Menakar Peluang Game Developer Lokal di Pasar Game P2E

Saat ini, telah ada beberapa developer game Indonesia yang membuat game NFT.

Dengan menjadi pemain profesional, gamers kini bisa menjadikan bermain game sebagai mata pencarian. Sayangnya, jalan untuk menjadi atlet esports tidak mudah. Kabar baiknya, belakangan, muncul model bisnis baru di industri game yang memungkinkan semua gamers untuk mendapatkan uang dari memainkan game. Ialah Play-to-Earn atau P2E. Dalam game P2E, pemain bisa mengumpulkan mata uang dalam game dengan memainkan game tersebut. Dan mata uang dalam game itu bisa ditukar dengan uang di dunia nyata.

Game P2E identik dengan teknologi blockchain dan Non-Fungible Token (NFT). Di global, telah ada beberapa game P2E yang populer, seperti Axie Infinity. Sejumlah developers game pun mulai menunjukkan ketertarikan untuk membuat game NFT dengan model bisnis P2E. Tak terkecuali developers di Indonesia. Namun, membuat game NFT juga punya tantangan sendiri. Pertanyaannya, apakah game NFT punya tempat di industri game, khususnya di Indonesia?

Minat Developers untuk Membuat Game NFT

Dirilis pada 2015, Etheria dianggap sebagai game NFT pertama. Setelah itu, muncul CryptoKitties, yang diluncurkan pada Oktober 2017. Ubisoft menjadi publisher game besar pertama yang tertarik untuk menggunakan NFT dalam game, dengan merilis Quartz pada Desember 2021. Meskipun begitu, saat ini, jumlah developer game yang tertarik untuk mengimplementasikan cryptocurrency atau NFT ke dalam game mereka tidak banyak.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Game Developers Conference (GDC) pada 2,7 ribu developers, hanya 1% developers game yang telah menjadikan cryptocurrency sebagai metode pembayaran dalam game mereka. Dan hanya 6% developer mengaku sangat tertarik untuk menggunakan cryptocurrency dalam game mereka, sementara 21% developer mengaku agak tertarik. Namun, sebanyak 72% developers mengatakan bahwa mereka tidak tertarik untuk menjadikan cryptocurrency sebagai alat pembayaran dalam game mereka.

Sementara itu, ketertarikan developers game akan NFT juga tidak jauh berbeda dengan minat mereka akan cryptocurrency. Berdasarkan survei GDC, hanya 1% developers telah menggunakan NFT pada game mereka, 7% mengaku sangat tertarik untuk mengimplementasikan NFT, dan 21% lainnya mengaku mereka cukup berminat untuk melakukan hal itu. Hanya saja, 70% responden mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak melirik teknologi NFT.

Hasil survei dari GDC pada 2,7 ribu developers game. | Sumber: GDC

Sedikit developers game percaya, NFT dan cryptocurrency akan menjadi "masa depan dari industri game". Meskipun begitu, kebanyakan pengembang game menunjukkan keengganan untuk mengimplementasikan cryptocurrency atau NFT dalam game mereka. Kekhawatiran akan model bisnis dalam game NFT menjadi salah satu alasan mengapa developers game enggan untuk menerapkan teknologi baru tersebut dalam game. Alasan lain yang membuat developers kurang tertarik dengan NFT adalah karena potensi terjadinya penipuan dan dampak buruk pada lingkungan.

Di Asia Tenggara, game NFT masih dalam tahap pengenalan. Hal ini diungkap oleh Darang S. Candra, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners. "Karena teknologi NFT masih baru, jadi belum ada tren tertentu yang menyeluruh, kecuali meningkatnya pembahasan mengenai game NFT dan semakin bertambahnya developer yang tertarik dengan game NFT," ujarnya pada Hybrid.co.id melalui email.

Axie Infinity menjadi salah satu game NFT yang populer di Asia Tenggara. Filipina bahkan menjadi pasar terbesar untuk game tersebut. Pada Oktober 2021, jumlah pemain Axie Infinity di Filipina mencapai 300 ribu orang. Darang mengatakan, selain Axie Infinity, dua game NFT lain yang populer di negara-negara ASEAN adalah CryptoKitties dan Decentraland.

CryptoKitties. | Sumber: Investopedia

Hanya saja, pendapat gamers di Asia Tenggara akan game NFT juga terpolarisasi, sama seperti para gamers di dunia. "Opini gamers di Asia Tenggara juga relatif terbelah, antara kelompok yang mendukung dan tertarik dengan game NFT serta kubu yang menolak game NFT," kata Darang. "Secara umum, potensi untuk mendapatkan uang dari bermain game adalah hal utama yang menarik gamers di Asia Tenggara untuk bermain game NFT."

Mengingat game NFT adalah tren yang relatif baru, tentu saja, ada tantangan tersendiri yang harus dihadapi oleh para developers untuk membuat game tersebut. Menurut Darang, salah satu masalah yang akan dihadapi oleh developers yang tertarik dengan game NFT adalah penggunaan energi yang sangat besar. Selain itu, mereka juga harus mengatasi potensi penipuan berbasis NFT/blockchain. Terakhir, hal lain yang bisa menjadi masalah bagi developers game NFT adalah potensi bubble burst di masa depan.

Meskipun begitu, Darang juga percaya, teknologi NFT akan mengalami konsolidasi di masa depan.

Potensi NFT Game di Indonesia

Untuk mengetahui tentang potensi game NFT di Indonesia, saya mengobrol dengan Adam Ardisasmita, Wakil Presiden dari Asosiasi Game Indonesia (AGI). Dia mengungkap, kebanyakan developers di Indonesia saat ini belum terlalu memahami NFT. Sementara pandangan para developers akan NFT cenderung dipengaruhi oleh opini pelaku industri game global. Dia bercerita, salah satu kekhawatiran developer yang hendak membuat game NFT adalah tidak bisa menemukan publisher untuk merilis game mereka. Karena, memang ada publisher game yang secara terang-terangan menolak untuk bekerja sama dengan developer yang membuat game NFT.

Kekhawatiran lain yang mungkin dirasakan oleh developer game yang hendak membuat game NFT adalah menjadi korban dari cancel culture. Karena, saat ini, komunitas gamers global cenderung antipati pada segala sesuatu berbau NFT. Alhasil, ketika developer mengumumkan bahwa mereka memiliki proyek NFT, tidak tertutup kemungkinan, fans mereka justru akan meninggalkan mereka. Padahal, membangun komunitas bukanlah hal mudah dan membutuhkan waktu lama. Memang, selama ini, beberapa perusahaan game besar pun bisa mendapatkan kecaman saat mereka mengaku tertarik dengan NFT. Contohnya, Ubisoft, Team17 developer dari Overcooked, dan GSC Game World, developer dari S.T.A.L.K.E.R.

Ubisoft Quartz.

Meskipun begitu, tetap ada developer Indonesia yang tertarik untuk membuat game NFT, seperti Agate dan Eizper Chain. Dan menurut Adam, tidak sedikit developers Indonesia yang walau diam, sebenarnya tertarik dengan game NFT. "Ada yang sudah melakukan riset, ada yang sudah buat proof-of-concept, walau para developer ini memang belum mengumumkan proyek mereka," ujarnya. "Tapi, saya melihat memang ada studio game yang menunjukkan ketertarikan dengan game NFT. Dalam satu tahun ke depan, jumlah game NFT akan terus bertambah banyak."

Ketika ditanya tentang potensi pasar game NFT di Indonesia, Adam menjelaskan, potensi target pasar dari game NFT terbagi menjadi dua. Pertama, gamers yang memang ingin mendapatkan keuntungan finansial dari bermain game. Gamers yang masuk dalam kategori ini biasanya memang tidak keberatan untuk memainkan game dengan model bisnis P2E. "Game P2E itu seksi bagi orang-orang yang memang bermain game untuk mendapatkan uang," ujarnya. Dan sebenarnya, sebelum kemunculan game P2E, gamers yang mengomersilkan kemampuan bermain game-nya memang sudah ada, walau tidak banyak. Ialah orang-orang yang menjadi joki dari Mobile Legends, PUBG Mobile, atau game-game lain.

Potensi target pasar kedua dari game NFT adalah gamers tradisional. Berbeda dengan orang-orang yang menjadikan bermain game sebagai pekerjaan, gamers tradisional biasanya menganggap game sebagai media hiburan. Karena itu, gamers tipe ini biasanya kurang atau malah tidak tertarik dengan game P2E. Karena, saat bermain game, mereka hanya ingin menikmati pengalaman yang ditawarkan tentang game tersebut, tanpa harus pusing tentang keuntungan finansial yang bisa dia dapatkan. Meskipun begitu, Adam percaya, game NFT juga bisa menawarkan keuntungan bagi gamers di kategori ini. Keuntungan itu adalah digital ownership atau kepemilikan atas aset digital.

Adam menjelaskan, saat ini, jika seorang gamer membeli sebuah item di game, apa yang mereka dapatkan adalah akses untuk menggunakan item tersebut. Begitu game itu tutup, maka semua items milik gamer dalam game tersebut juga akan menghilang. Hybrid.co.id pernah membahas tentang pro dan kontra dari game-as-a-servce secara lengkap di sini. Sementara dalam game NFT, ketika gamers membeli sebuah item, maka dia akan mendapatkan hak milik atas item tersebut. Item tersebut tidak hanya bisa digunakan dalam game, tapi juga muncul dalam wallet sang gamer. Jadi, sekalipun game itu tutup, sang gamer setidaknya tetap memiliki item yang dia beli di wallet-nya.

Menurut Adam, keuntungan lain yang bisa didapat oleh gamers dengan adanya NFT dalam game adalah mereka bisa mendapatkan nilai sejarah dari sebuah item. "Di NFT, rekam jejak kepemilikan dari sebuah item bisa terlihat. Dan hal ini akan memberikan nilai tambah bagi para kolektor. Karena, nilai sebuah barang bisa naik jika ia memiliki nilai sejarah," jelas Adam. Dia menjadikan bola sebagai analogi. Sebuah bola sepak biasa memiliki harga sekitar ratusan ribu rupiah. Namun, jika sebuah bola ditandatangani oleh Cristiano Ronaldo atau pesepak bola ternama lainnya, maka harga dari bola itu akan melambung. Hal yang sama juga berlaku untuk NFT.

Bola dengan tanda tangan Cristiano Ronaldo. | Sumber: Detik

Sebagai industri berkembang, tentunya, industri game NFT di Indonesia punya berbagai faktor yang dapat membuatnya berkembang atau sebaliknya, memperlambat pertumbuhannya. Adam mengatakan, edukasi literasi finansial dan cryptocurrency merupakan salah satu hal yang bisa membuat industri game NFT. Kabar baiknya, sejauh ini, telah ada beberapa seniman yang memang tertarik dengan NFT. Misalnya, Si Juki dan Tahilalats. Viralnya Ghozali Everyday juga membuat masyarakat Indonesia menjadi ingin tahu tentang NFT.

"Semua ini akan mempercepat masyarakat untuk berpikir bahwa game juga bisa menjadi NFT, game juga bisa digabung dengan teknologi blockchain," kata Adam. Dia merasa, keputusan pelaku dari industri kreatif -- seperti musik, komik, dan film -- untuk menjajaki NFT bisa mendorong masyarakat untuk menerima penggunaan NFT dalam game.

Sementara itu, salah satu faktor yang bisa menghambat pertumbuhan industri game NFT adalah ketiadaan regulasi. "Transaksi di blockhain itu kan masih belum ada regulasi. Jadi, ada celah bagi oknum untuk memanfaatkan ketiadaan regulasi untuk berbuat jahat," ungkapnya. "Dan hal ini akan membuat reputasi sebuah teknologi menjadi buruk." Dia menjadikan kode OTP sebagai contoh. Tidak ada yang salah dengan sistem OTP saat ini. Namun, banyaknya penipu yang menggunakan social engineering demi mendapatkan kode OTP dan menipu seseorang membuat stigma buruk melekat pada teknologi tersebut. Padahal, keberadaan kode OTP bukanlah katalis dari terjadinya penipuan.

"Untuk menghilangkan sentimen negatif pada sebuah teknologi, perlu edukasi. Apalagi, teknologi blockchain itu kan baru dan kompleks. Jadi, untuk orang-orang yang tidak terlalu paham, mereka bakal susah untuk mengerti mana proyek yang bagus dan mana yang bermasalah," kata Adam. Dia menjelaskan, hal serupa juga pernah terjadi pada e-commerce. Di era 1990-an, ada banyak situs e-commerce abal yang bertujuan menipu para konsumennya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, situs-situs e-commerce palsu akan menghilang dan situs e-commerce yang memang valid akan bertahan. Adam merasa, hal yang sama juga akan terjadi dengan NFT.

Kabar baiknya, saat ini, pemerintah Indonesia tidak sepenuhnya melarang keberadaan cryptocurrency, blockchain, atau NFT. Karena, memang ada beberapa negara yang melarang jual-beli cryptocurrency atau melarang penggunaan cryptocurrency dalam transaksi barang dan jasa, seperti Tiongkok dan Rusia. "Regulasi dari pemerintah di Indonesia masih memberikan ruang untuk tumbuh," ujar Adam. Dia mengungkap, sekarang, wewenang atas cryptocurrency ada di bawah tanggung jawab Kementerian Perdagangan. Alhasil, cryptocurrency diperlakukan layaknya komoditi.

Cryptocurrency ada di bawah wewenang Kementerian Perdagangan. | Sumber: Bisnis

Terkait bursa cryptocurrency itulah, pemerintah mengenakan peraturan yang ketat. Misalnya, penyedia jasa bursa harus mengetahui konsumen mereka. Selain itu, mereka juga memastikan bahwa cryptocurrency tidak digunakan sebagai alat untuk pencucian uang.

Ketika ditanya tentang masa depan game NFT di Indonesia, Adam menjawab, keberadaan game NFT adalah sebuah keniscayaan, sesuatu yang tidak terelakkan. Dia lalu menjelaskan tentang siklus hype dari Gartner. Berdasarkan siklus tersebut, ketika sebuah topik menjadi hype, maka minat masyarakat akan hal tersebut akan meningkat tajam. Setelah mencapai puncaknya, minat masyarakat akan turun, sebelum kembali naik perlahan dan menjadi datar. Sekarang, Adam memperkirakan, NFT sedang memasuki fase puncak. Ke depan, kemungkinan, minat masyarakat akan mengalami penurunan, sebelum ketertarikan masyarakat kembali naik dan menjadi stabil.

Adam menjadikan teknologi Internet of Things (IOT) sebagai contoh. Beberapa waktu tahun lalu, IOT memang sempat ramai dibicarakan. Dan banyak perusahaan berbondong-bondong untuk membuat produk IOT. Namun, tren IOT lalu surut dan bahkan sempat menghilang dari perhatian masyarakat. Meskipun begitu, tetap ada perusahaan yang menawarkan produk dan solusi IOT. Dan sekarang, masyarakat lalu menggunakan produk IOT tanpa sadar dalam kehidupan sehari-hari mereka.

"Kemungkinan, di masa depan, bisa ada game NFT yang banyak orang mainkan tanpa mereka sadari," kata Adam.

Contoh Game NFT di Indonesia

Salah satu developer Indonesia yang pernah membuat game NFT adalah Agate International. Dalam wawancara dengan Hybrid.co.id, Lee Marvin, VP of Gamification at Agate International mengatakan, saat ini, mereka sedang mengerjakan beberapa proyek game NFT. Salah satunya, Avarik Saga.

Lee menceritakan, alasan mengapa Agate tertarik dengan proyek game NFT adalah karena mereka melihat betapa pesatnya perkembangan teknologi Web 3 dan blockchain. "Pada awalnya, orang-orang bermain game hanya sebagai hiburan. Sekarang, gamers juga bisa memonetisasi game karena ada konsep kepemilikan atas aset digital," ujarnya. "This shift is a big thing dan kita harus bisa mengikuti."

Lebih  lanjut, Lee menjelaskan, salah satu hal yang membedakan game biasa dengan game NFT adalah dari teknologi yang digunakan. "Kalau game lama menggunakan centralized database. Sementara game NFT menggunakan teknologi blockchain yang decentralized," katanya. Selain itu, desain game NFT juga cenderung berbeda dari game biasa. Apalagi ketika game itu menggunakan model bisnis Play-to-Earn (P2E). Game P2E harus memiliki gameplay dan sistem keuangan yang seimbang demi menjaga kestabilan mata uang. Karena, mata uang dalam game bisa ditukar dengan uang asli.

"Kalau game bisa dimainkan dengan mudah, tanpa perlu usaha dan pemain bisa earning dengan gampang, maka mata uang dalam game akan terus ditukar dengan mata uang asli. Hal ini akan menyebabkan nilai mata uang dalam game turun," ungkap Lee. "Sebaliknya, jika gameplay dari game terlalu susah, justru tidak ada orang yang mau memainkan game tersebut."

Karena itu, Agate percaya, salah satu hal yang developer harus pertimbangkan dengan matang sebelum mencoba untuk membuat game NFT adalah sistem ekonomi dalam game. Lee menyebutkan, pada game biasa, mata uang dalam game itu bersifat satu arah. Jadi, pemain hanya bisa menggunakan uang asli untuk membeli mata uang dalam game dan menggunakannya demi mendapatkan item dalam game. Tapi, pemain tidak bisa menukar in-game currency dengan uang asli. Jadi, developer tidak terlalu pusing memikirkan tentang perputaran in-game currency. Developer juga bebas untuk membagikan in-game currency sewaktu-waktu. "Paling, konsekuensinya adalah kurangnya potensi pemasukan game," ujar Lee.

Namun, dalam game NFT, perekonomian dalam game akan bersifat dua arah. Pemain bisa menggunakan uang asli untuk membeli mata uang dalam game dan sebaliknya, in-game currency bisa ditukar dengan uang asli. Layaknya valuta asing, ada berbagai faktor yang akan mempengaruhi nilai tukar in-game currency. Karena itulah, developer harus bisa memastikan penggunaan in-game currency seimbang. "Jika fungsi dari mata uang dalam game sangat lemah, maka nilainya akan terus turun karena ia tidak dipakai oleh para gamers," jelas Lee. Dan jika ekonomi dalam game Web 3 tidak stabil, maka game itu akan mengalami masalah.

Karakter Avarik Saga bisa dibeli di OpenSea.

"Sekarang, para developers sedang berburu dengan waktu untuk mencari model ekonomi yang stabil untuk digunakan dalam game," aku Lee. Dan model bisnis yang digunakan bisa didasarkan pada model ekonomi di dunia nyata. "Hanya saja, di dunia nyata, uang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti membeli baju, makanan, dan rumah. Di game P2E, gamers akan menggunakan mata uang dalam game untuk memenuhi kebutuhan karakter mereka, seperti membeli senjata dan armor," jelasnya.

Saat ini, tidak sedikit gamers yang menunjukkan rasa tidak sukanya dengan model bisnis P2E. Namun, Lee yakin, tetap ada gamers yang juga tertarik dengan game P2E. Apalagi karena keberadaan game P2E akan memberikan lapangan pekerjaan baru di industri game. Satu hal yang pasti, Lee menyarankan, gamers yang ingin mendapatkan cuan dengan memainkan game NFT sebaiknya mencari tahu lebih dulu tentang game NFT dan model bisnis P2E. "Asal jangan ikut teman-teman saja. Karena ini bukan arisan," kata Lee.

Selain Avarik Saga, contoh game NFT buatan developer Indonesia lain adalah Eizper Chain. Game ber-genre MMORPG itu memiliki lima kategori NFT yang berbeda: heroes, enemies, NPCs, items, dan equipment. Pihak developers akan merilis NFT untuk kategori heroes, enemies, dan NPC. Sementara NFT dari items dan equipment bisa dibuat oleh pemain ketika mereka mencapai level tertentu. Sama seperti game NFT lainnya, jumlah NFT yang tersedia di Eizper Chain terbatas.

Setiap kategori NFT di Eizper Chain punya fungsi yang berbeda. Misalnya, NFT heroes memungkinkan pemain untuk menggunakan karakter hero itu dalam game. Sementara NFT enemies memudahkan pemain untuk melawan sang musuh. Selain itu, ketika pemain memiliki NFT musuh, loot yang dia dapat dari musuh itu juga akan digandakan. Dengan begitu, memiliki NFT musuh akan membantu pemain untuk mempercepat proses grinding. Bagi gamers yang memiliki NFT NPC, mereka biasanya akan mendapatkan pemasukan pasif dalam game. Mereka juga bisa mendapatkan diskon saat mereka menggunakan menggunakan jasa NPC yang NFT-nya mereka miliki.

Saat ini, jumlah NFT yang tersedia di Eizper Chain adalah 16 ribu unit. Ketika ditanya mengapa jumlah NFT dalam Eizper Chain harus dibatasi, Ferry Purnama sebagai Chief Marketing Officer Eizper Chain menjawab, jumlah NFT di Eizper Chain dibuat terbatas demi menjaga harga dari NFT itu sendiri. Dengan membatasi jumlah NFT yang beredar, maka harga NFT akan naik seiring dengan bertambahnya jumlah pemain Eizper Chain. Karena, bertambahnya jumlah pemain berarti meningkatnya demand akan NFT, sementara jumlah suplai dari NFT itu tidak akan bertambah.

Untuk NFT dari items dan equipment, pemain bisa melakukan proses minting sendiri ketika equipment mereka mencapai level tertentu. Semakin tinggi level sebuah senjata/armor, semakin sedikit jumlah NFT dari peralatan tersebut. Pemain kemudian dapat melakukan jual-beli dari NFT yang mereka miliki. Dan developer Eizper Chain akan mengenakan biaya pada transaksi yang pemain lakukan, yaitu sebesar 5%.

Kategori-kategori NFT dalam Eizper Chain.

Sebagai live game, Ferry mengatakan, Eizper Chain akan mendapatkan update secara berkala. Dia menjanjikan, mereka akan merilis fitur-fitur baru atau merilis patch baru setiap bulannya. Dia berharap, lifecycle dari Eizper Chain bisa panjang, seperti World of Warcraft, yang masih dimainkan oleh banyak orang bahkan belasan tahun sejak ia diluncurkan. Dia optimistis hal itu bisa direalisasikan karena gameplay dari MMORPG memang memungkinkan developer untuk menambahkan berbagai fitur baru, termasuk karakter, kawasan, dan monster baru.

Selain memberikan update berkala, developer Eizper Chan juga ingin mengembangkan skena esports dari game mereka. Untuk itu, mereka akan menerapkan sistem PVP yang memastikan pemain bisa bertanding dengan satu sama lain secara adil. "Tidak boleh pay-to-win dan pemain harus mengandalkan skill untuk menang," ujar Ferry. Karena itulah, Eizper Chain dilengkapi dengan fitur yang disebut battle arena.

Battle arena sendiri menawarkan beragam opsi mode. Salah satu mode pertarungan yang ada di battle arena adalah guild vs guild. Di sini, pemain masih boleh mengenakan equipment mereka. "Jadi, para sultan yang mau memamerkan equipment mereka, di sinilah tempatnya," ungkap Ferry. Selain itu, battle arena juga dilengkapi dengan mode royal battle. Dalam pertarungan battle royale, pemain boleh memilih untuk bertarung menggunakan equipment atau tidak.

Penutup

Manusia cenderung takut pada sesuatu yang tidak mereka ketahui. Karena itu, tidak heran jika selalu ada pihak yang enggan untuk mencoba teknologi baru. Teknologi blockchain, cryptocurrency, dan NFT pun bukan pengecualian. Tentu saja, orang-orang yang antipati pada keberadaan NFT punya alasan yang valid. Namun, tidak bisa dipungkiri, keberadaan NFT juga membuka kesempatan baru di berbagai industri, termasuk industri game.

Selama ini, sebagian gamers sudah memilih untuk mencari uang dengan bermain game, mulai dari orang yang menjadi joki game, streamers, sampai mereka yang menjadi atlet esports. Keberadaan game Play-to-Earn membuka kesempatan baru bagi gamers untuk mendapatkan uang dengan bermain game. Di sisi lain, game P2E juga membuka pintu baru bagi developers untuk mengeksploitasi para pemainnya.

Pada akhirnya, saya rasa, apa yang bisa kita lakukan ketika kita dihadapkan dengan teknologi baru adalah mencoba untuk mencari tahu tentangnya. Dengan begitu, kita bisa meminimalisir dampak buruk yang mungkin terjadi.

Sumber header: Fight for the Future via VentureBeat