Sebagai pendatang baru, e-commerce di Asia Tenggara memiliki keuntungan untuk belajar dari kesalahan-kesalahan yang telah terjadi di pasar e-commerce yang lebih berkembang seperti AS dan Tiongkok. Kita sudah melewati lebih dari 20 tahun setelah Amazon (1994) dan eBay (1995) didirikan. Jack Ma memulai Alibaba di apartemennya di Hangzhou pada 1999, persis sebelum era internet 1.0 berakhir.
Banyak hal yang telah terjadi di industri e-commerce global sejak itu, termasuk pergerakan yang perlahan tapi pasti dari Amazon, naik dan turunnya kehadiran situs daily deals dan flash sale, serta IPO Alibaba yang menakjubkan di tahun 2015. Lalu apa yang akan terjadi selanjutnya? Ulasan sejarah ini menciptakan dua kerangka; Siklus Kehidupan E-commerce dan E-commerce 1.0/2.0, untuk membantu memprediksi kesempatan bagi e-commerce di Asia Tenggara di masa depan.
(1) Siklus Hidup E-commerce – Bagaimana Model E-commerce Berevolusi dari Waktu ke Waktu
Ada pola berbeda yang telah muncul dari evolusi pasar e-commerce yang lebih dewasa yang menawarkan sejumlah perkiraan bagi e-commerce di Asia Tenggara. Hal ini mengikuti perkembangan dari Iklan Baris dan C2C ke B2C hingga kemudian Brand.com. AS memulai dari Craiglist, eBay dan Amazon ke situs brand seperti Nike, J.Crew dan Gap. Tiongkok memulai dari Taobao, Tmall dan JD hingga ke banyak situs brand dan marketplace seperti Estée Lauder, Burberry dan Coach.
Asia Tenggara saat ini mengikuti pola yang serupa namun dengan langkah yang lebih cepat karena “1 to n,” kemajuan horisontal, dan hasil dari prilaku leapfrogging. Di Asia Tenggara, kita memiliki Iklan Baris (OLX), C2C (Tarad, Tokopedia, Shopee), B2C (Lazada, Zalora, MatahariMall) dan Brand.com (L’Oreal, Estée Lauder, Adidas) semua terjadi bersamaan dalam rentang waktu yang sangat singkat.
Ciri khas lokal memberikan jalan bagi model bisnis e-commerce unik
eBay hanya bisa diciptakan di AS karena model lelangnya cocok bagi budaya konsumerisme yang ditandai oleh barang yang berlebihan dan banyaknya pengkolektor (contohnya kolektor kartu baseball dan Pez dispenser). Di sisi lain, eBay tidak berhasil di Tiongkok karena banyak alasan, salah satunya karena model lelang tidak menarik bagi pengguna di Tiongkok yang lebih suka membeli barang baru dan bernegosiasi secara langsung via chat.
Model B2B2C Tmall berasal dari Tiongkok karena bentuknya yang seperti bazaar, situasi belanja yang hiruk-pikuk yang sudah biasa dialami oleh orang Tiongkok di dunia offline mereka.
Asia Tenggara adalah hybrid dari AS dan Tiongkok
Lazada, platform e-commerce yang dominan di Asia Tenggara, adalah gabungan dari Amazon dan Tmall. Didirikan pada tahun 2011 oleh Rocket Internet sebagai “Amazon dari Asia Tenggara”, Lazada saat ini mendapatkan 70% GMV (Gross Merchandise Value)-nya dari pihak ketiga, transaksi marketplace, dengan sisa 30% didapatkan dari ritel “tradisional” langsung ala Amazon. Setelah akuisisi Alibaba, besar kemungkinan bahwa Lazada akan mengikuti model Tmall dan bergerak sebagai 100% marketplace dengan segala keuntungan scaling yang terkait dengan model ini.
Bandingkan ini dengan Amazon, yang secara tradisional dulunya 100% bergerak di model retail langsung namun kini beralih ke model marketplace. Saat ini, Amazon mendapatkan 59% GMV-nya dari B2B2C.
B2B, B2B2C, dan Brand.com terjadi secara bersamaan
Di Cina, brand berproses dari berjualan di Tmall sebagai batu loncatan untuk kemudian mengoperasikan situs brand.com mereka sendiri. Salah satu contohnya adalah Uniqlo yang memulai berjualan melalui toko flagship Tmall lalu kemudian menambah webstore brand.com mereka sendiri.
Di Asia Tenggara, kita melihat banyak brand melakukan kedua hal tersebut dalam waktu yang bersamaan, berjualan melalui Lazada dan juga toko brand.com mereka sendiri, sebagai tambahan dari pendistribusian melalui e-tailor seperti Central Online dan MAP. Hal ini didorong oleh teknologi yang membuat brand semakin mudah untuk berjualan melalui channel yang berbeda-beda namun juga seolah menjadi keharusan karena fragmentasi yang tinggi di pasar e-commerce saat ini. Konsolidasi diprediksi akan terjadi secepatnya.
Asia Tenggara adalah mobile-first, C2C e-commerce beralih langsung ke mobile marketplace
Jika di pasar e-commerce yang sudah matang, C2C melalui desktop masih memainkan peran yang sangat penting, di Asia Tenggara loncatan ke mobile mengacaukan marketplace desktop-first tradisional. Mobile-only C2C marketplace seperti Carousell dan Shopee sedang membuat gerakan agresif melawan rival desktop mereka yang telah muncul terlebih dahulu seperti Tarad di Thailand dan Tokopedia di Indonesia.
Dengan estimasi 85% dan 79% dari transaksi belanja online di luar area metro besar di Thailand dan Indonesia terjadi di mobile, tidak mengherankan apabila perusahaan seperti Facebook juga bertaruh pada C2C mobile. Raksasa iklan ini baru saja meluncurkan pembayaran mobile di Thailand di mana 50% dari transaksi C2C diestimasi terjadi di jaringan sosial.
(2) E-commerce 1.0 ke E-commerce 2.0: Empat Strategi untuk Menghindari ‘Pertumpahan Darah’ E-commerce di Asia Tenggara
Asia Tenggara adalah e-commerce goldrush yang selanjutnya. Karena alasan ini juga, di kawasan ini terjadi pertarungan e-commerce yang sengit. Kita telah melihat banyak korban, terutama di ruang B2C yang menjual brand pihak ketiga. Seperti yang telah kami perkirakan sebelumnya, Zalora yang didirikan oleh Rocket Internet harus menjual operasi mereka di Thailand dan Vietnam kepada retailer lokal Central Group.
Di tahun ini pula, Cdiscount Thailand, bagian dari konglomerat ritel asal Prancis, Groupe Casino, terjual sebesar $31.5 juta (28 juta EUR) kepada TCC, perusahaan lokal asal Thailand yang juga memiliki brand bir populer, Chang.
E-commerce 1.0: Menjual barang orang lain ke publik dengan margin rendah
E-commerce guru Andy Dunn mengadopsi sebuah strategi yang membuat bisnisnya memiliki kesempatan bersaing dengan Amazon di pertarungan di AS.
“If you’re selling other people’s brands, you are competing not via a local group of competitors but with everyone. In this type of market, you might imagine having one large national winner. You might imagine that winner is ruthless about scale and cost, and is run by a visionary leader who with an extreme long-term focus. Such a company might not make real money for a long time — but when it does — it will be incredibly powerful.”
“Jika Anda menjual merek milik orang lain, bukan saja Anda berkompetisi dengan satu grup kompetitor lokal namun juga semua orang. Pada tipe pasar seperti ini, Anda bisa membayangkan munculnya satu pemenang di skala nasional. Anda bisa membayangkan pemenang tersebut tidak peduli tentang skala dan uang (yang dikeluarkan) dan dijalankan oleh seorang pemimpin yang memiliki fokus jangka panjang. Perusahaan seperti itu mungkin tidak menghasilkan uang dalam waktu yang lama — namun saat mereka melakukannya — mereka akan menjadi sangat kuat.”
Dengan masuknya Alibaba di wilayah ini melalui akuisisi Lazada senilai $1 miliar, ‘Alizada’ semakin nampak sebagai ancaman besar bagi para retailer lainnya di pasar ini, baik di ruang pemain e-commerce murni atau pun omni-channel. Pertarungan ini akan semakin intensif dan semakin banyak konsolidasi akan terjadi di beberapa tahun mendatang.
Saat ini, belum ada pemain B2C atau e-commerce 1.0 di ASEAN yang mendominasi market share.
Perlu diakui bahwa Lazada memiliki awal yang bagus dengan dugaan 20% market share di tahun 2014, namun angka ini masih sedikit bila dibandingkan dengan Amazon yang mendominasi 60% di AS, atau Tmall dengan 50.6% dan JD dengan 51.9% (pasar ritel langsung B2C) di Tiongkok.
Selama lima hingga enam tahun ke depan, B2C di Asia Tenggara akan melalui konsolidasi lebih lanjut yang bisa berakhir dengan satu sampai dua pemain.
Tidak ada cara yang lebih baik untuk memvisualisasikan konsolidasi terus-menerus di E-commerce 1.0 selain dengan data ‘search interest’ di Google Trends. Grafik untuk Thailand menunjukan naik turunnya desktop C2C dan daily deals, fragmentasi di kategori B2C dan kenaikan pesat Lazada.
Di sinilah semuanya menjadi menarik. Di mana E-commerce 1.0 adalah sebuah permainan “fisik” yang murni mengandalkan kekuatan, E-commerce 2.0 mengeksploitasi celah 1.0 dengan banyak cara kreatif untuk menghindari permainan zero-sum melawan pemain seperti ‘Alizada’.
“This next generation of e-commerce companies is as much about what you exclude as what you include. It is a paradox that excluding some things takes more time than including everything. The new models are fundamentally — whether the merchandise is proprietary or not — about merchandising.” — Andy Dunn on E-commerce 2.0
“Generasi perusahaan e-commerce saat ini adalah tentang apa yang kecualikan dan anda sertakan. Sebuah paradoks dimana mengecualikan beberapa hal memakan lebih banyak waktu dibanding menyertakan semuanya. Model-model baru yang ada secara fundamental — baik produk hak milik atau bukan — adalah tentang mendagangkannya.” — Andy Dunn tentang E-commerce 2.0.
Gilt, salah satu contoh nyata dari E-commerce 2.0, bangkit dari abu pada krisis 2008 dengan sebuah bisnis model unik yang menawarkan barang mewah dengan harga yang jauh lebih murah dari harga aslinya melalui flash sales terbatas. Satu dari unicorn pertama di New York ini, Gilt kemudian harus berjuang saat ekonomi mulai pulih dan brand tidak lagi memerlukan channel distribusi untuk barang stok lama.
Sementara Gilt bermain dengan harga, pemain lainnya seperti Birchbox dan Rent the Runway berinovasi di sisi produk dengan menawarkan pengalaman belanja yang unik. Birchbox memulai tren perdagangan langganan kecantikan dan menginsiprasi kloning “Birchbox for X” yang tak terhitung jumlahnya. Rent for Runway pada dasarnya adalah fashion on-demand yang menyediakan akses untuk menyewa rancangan busana high-end bagi para penggunanya.
E-commerce 2.0 di Asia Tenggara: Sekilas Harapan Bagi Calon Pengusaha E-commerce?
Dengan masih terjadinya pertumpahan darah di e-commerce 1.0 di Asia Tenggara sampai saat ini, beberapa pengusaha telah menyadari bahwa adalah sia-sia untuk bersaing melawan pemain sejenis Lazada dan MatahariMall tanpa kantong yang dalam atau strategi lainnya. Sebaliknya, mereka fokus pada peluang yang muncul di e-commerce 2.0 dan memposisikan diri mereka dengan cara yang unik.
(3) Masa Depan E-commerce di Asia Tenggara
Jika kita menerapkan baik kerangka Siklus Hidup E-commerce atau E-commerce 1.0/2.0, kita akan lebih mudah melihat ke mana e-commerce di Asia Tenggara mengarah.
Perang B2C akan terus berlangsung empat sampai lima tahun ke depan hingga para pemain kehabisan uang dan menyerah. Di Cina, proses ini memakan waktu hampir satu dekade dengan Tmall berkembang dari market share 0% hingga 50.6% selama periode 2008-2014. Di ruang ritel B2C langsung, JD berkembang dari 15% menjadi 51.9%. Pada periode yang sama, pemimpin sebelumnya seperti Dangdang (16.2%) dan Amazon China (15.4%) perlahan menjadi tidak relevan dengan sisa market share sebesar 4% dan 3.5% pada 2014.
Selama periode waktu ini, kita juga akan melihat lebih banyak startups dan venture capital memasuki ruang E-commerce 2.0. E-commerce 2.0 bukanlah hal yang baru untuk Asia Tenggara — banyak yang telah mencoba untuk membawa model Birchbox ke wilayah ini namun gagal karena kondisi pasar yang belum siap. Namun, beberapa tahun ke depan mungkin menjadi waktu yang tepat, terbukti dari traksi yang didapatkan perusahaan seperti Pomelo Mode, Sale Stock, dan Motif.
Apakah ini berarti kita bisa langsung maju dan menyalin sesuatu seperti Gilt ke Asia Tenggara? Jawabannya sangat tergantung. Sebuah model bisnis seperti Gilt membutuhkan akses ke inventori lama brand-brand premium, di mana di pasar seperti Thailand dan Indonesia dimonopoli oleh satu atau dua distributor seperti Central dan MAP. Ini adalah masalah yang sama yang menyebabkan kejatuhan Zalora di pasar yang sama. Setiap model E-commerce 2.0 yang diluncurkan di Asia Tenggara perlu disesuaikan dengan pasar lokal.
E-commerce di Asia Tenggara masih relatif baru dengan hanya 1% kontribusi online pada total GMV ritel, jauh tertinggal bila dibandingkan dengan 7.1% dan 15.9% di AS dan Cina. Namun demikian, wilayah ini sudah banyak disebut sebagai pemimpin pasar e-commerce terbaru, dan penelitian terbaru memprediksi pasar ini akan tumbuh sebesar 32% year-on-year dan mencapai $88 miliar pada tahun 2025 (penetrasi 6.4%), naik dari angka $5.5 miliar saat ini (penetrasi 0.8%). Seperti yang ditunjukkan dalam analisis kami, ada banyak peluang di e-commerce bagi mereka yang berkantong tebal juga bagi mereka yang mengadopsi strategi unik dan lokal.
“Don’t always go through the tiny little door that everyone is trying to rush through… maybe go around the corner and go through the vast gate that no one’s taking.” — Peter Thiel
“Jangan hanya pergi melewati pintu kecil yang dilalui oleh semua orang.. coba pergi ke sudut yang lain dan pergi melalui pintu besar yang tidak ada dilalui orang.” — Peter Thiel
–
Disclosure: Tulisan ini dibuat oleh Sheji Ho dan disadur ke bahasa Indonesia oleh Rara Kinasih setelah melalui penyuntingan. Artikel aslinya bisa diakses di sini.
Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.