Di antara sejumlah developer papan atas dunia, Blizzard Entertainment boleh dikatakan sebagai studio dengan layanan purna jual terbaik. Tak seperti studio lain, mereka jarang sekali melepas judul baru, dan lebih fokus menyempurnakan serta memperkaya konten game-game yang sudah dirilis. Tidak heran jika Blizzard sukses menghimpun jutaan gamer setia.
Silakan lihat cara Blizzard memperlakukan judul-judul asuhannya, Overwatch contohnya. Dirilis bulan Mei 2016, game shooter pertama sang studio telah berubah dari permainan multiplayer casual menjadi game eSport ‘serius’. Saya sendiri sudah lama tak memainkannya, terhitung sejak awal 2017, karena ada banyak judul baru saat itu yang mencuri perhatian. Baru beberapa minggu ini saya mulai menekuninnya lagi secara intensif.
Begitu memasukkan password di window log-in Battle.net, saya segera menyadari ada banyak hal penting terlewati: Summer Games 2017, Halloween Terror 2017, Winter Wonderland 2018, bahkan hingga event Tahun Baru Imlek 2018. Saya sangat menyesalkan hilangnya kesempatan untuk membeli skin-skin epic dan legendary, memaksa saya untuk menunggu event berikutnya dilangsungkan.
Namun kembali fokus ke Overwatch adalah sebuah keputusan yang tak saya sesalkan. Saya juga menyadari lagi sejumlah aspek yang membuat orang jatuh cinta pada game ini: keunikan karakter-karakternya, bertambah kayanya opsi kustomisasi, dan juga kemudahan untuk mengakses permainan. Dan untuk game berusia hampir dua tahun, aspek visual Overwatch tidak kalah dari FPS-FPS baru. Saya belum tahu apakah Blizzard pernah menerapkan upgrade, tapi saat ini, game tetap terlihat memesona di opsi grafis Ultra.
Sisi teknis adalah bagian paling mengagumkan dari Overwatch. Selain berjalan optimal di PC, fitur game ini terasa lebih lengkap dibanding sewaktu umurnya baru beberapa bulan. Blizzard menyempurnakan dan membubuhkan begitu banyak fitur, baik yang memengaruhi gameplay secara langsung atau sekadar membuatnya jadi lebih intuitif. Satu fitur favorit saya adalah fungsi download video di menu Highlight. Fitur ini memungkinkan gamer mengabadikan aksi keren yang mereka lakukan tanpa menggunakan app third-party dan Anda dapat mengustomsasi kualitas grafis output rekamannya.
Kelemahan dari game-game yang mulai berumur – dan yang membuat Titanfall 2 jadi menjengkelkan – adalah lamanya waktu matchmaking seiring berkurangnya pemain. Keadaan ini jarang sekali terjadi pada Overwatch. Begitu tombol Quick Play ditekan, saya tidak pernah menunggu terlalu lama untuk masuk dalam pertandingan. Seperti biasa, jika sistem belum bisa menemukan match, saya akan dibawa ke mode skirmish – sempurna untuk pemanasan.
Tapi dengan begitu banyaknya karakter (saat ini ada 27 hero, termasuk Brigitte), memastikan semuanya tetap seimbang merupakan pekerjaan rumah tanpa akhir buat Blizzard. Dari pengamatan saya, beberapa tokoh baru mempunyai kemampuan yang lebih ‘efektif’ dari hero lama. Contohnya: banyak gamer mengeluhkan terlalu mematikannya skill Biotic Orb punya Moira.
Karena sejauh ini saya menikmati Overwatch secara casual, ketidakseimbangan merupakan kendala kecil. Tapi hal tersebut mungkin jadi masalah besar bagi mereka yang serius memainkan mode kompetitifnya. Dan karena para karakter ini saling terkait, bisa jadi mengubah keefektifan kemampuan salah satu hero bisa memengaruhi cara gamer bermain tokoh lainnya.
Keluhan kecil saya ajukan pada sistem matchmaking: seringkali, Overwatch menghadapkan saya pada lawan-lawan dengan level tinggi – terutama mereka yang punya bingkai potret berwarna perak dan emas (artinya level di atas 600 dan 1.800). Sedangkan saya baru berada di level 130-an.
Entah ini disebabkan kekeliruan teknis, karena tidak ada pemain lain, atau game menganggap saya ‘cukup mahir’. Pastinya, kalah terus-menerus karena musuh yang terlalu lihai juga membuat orang jadi malas bermain…