada saat ini, termasuk ChatGPT. Di bidang AI, neural networks didefinisikan sebagai sistem yang dapat memproses informasi dan belajar layaknya otak manusia. Neural networks memungkinkan AI untuk terus belajar dari pengalaman, sama seperti manusia. Proses ini biasanya disebut deep learning.
Hinton mengaku, saat ini, AI memang tidak lebih cerdas dari manusia. Namun, teknologi AI berkembang dengan sangat cepat. Dia percaya, dalam waktu dekat, kecerdasan AI akan melampaui manusia.
“Sekarang, AI seperti GPT-4 memiliki pengetahuan umum yang lebih luas dari manusia. Memang, cara pikir AI masih tidak sebaik manusia, tapi ia bisa mengerti dasar dari hukum sebab-akibat,” ujar Hinton pada BBC. “Melihat kecepatan perkembangan teknologi AI, AI akan terus menjadi lebih baik dengan cepat. Dan hal inilah yang harus kita khawatirkan.”
Hinton mengungkap, salah satu kekhawatirannya terkait AI adalah teknologi itu akan disalahgunakan oleh “oknum” untuk “kegiatan jahat”. Sebagai contoh, karena AI bisa menghasilkan tulisan dengan cepat, ia bisa digunakan sebagai spambots. Menggunakan spambots tersebut, para pemimpin otoriter untuk memanipulasi pemilu. Selain itu, dia juga khawatir keberadaan AI akan mengancam eksistensi manusia.
“Saya sampai pada kesimpulan bahwa AI yang kita buat memiliki kecerdasan yang berbeda dari manusia,” ungkap Hinton, dikutip dari The Guardian. Dia membandingkan AI layaknya pikiran kolektif. “Dalam grup yang berisi 10 ribu orang, ketika salah satu dari mereka mempelajari sesuatu, semua orang dalam grup akan langsung tahu akan hal tersebut. Hal inilah yang memungkinkan chatbots untuk memiliki informasi jauh lebih banyak dari siapapun,” jelasnya.
Sumber header: MIT Technology Review