Dark
Light

Filosofi Startup “New Economy”: “Growth” Bukan Segalanya

6 mins read
September 23, 2020
Gorry Holdings, Greenly, dan PURA bicara soal menyeimbangkan pertumbuhan bisnis dan strategi berkelanjutan
Gorry Holdings, Greenly, dan PURA bicara soal menyeimbangkan pertumbuhan bisnis dan strategi berkelanjutan

Startup new retail yang berkonsep direct-to-consumer (DTC) bisa dikatakan menjadi sorotan di mata investor selama beberapa tahun terakhir karena punya proposisi yang menarik dalam memanfaatkan alat-alat teknologi yang ada ke dalam proses bisnisnya, entah seluruhnya atau sebagian, untuk mendongkrak penjualan.

Mereka efisien karena memotong rantai penjualan ke kanal digital, ketimbang membuka gerai offline sendiri. Alhasil harga yang dijual jauh lebih kompetitif dari brand yang sudah besar, dengan sejumlah diferensiasi lainnya yang dikuatkan seperti bahan-bahan yang diproduksi ramah lingkungan dan baik untuk menjaga kesehatan.

Menarik untuk disorot bagaimana mereka menerapkan konsep growth yang eksponensial dengan bakar duit seperti yang dilakukan oleh startup kebanyakan. Gorry Holdings, Greenly, dan Pura bersedia berbagi pandangannya terhadap hal tersebut kepada DailySocial.

Ketiganya termasuk startup yang tumbuh hijau di tengah pandemi ini karena fokus kepada industri wellness dengan mengonsumsi gaya hidup sehat.

Growth penting, tapi bukan segalanya

Co-Founder & CEO Gorry Holdings Herry Budiman mengatakan growth adalah komponen penting buat perusahaannya, tapi bukan jadi segalanya. Perusahaan mengombinasikan growth dengan strategi keberlanjutan agar Gorry Holdings tetap membawa profit.

“Kita lebih balance. Growth harus ada tapi tetap memerhatikan aspek sustainability dan profit. Mungkin kita dibandingkan perusahaan lainnya, menerima fund [pendanaan dari investor] yang lebih sedikit, tapi kita bisa memberikan ekspektasi lebih tinggi untuk mereka,” terangnya kepada DailySocial.

(ki-ka) founder dari Gorry Holdings Herry Budiman dan William Susilo / Gorry Holdings
(ki-ka) founder dari Gorry Holdings Herry Budiman dan William Susilo / Gorry Holdings

Implikasi dari pemilihan strategi ini, buat sebagian  investor jadi abu-abu. Umumnya investor punya goal lain untuk menjual portofolionya ke investor lain saat portofolio tersebut melakukan penggalangan dana. Metriks yang biasanya dipakai investor adalah growth yang dimiliki si portofolio tersebut. Semakin eksponensial angkanya maka akan semakin “menjual”.

“Gorry tiap tahun selalu ada growth, tapi memang growth kami ini tidak eksponensial karena dana kita itu terbatas. Tapi ini lebih baik sebab kami sudah punya monetisasi lewat app dan membuat perusahaan tetap sustain sampai sekarang.”

Bagi Gorry sendiri, dengan penerapan strategi yang berimbang ini perusahaan dapat mempertahankan konsumen, dengan tingkat retensi yang diklaim lebih baik dari kompetitor. Herry menjelaskan, sebanyak 80% konsumen yang ada saat ini adalah recurring consumer yang berjumlah ratusan ribu orang yang mayoritas tersebar di Jakarta dan Tangerang. Biaya operasional terbilang cukup rendah karena perusahaan mengoperasikan dapur sendiri, meski belum masuk ke cloud kitchen.

Pendapat yang sama dikemukakan Co-Founder Greenly Edrick Joe Soetanto. Mengejar growth adalah suatu keharusan, tapi harus dilakukan dengan bertanggung jawab. Pendanaan yang diterima perusahaan hanya diinvestasikan untuk kebutuhan pengembangan bisnis, seperti ekspansi.

Edrick menekankan, semangat Greenly adalah mendemokratisasikan makanan sehat yang mudah dicari dengan harga terjangkau, sama seperti kondisi saat ini yang mudah mencari makanan cepat saji. Makanan sehat seharusnya bukan dikonsumsi sesekali saat berkunjung ke mal, tapi di mana saja konsumen berada.

Untuk membentuk kebiasaan tersebut, Greenly membentuk operasional cloud kitchen, baik bekerja sama dengan Grab Kitchen, maupun mengoperasikan sendiri di Surabaya, Malang, dan Bali.

Gerai offline diposisikan sebagai channel penjualan saja, karena semua makanan diproses terpusat di cloud kitchen. Secara total, Greenly memiliki 10 cloud kitchen dan tiga gerai offline.

Sumber: Greenly
Sumber: Greenly

“Model bisnis yang dijalankan sekarang sesuai dengan hipotesis awal bahwa kita ingin menjadikan makanan sehat ini bukan jadi leisure meals, melainkan makanan keseharian bisa dipesan online. Untuk itu, kita menjalankannya dengan konsep new retail. Kita ada offline store tapi hanya untuk serving, tidak ada dapur karena semuanya terpusat di cloud kitchen.”

Dengan metode ini, Edrick mengaku brand exposure Greenly, baik online maupun offline, mampu memainkan perannya masing-masing dengan baik. Bisnis pun lebih efisien dan lincah untuk berekspansi ke lokasi baru, maupun mengembangkan menu baru.

Kelebihan ini juga ikut terasa saat pandemi yang masih berlangsung hingga kini. Kendati penjualan offline turun, namun keuangan perusahaan tetap terjaga dalam level yang aman karena terdorong oleh penjualan online.

Co-Founder dan Marketing Strategist PURA Monica Liando sependapat dengan dua narasumber sebelumnya. Perusahaan menganggap growth adalah sesuatu yang pasti bakal mengiringi perjalanannya kalau memiliki solusi yang menjawab apa yang dicari konsumen.

“Kita lebih consumer-based kita lihat konsumen ini butuh apa, lalu apa pain problem-nya, dari situ kita jawab dengan solusi. Kita percaya bahwa ketika kita tahu apa yang kita lakukan ini [sesuai dengan kebutuhan], maka growth pasti akan mengikuti,” kata Monica.

Startup dari Surabaya ini berdiri pada 2017 dengan berbekal pengalaman pribadinya bahwa di Indonesia sulit untuk mencari produk bumbu masakan 100% alami tanpa perasa buatan dengan harga terjangkau. Perusahaan memanfaatkan kanal digital, seperti reseller online, pada pertama kali beroperasi.

Berkat pemasaran dari mulut ke mulut, PURA berkembang hingga sekarang memiliki situs e-commerce sendiri yang memasarkan enam bumbu yang diproduksi sendiri. Bahkan sejak tahun lalu PURA bisa dijangkau secara offline di toko swalayan.

“Sedari awal kita lihat arahnya adalah [memasarkan] online karena untuk menggapai lebih banyak konsumen lebih mudah dari situ. Hingga sekarang kami belum memiliki toko sendiri.”

Sumber: PURA
Sumber: PURA

Emban misi lain

Ketiga perusahaan ini tidak hanya fokus membangun bisnis yang bisa cetak untung saja, tapi juga menggotong misi lain yakni mengedukasi untuk meningkatkan kesadaran gaya hidup sehat jadi suatu kebiasaan. Dalam membentuk kebiasaan tersebut tentu pada awal-awal mereka beroperasi tidaklah mudah.

Sumber: Gorry Holdings
Sumber: Gorry Holdings

Herry menceritakan pada awal Gorry Holdings dirintis, bisnis pertama yang digeluti adalah Gorry Gourmet. Mereka sempat membuat survei mini terhadap 3 ribu responden di seluruh Indonesia untuk membuktikan hipotesisnya. Kesimpulan yang didapat adalah responden punya keinginan untuk hidup lebih sehat, tapi mereka tidak tahu cara memulainya dari mana.

“Mereka ada yang menjawab mulai dari olahraga, tapi apparently bukan [itu jawabannya], tapi dari pola makan dan belum tentu langsung mencari katering sehat. Makanya solusi dari kami adalah bantu orang define goals mereka. Setelah ketemu baru kita beri rekomendasi solusi apa yang bisa kita berikan.”

Herry melanjutkan, “Dari awal kita believe, apa yang sehat menurut kamu belum tentu sehat menurut orang lain. Kita bantu orang achieve goals mereka dan guide mereka, bukan sekadar diet saja. Dari situ kita baru menawarkan layanan katering. Monetisasi kita langsung dari situ dan it works karena barrier orang untuk mulai berlangganan katering lebih kecil daripada bayar gym.”

Bisa dikatakan Gorry Gourmet adalah jalur perusahaan dalam mengidentifikasi konsumennya dan mencari tahu kebutuhan lainnya yang bisa dikembangkan. Selang empat tahun kemudian, aplikasi GorryWell dirintis sekaligus mengukuhkan misi Gorry dari awal sebagai perusahaan wellness.

Aplikasi ini berisi beragam fitur wellness seperti analisa gaya hidup, panduan gaya hidup sehat, rekomendasi makanan sehat terdekat, resep makanan. Fitur teranyar yang baru dirilis pada awal bulan ini adalah Gorry Mart, platform e-commerce produk makanan dan minuman sehat.

Aplikasi Gorry Well / Gorry Holdings
Aplikasi Gorry Well / Gorry Holdings

“Kita sebisa mungkin menjauhkan orang agar tidak sakit. Aplikasi ini bisa mengakomodasi kebutuhan tersebut, sudah dipakai untuk korporat buat para karyawannya. Mereka bisa lihat stress level karyawannya sejauh apa, penyakit apa yang paling banyak diderita, dari situ mereka bisa mengalokasikan budget-nya ke spending yang lebih terarah. Terbukti pula klaim asuransinya turun hingga 20%.”

Dalam waktu dekat, Gorry akan melengkapi fitur di GorryWell dengan wellness coach. Menurut pengakuan Herry, selama pandemi ini level stres meningkat karena harus selalu berada di rumah, bahkan berujung perceraian. Pihaknya akan menghubungkan konsumennya dengan para psikolog untuk berkonsultasi secara online.

“Banyak solusi wellness yang solusinya tidak bisa dipecahkan dengan makanan sehat. Wellness coach rencana awalnya mau kami rilis tidak dalam tahun ini, namun melihat kondisi sekarang akhirnya kami percepat.”

Keseriusan Gorry Holdings juga dibuktikan dengan mengantongi sertifikat HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) dan ISO 22000:2005 untuk sistem keamanan pangan.

Dari sisi Greenly, agar konsumen familiar dengan semangat demokratisasi makanan sehat, Greenly memutuskan untuk memadukan tren di global dengan melokalkannya ke lidah orang Indonesia.

“Kita enggak bisa langsung copy paste, perlu adjust. Makanan sehat apa yang masih bisa diterima, akhirnya kita pilih salad karena di Indonesia ada juga gado-gado yang mirip dengan itu.”

Pengembangan variasi menu terus dilakukan agar konsumen semakin familiar dengan makanan sehat. Misalnya, tim Greenly mengembangkan variasi salad dalam bentuk wrap yang menyerupai kebab. Lalu menu minuman boba tapi terbuat non dairy, dengan mengambil dari susu almond atau susu gandum yang lebih sehat.

Sumber: Greenly
Sumber: Greenly

Bahan-bahan yang dipakai Greenly untuk membuat seluruh menu tersebut dilakukan secara internal, berkat salah satu co-founder-nya berlatar belakang ahli nutrisi. Harga produk yang dijual Greenly berkisar Rp30-40 ribu.

“Kita semuanya lakukan in-house, sehingga cost bisa ditekan rendah dan pemasarannya secara online. Biaya overhead-nya jadi ringan dan kami bisa berikan savings-nya ke konsumen.”

PURA juga tidak main-main dalam keseriusannya bermain di industri wellness ini. Sama seperti Gorry Holdings, Monica menuturkan perusahaan telah memperoleh sertifikasi HACCP dan ISO 22000:2005, tujuannya untuk memastikan bahan-bahan yang dipakai itu benar-benar alami dan aman untuk dikonsumsi. “Karena banyak konsumen PURA adalah ibu-ibu yang membeli PURA untuk anak-anaknya.”

Seluruh produk PURA dikembangkan secara internal dan proses manufakturnya secara eksklusif telah teken kontrak eksklusif dengan salah satu pemain yang piawai di bidangnya. Fokus perusahaan pada saat ini adalah memperbanyak variasi bumbu-bumbu agar konsumen semakin banyak pilihan.

“Target jangka panjang kami pada 5-8 tahun ke depan bisa masuk ke pasar ASEAN dan kita percaya kalau pakai kemampuan sendiri ini akan butuh waktu lama. Oleh karena itu mulai dari sekarang kami mulai mempersiapkan untuk rencana funding,” tutupnya.

Previous Story

[Review] Mi Wi-Fi Range Extender Pro: Menambah Jangkauan Wi-Fi dengan Harga Murah

Next Story

Razer Rilis Trio Periferal Wireless Baru: DeathAdder V2 Pro, BlackShark V2 Pro, dan BlackWidow V3 Pro

Latest from Blog

Don't Miss

Spotgue memungkinkan pengunjung, tenant dan pihak mal berinteraksi secara real time dan terintegrasi atau yang disebut sebagai Mall 4.0 Experience.

Mengenal Aplikasi Spotgue, Bantu Transformasi Mal dengan Teknologi

Akhir tahun menjadi momen yang tepat untuk bisa bepergian bersama
Una Brands Indonesia

Una Brands Ramaikan Bisnis “Rollup E-commerce” di Indonesia

Una Brands, startup agregator e-commerce asal Singapura, mengumumkan kehadirannya di