Pada Desember 2022, negara-negara yang menjadi anggota Uni Eropa setuju untuk mengesahkan Artificial Intelligence Regulation Act alias AI Act. Regulasi itu dibuat dengan tujuan untuk memperketat pengawasan pada pengembangan dan penggunaan AI, khususnya dalam transparansi data yang digunakan untuk melatih AI serta akuntaibilitas AI.
Beberapa bulan kemudian, pada April 2023, anggota Parlemen Eropa memanggil Presiden Amerika Serikat, Joe Biden dan Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, untuk mengadakan pertemuan global terkait AI. Pertemuan itu diharapkan bisa menjadi tempat diskusi tentang panduan untuk mengembangkan, mengendalikan, dan menggunakan AI, lapor Decrypt. Namun, keputusan Uni Eropa untuk membuat regulasi terkait AI justru memunculkan tantangan baru bagi OpenAI, kreator dari ChatGPT.
Tantangan Baru Berkat AI Act
Dalam diskusi panel di University College London, CEO OpenAI, Sam Altman mengungkap bahwa OpenAI akan berusaha untuk mematuhi AI Act. Namun, OpenAI juga skeptis pada regulasi tersebut. Karena, di bawah AI Act, ChatGPT dan GPT-4 akan masuk dalam kategori High Risk. Dengan begitu, mau tidak mau, OpenAI harus mematuhi sejumlah peraturan ekstra.
“Kami akan mencoba untuk mematuhi peraturan yang ada,” kata Altman, dikutip dari TIME. “Jika kami bisa patuh pada peraturan yang ada, kami akan patuh. Tapi, jika kami tidak bisa mematuhi regulasi yang sudah ditentukan, kami akan berhenti beroperasi… Kami akan mencoba untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Tapi, kami juga punya keterbatasan teknis.”
Altman merasa, AI Act yang dicanangkan oleh Uni Eropa punya cakupan yang sangat luas. Melalui regulasi tersebut, Uni Eropa bahkan bisa mengubah definisi dari general-purpose AI system, menurut laporan Reuters.
Lebih lanjut, Altman mejelaskan, satu hal yang memberatkan OpenAI untuk mematuhi AI Act adalah keharusan bagi perusahaan AI untuk mengungkap material yang digunakan saat melatih AI mereka, termasuk material yang memiliki hak cipta.
Memang, masalah hak cipta di industri AI layaknya benang kusut yang harus diurai. Pasalnya, untuk melatih AI, perusahaan perlu untuk menggunakan material dalam jumlah yang sangat banyak, baik berupa tulisan, foto, video, dan lain sebagainya. Hanya saja, tidak jarang, material tersebut memiliki hak cipta dan perusahaan AI menggunakan material tersebut tanpa izin dari sang kreator atau pemegang hak cipta.
Kekhawatiran lain yang muncul akan maraknya penggunaan AI, seperti ChatGPT, adalah kebocoran data. Di pertengahan Mei 2023, Apple memutuskan untuk melarang semua karyawan mereka menggunakan ChatGPT atau AI tools dari pihak ketiga lainnya. Alasan Apple adalah mereka khawatir, AI tools yang digunakan karyawan menyimpan data perusahaan di server perusahaan lain. Hal ini memunculkan risiko data rahasia Apple bocor keluar.
“Draf dari AI Act buatan Uni Eropa sekarang ini terlalu mengekang,” kata Altman pada Reuters. “Tapi kami dengar, peraturan tersebut masih akan diubah.”
OpenAI akan Tetap Bertahan di Eropa
Menariknya, beberapa hari setelah Altman mengungkap bahwa OpenAI bisa saja berhenti beroperasi di Eropa, dia berubah pikiran. Melalui Twitter, Altman mengatakan bahwa OpenAI masih akan beroperasi di Eropa dan tidak berencana untuk pergi.
Memang, ketika Altman menyebutkan bahwa OpenAI bisa saja berhenti beroperasi di Eropa, dia mendapatkan kecaman dari para regulator Eropa. Salah satunya, Thierry Breton, Commissioner for Internal Market dari Uni Eropa.
Setelah mengumumkan bahwa OpenAI tidak akan pergi dari Eropa, Altman menghabiskan satu minggu untuk bertemu dengan para regulator dari Jerman, Polandia, Prancis, Spanyol, dan Inggris. Dalam pertemuan itu, dia berbicara tentang masa depan AI dan peran ChatGPT di dalamnya.
Sebelum ini, OpenAI juga pernah mendapatkan kritik. Ketika itu, kritik yang dilayangkan pada OpenAI terkait keengganan mereka untuk mengungkap dataset yang mereka gunakan saat melatih model AI terbaru mereka, GPT-4.
OpenAI membela diri dengan menyebutkan bahwa mereka tidak mau buka-bukaan tentang dataset yang mereka gunakan demi menjaga keamanan dari data itu sendiri. Alasan lainnya adalah mereka tidak ingin langkah yang mereka ambil ditiru oleh pesaing mereka. Namun, tampaknya, alasan OpenAI ini tetap tidak bisa diterima oleh para regulator Eropa.
“Kami membuat regulasi untuk mendorong perusahaan bersikap transparan. Transparansi perusahaan akan menjadi bukti bahwa mereka dan produk AI yang mereka buat memang bisa dipercaya,” kata Dragos Tudorache, anggota Parlemen Eropa asal Romania, dikutip dari IT News. “Saya tidak melihat alasan mengapa sebuah perusahaan tidak mau terbuka.”
Sementara itu, Kim van Sparrentak, anggota Parlemen Eropa dari Belanda, berharap bahwa koleganya tidak gentar dalam menghadapi tekanan dari perusahaan-perusahaan teknologi dan mempertahankan AI Act. Kepada Reuters, dia berkata, “Saya harap, kami akan tetap kukuh dalam memastikan perusahaan-perusahaan teknologi mematuhi peraturan terkait standar transparansi dan keamanan data, serta dampak pada lingkungan.”
Sumber header: Engadget