Tema psikosis – atau gangguan kejiwaan – sering diadopsi di permainan-permainan video bertema horor. Call of Cthulhu, Amnesia, Eternal Darkness merupakan beberapa judul yang memanfaat-kannya. Namun baru Ninja Theory yang mencoba menggali tema itu lebih jauh dan menjadikan-nya elemen penting dalam gameplay melalui permainan anyar mereka, Hellblade.
Dideskripsikan sebagai ‘game independen AAA’, pengembangan Hellblade: Senua’s Sacrifice dilakukan oleh tim pencipta Heavenly Sword dan DmC: Devil May Cry itu bersama dengan para ahli saraf dan penderita psikosis. Untuk pertama kalinya, fenomena schizophrenia diimplementasikan pada desain suara untuk membangun horor lewat audio. Hasilnya adalah pengalaman gaming yang tak ada duanya.
Keunikan Hellblade segera Anda rasakan begitu permainan dimulai. Seorang wanita menarasikan perjalanan sang karakter utama, Senua, dan menceritakan niatnya untuk menyusup ke neraka demi menghidupkan kembali orang yang ia sayangi. Tak butuh waktu lama bagi Anda buat mengetahui bahwa narator tersebut ialah satu dari banyak suara yang mengisi kepala Senua.
Audio dan voice acting merupakan bagian terbaik di Hellblade. Suara-suara tersebut mengiringi, mengomentari, bahkan menghakimi setiap tindakan Senua. Contohnya ketika Senua turun ke lokasi di mana ia tidak bisa kembali, satu suara akan menertawakannya. Di sisi lain, suara-suara itu juga dapat membantunya dalam pertempuran, akan memperingatkan sewaktu musuh mencoba menyerang dari belakang.
Hal kedua yang jadi andalan Ninja Theory adalah segi visual dan setting permainan. Developer memanfaatkan teknologi motion capture canggih demi menciptakan wajah digital dan merekam gerakan serealistis mungkin. Melina Juergens diberikan kepercayaan untuk memerankan Senua, meski ia sebetulnya merupakan seorang video editor di Ninja Theory. Developer memanfaatkan Unreal Engine 4, lalu menggarap visualnya sebaik mungkin demi memastikan grafis permainan ini tampil sangat cantik.
Hellblade mengangkat latar belakang mitologi Norse serta Celtic – Senua sendiri ialah anggota dari suku Pict. Di sana, Anda akan berhadapan dengan makhluk-makhluk mitos dan dewa seperti Valravn, Surt (Surtr) hingga Fenrir. Musuh-musuh ‘standar’ Anda bukanlah manusia. Mereka umumnya muncul tiba-tiba dan menyerang secara berkelompok. Senua cuma dibekali satu bilah pedang, dan kemahiran Anda dalam menyerang, menghindar serta menangkis sangat krusial untuk menjaga sang protagonis tetap hidup.
Kelemahan terbesar dari Hellblade adalah penggunaan formula pertempuran yang repetitif. Butuh beberapa kali pertemuan saja bagi saya untuk membaca gerakan lawan, dan menggunakan taktik serupa berkali-kali buat mengalahkan mereka. Untungnya, sesi pertarungan dengan boss jauh lebih unik.
Keputusan Ninja Theory dalam memanfaatkan audio untuk memberi petunjuk lagi-lagi patut diacungi jempol. Seperti ketika memperingatkan Senua buat menghindar serangan musuh, suara-suara di kepalanya terkadang memberi tahunya agar ‘fokus’. Saat bertarung melawan Valravn, saya kira peringatan ini hanya bersifat simbolis. Ternyata, saya harus menekan tombol fokus (‘E’ di PC) untuk mengembalikan Valravn ke dimensi manusia supaya bisa diserang.
Saya sangat merekomendasikan Hellblade: Senua’s Sacrifice bagi siapapun yang menyukai permainan-permainan action third-person. Alasannya bukan hanya karena menghidangkan gameplay yang unik. Untuk sebuah game baru dengan waktu bermain delapan jam lebih, Hellblade juga dibanderol di harga sangat terjangkau, cuma Rp 200 ribu di Steam.
–
Game Playlist adalah artikel gaming kolaborasi MSI dengan DailySocial.
Game dimainkan dari unit notebook MSI GT72VR 6RE Dominator Tobii, ditenagai prosesor Intel Core i7-6700HQ 2,6GHz, kartu grafis Nvidia GeForce GTX 1070, RAM 16GB, penyimpanan berbasis SSD 256GB dan HDD 1TB, serta dilengkapi teknologi eye-tracking Tobii Technology.