Ada banyak permainan yang mengangkat tema atau terinspirasi dari kejadian bersejarah, namun mungkin tak ada yang menyajikannya seunik Assassin’s Creed. Dalam meramu seri ini, Ubisoft memadukan elemen sejarah bersama latar belakang sci-fi, lalu mengemasnya sebagai permainan action-adventure open world yang mudah dinikmati oleh semua kalangan gamer.
Para penggemar terberatnya mungkin akan berargumen bahwa Assassin’s Creed II dan Assassin’s Creed IV: Black Flag merupakan game terbaik di franchise ini. Namun meski saya tidak terlalu mengikutinya, saya tidak akan sungkan-sungkan merekomendasikan Assassin’s Creed Origins bagi Anda yang menyukai sejarah kebudayaan kuno, khususnya di wilayah Mesir pada era Ptolemaic (tahun 49-47 sebelum Masehi).
Bahkan jika tidak terlalu familier dengan periode ini, Origins berpeluang untuk memukau Anda lewat aspek visual dan konten. Tak hanya Ubisoft berhasil menciptakan dunia yang indah, daratan kuno itu juga dihuni oleh ekosistem yang benar-benar hidup: pusat kota dan pasar terlihat begitu sibuk, orang-orang tampak fokus pada aktivitasnya. Lalu saat mengunjungi alam liar, tak jarang Anda akan menyaksikan kawanan macan tutul memburu kelompok rusa.
Ubisoft Montreal menjelaskan bahwa riset yang dilakukan untuk membangun dunia tersebut menghabiskan waktu bertahun-tahun. Mereka mengombinasikan beragam metode penelitian, dari mulai mempelajari ensiklopedia, buku, film, hingga merekrut pakar sejarah Mesir ke dalam tim pengembangan. Tetapi sudah pasti developer punya ketentuan yang harus dipenuhi: mereka ingin karakter-karakter penting seperti Cleopatra dan Caesar muncul di sana.
Satu hal yang saya sangat apresiasi adalah kepiawaian Ubisoft merekonstruksi bangunan-bangunan bersejarah seperti Piramida hingga kota Alexandria. Tiap bangunan dibuat ulang dengan begitu indah dan realistis, sehingga betul-betul membawa Anda kembali ke era kuno. Di Alexandria misalnya, kota ini terbagi dalam distrik berbeda, ada yang dihuni oleh penduduk Mesir asli dan juga warga Yunani. Lalu jika Anda tidak terlalu buru-buru, silakan nikmati pertunjukan drama di amphitheatre.
Beberapa aspek di sana juga segera memicu saya untuk mencari tahu lebih jauh: Siapa itu Ptolemy XIII yang membuat Mesir jadi berantakan? Apa sebetulnya peran Medjay? Kemudian apa latar belakang dibangunnya Piramida di Giza? Area Giza sendiri merupakan salah satu wilayah paling ikonis di game, dan Anda tentu saja dipersilakan menjelajahi isi Piramid hingga menguak rahasia Sphinx.
Ubisoft berhasil melebur elemen fakta dengan fiksi begitu mulus sehingga eksplorasi terasa mengagumkan. Bahkan walaupun Anda tahu Piramida tersebut tidak dihuni oleh manusia (kecuali beberapa jasad yang bersemayam di sana), ancaman kutukan Firaun di hieroglyph dalam ruang yang cuma diterangi cahaya obor terasa menakutkan.
Dilihat dari aspek gameplay, desain permainan (bukan ‘desain dunia game’) Assassin’s Creed Origins memang belum menyamai kelas judul open world besar lain seperti The Witcher 3. Untuk berjelajah, Anda harus menyelesaikan sesi intro terlebih dahulu, lalu tiap area juga baru nyaman dijelajahi jika Bayek – tokoh utama game ini – telah mencapai level tertentu. Hal tersebut membatasi proses eksplorasi.
Namun kekurangan ini tak jadi masalah besar jika edukasi menjadi perhatian utama Anda. Di bulan September lalu, Ubisoft sempat mengungkap rencana untuk membubuhkan mode pembelajaran di Assassin’s Creed Origins, berjudul Discovery Tour. Mode ini sama sekali tidak menyajikan pertempuran, gunanya ialah mengubah permainan jadi satu museum hidup yang interaktif. Di sana Anda bisa mengkaji beragam ilmu seperti proses mumifikasi hingga riwayat hidup Cleopatra.
Discovery Tour rencananya akan dibagikan secara gratis untuk seluruh pemilik Assassin’s Creed Origins, atau dapat dibeli terpisah via Steam atau Uplay seharga US$ 20, akan meluncur pada tanggal 20 Februari 2018.