Istilah startup kini tak asing lagi di kalangan millennials di Indonesia. Bekerja di startup atau membuat startup sendiri menjadi jalan karier dambaan banyak orang. Sejak tahun 2014, saya mencoba mengamati tentang dinamika startup di tahap awal atau sering disebut dengan istilah early-stage startup. Umumnya startup di fase ini masih dijalankan dengan bootstrapping alias modal sendiri, dengan keyakinan akan produk yang dikembangkan dan komposisi tim yang terikat kesamaan visi.
Banyak yang hadir menyajikan layanan baru, namun tak sedikit yang ambruk mengakhiri apa yang telah dimulainya, walaupun beberapa ada yang memilih untuk pivot dan mencoba pendekatan lain. Mulai dari startup yang mencoba menghadirkan kanal media sosial untuk kategori aktivitas tertentu, pengembang aplikasi akuntansi berbasis SaaS (Software as a Service), hingga penyedia layanan on-demand pernah menghiasi tag “ Startup News” di DailySocial.
Menyimpulkan beberapa tulisan tips dari para pakar yang pernah disadur oleh DailySocial, saya mencoba memetakan beberapa kendala yang mengakibatkan early-stage startup sulit untuk melanjutkan debutnya dalam atmosfer bisnis. Permasalahan tersebut terbagi menjadi dua faktor, yakni faktor bisnis dan faktor manajerial.
Faktor Bisnis
Permasalahan ini berkaitan langsung dengan apa yang mereka suguhkan, baik dalam strategi ataupun pengembangan produk.
(1) Salah sasaran
Ada beberapa penafsiran terkait dengan poin pertama ini. Sebuah startup bisa dibilang salah sasaran karena memang produk yang dikembangkan tidak cocok dengan pangsa pasar yang ditargetkan atau karena pangsa pasar yang ditargetkan masih jauh dari kata siap untuk penerapan solusi terkait.
Kami pernah meliput tentang startup yang mencoba menyajikan solusi berbasis big data untuk sektor pendidikan dan kesehatan pada awal tahun 2015. Akselerasinya tidak begitu terlihat sampai sekarang, bahkan bisa dibilang stagnan. Terbukti dengan website yang saat ini tidak dikembangkan, bahkan salah satu portofolionya tidak jalan lagi.
Di sektor pendidikan dan kesehatan, proses masih sangat terpaku dengan model konvensional –sebuah fakta yang tidak bisa dielakkan. Kalaupun komputerisasi digunakan, masih sebatas operasional dasar. Kalangan digital immigrant masih sangat mendominasi di sektor tersebut. Konsep seperti big data, artificial intelligence dan banyak terobosan teknologi lain sifatnya masih berupa riset (untuk dua sektor tersebut).
Terlalu dini menyiapkan produk dengan teknologi canggih seperti bertaruh: adaptasi cepat atau tidak tersentuh sama sekali.
(2) Produk yang bermasalah
Beberapa pakar pemasaran selalu mengutarakan bahwa memperkenalkan produk ke calon konsumen harus dilakukan secara cepat. Salah satunya sering dilakukan dengan meluncurkan versi beta dari aplikasi. Namun ini akan menjadi buruk jika kualitas produk belum benar-benar siap. Apalagi untuk varian produk yang memiliki banyak pilihan. Konsumen digital unik, kadang mereka langsung memberikan cap buruk (underestimate) kepada sebuah apps jika first impression yang mereka dapat buruk –menemui bugs di aplikasi.
Tidak hanya masalah pada aplikasi saja, namun termasuk pelayanan. Hilangnya layanan on-demand pesaing Go-Jek menjadi salah satu contohnya. Pernah tahu ke mana Blue-Jek, LadyJek, dan produk sejenis lain yang pernah berusaha mencoba meramaikan persaingan di ibukota? Transportasi dibutuhkan pengguna kapan saja ketika mereka butuh, maka layanan harus menyesuaikan. Jika tidak, maka tetap sama saja, akan dianggap bermasalah dari sisi pelayanan.
Masalah produk atau layanan bisa berkaitan langsung dengan produk yang dikembangkan dan juga unsur lain yang mendukung kegiatan bisnis tersebut.
(3) Bisnis model yang tidak matang
Dijalankan anak-anak muda, semangat menggebu-gebu sering diperlihatkan ketika sebuah startup dimulai. Kadang ada yang terlewatkan jika sebuah model bisnis harus tervalidasi dengan baik sebelum dieksekusi. Untuk model bisnis baru, perlu dipikirkan secara jeli dampak seperti apa yang ingin dihadirkan pada konsumen.
Pun demikian dengan model bisnis yang disalin dari luar. Mencoba peruntungan dengan membawa model bisnis startup Silicon Valley menjadi aplikasi taste lokal. Tak hanya validasi, riset mendalam perlu dilakukan.
Eksekusi adalah kunci, namun perlu memastikan apakah kunci yang digunakan untuk membuka (peluang) itu membawa ke pintu yang benar atau tidak.
Faktor Manajerial
Permasalahan ini menghinggap dalam unsur internal bisnis, sering menyengat dan menghadirkan isu pada komponen penggerak bisnis di ruang operasional.
(1) Manajemen yang tidak jelas
Salah satu yang menyatukan visi sekelompok orang hingga akhirnya membentuk startup salah satunya karena pertemanan, baik karena di kampus yang sama, bertemu di komunitas atau lain sebagainya. Kadang tidak adanya gap karena faktor pertemanan ini yang membuat disiplin manajemen kurang diterapkan. Terdapat banyak aspek dalam manajemen, mulai dari pengelolaan tanggung jawab, pembagian tugas, hingga kepemilikan.
Konflik yang mungkin muncul karena pengelolaan manajemen yang buruk bisa menimpa antar co-founder ataupun karyawan dalam bisnis. Pada akhirnya tidak akan membuat nyaman orang di dalamnya dalam bekerja, dan akselerasi bisnis pun terganggu. Contoh paling sederhana dan sering terjadi: pembagian tugas yang tidak jelas, pembagian kepemilikan yang tidak jelas, hingga mekanisme upah yang tidak transparan.
Sama seperti filosofi pohon, semakin tinggi semakin kencang tiupan angin. Pastikan akarnya kuat agar tidak roboh. Peraturan dan kebijakan yang clear menjadi akar dalam hal ini.
(2) Tidak punya seni pemecahan masalah
Jika diumpamakan, mengelola startup tidak jauh berbeda dengan membina rumah tangga. Masalah kecil hingga masalah besar bisa saja menimpa kapan saja. Mulai dari permasalahan internal antar pegawai, masalah legal, perpajakan, hingga masalah dengan konsumen. Yang diperlukan adalah sebuah seni pemecahan masalah.
Sayangnya tidak ada rumusan baku untuk hal ini, karena yang akan membawa kepada keputusan paling solutif adalah intuisi dan pengalaman. Tak heran jika beberapa startup kini menunjuk mentor untuk mendampinginya bertumbuh. Pengalaman mereka kadang dibutuhkan untuk memberikan insight sebelum memutuskan sesuatu.
Tidak ada teori baku, setiap permasalahan itu unik, pun demikian penyelesaiannya. Pengalaman sangat berperan di sini.
(3) Merekrut orang yang salah
Terdapat banyak justifikasi yang digunakan ketika merekrut seseorang untuk masuk dalam bisnis. Mulai dari kriteria yang sesuai, kenal secara pribadi hingga disarankan oleh orang lain. Merekrut seseorang masuk ke bisnis, artinya menyerahkan satu sandaran bisnis kepada orang tersebut. Beberapa hal yang perlu diperhatikan: pastikan sesuai dengan apa yang dibutuhkan, pastikan ditempatkan dalam role yang tepat, dan pastikan orang yang tepat.
Kehadiran seseorang dalam sebuah lingkungan sedikit atau besar akan memberikan pengaruh. Kultur bisnis yang sudah kuat terbangun bisa saja berubah dengan hadirnya orang baru, terlebih jika ditempatkan dalam posisi strategis. Mengapa sebegitunya? Sederhana, startup di tahap awal timnya masih sedikit, hadirnya satu orang pun akan memberikan dampak signifikan. Ini yang perlu disiasati dan diamati sejak awal.
Jika kejernihan air bisa ternoda akibat setetes tinta, sebuah tim startup bisa hilang kompaknya akibat hadirnya satu orang. Tapi jika tinta tersebut sudah berbaur pun tetap bisa dihilangkan dengan proses penyulingan yang ketat.
(4) Terlalu boros
Mengapa teknologi komputasi awan sering diunggulkan untuk startup? Karena skalabilitas dan elastisitas yang ditawarkan. Saat pengguna memulai dengan spesifikasi yang kecil, jika di tengah jalan memerlukan sumber daya yang lebih besar maka bisa ditambah kapan saja. Konsep ini sebenarnya juga berlaku untuk kebutuhan lain, termasuk pembiayaan dalam operasional. Sama halnya ketika harus menyewa tempat bekerja, memberikan penggajian dan sebagainya, semua harus pas pada porsinya. Terlebih jika bisnis masih harus “membakar uang” dan belum menghasilkan profit.