Polemik praktik penyusupan iklan tanpa izin (intrusive ads) yang dilakukan oleh dua operator telekomunikasi besar, XL Axiata dan Telkomsel terus bergulir. Hari ini (24/9), enam asosiasi terkait pelaku bisnis dan periklanan digital bergabung dalam satu meja menyerukan penolakan keras terhadap praktik intrusive ads yang rencananya jika tak kunjung mendapat respon positif dari pihak operator, bakal berujung pada pengambilan langkah hukum.
Enam asosiasi yang dimaksud ialah; idEA (Asosiasi E-Commerce Indonesia), IDA (Asosiasi Digital Indonesia), APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), PANDI (Pengelola Nama Domain Internet Indonesia), AAPAM (Association of Asia Pacific Advertising Media), dan P3I (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia). Berangkat mewakili kepentingan masing-masing, seluruhnya memiliki satu suara tegas yakni menilai tindakan intrusive ads telah melanggar etika bisnis dan pariwara yang berlaku di Indonesia.
“Ibaratnya, saat ini seperti ada tamu tak diundang yang dengan leluasa masuk ke dalam rumah saya dan memasang spanduk iklan seenaknya di depan pintu. Materi dalam intrusive ads yang ditampilkan pun acak, dan seringnya tidak sesuai dengan materi yang layak untuk dikonsumsi oleh audiens. Ini berbahaya, dan sayangnya sebelum kami melakukan gerakan penolakan ini banyak dari pengguna yang menganggap bahwa iklan-iklan tersebut merupakan bagian dari model bisnis kami,” ujar Daniel Tumiwa selaku Ketua Umum idEA di sela-sela konferensi pers yang diadakan di bilangan Kemang, Jakarta Selatan.
Ia menyampaikan, pihaknya merasa kecewa dengan praktik ini dan meminta banyak pihak untuk sama-sama berjuang menolak praktik yang konon malah justru mendatangkan banyak keuntungan bagi pihak operator. Ia pun juga menyayangkan, hingga detik ini belum ada langkah nyata dari kedua operator tersebut untuk menyelesaikan persoalan ini melalui jalan diskusi, padahal ada ancaman hukum yang bisa menjerat.
Dijelaskan, praktik ini bisa mengancam penyelenggaranya dengan dua undang-undang yang berlaku saat ini yaitu UU Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 Pasal 32 Ayat 1 tentang ITE dan juga UU No. 8 Tahun 1999 Pasal 20 tentang perlindungan konsumen.
Tindakan intrusive ads yang dilakukan oleh XL Axiata dan Telkomsel sendiri dipandang telah merugikan banyak pihak. Mulai dari pihak konsumen yang merasa terganggu kenyamanannya, hingga kepentingan pelaku bisnis yang juga dirugikan baik itu dari tidak adanya bentuk kerja sama apalagi kepentingan komersil. Mengenai kepentingan komersil, Edi Taslim ketua umum IDA mengatakan dengan tegas, gerakan yang didaulat ini merupakan gerakan penolakan berdasarkan etis yang berlaku, tidak semata-mata ingin ikut mencari keuntungan di dalamnya.
“Anda mungkin sempat melihat di beberapa situs lokal, ketika Anda memasukinya tiba-tiba muncul iklan yang besar dan kemudian pergi. Ini yang mengecewakan kami, banyak pengunjung yang mengeluhkan hal ini, padahal bukan kami yang memberikan. Istilahnya, kami yang mendapat resikonya, tapi tidak mendapatkan sama sekali manfaatnya. Tapi melalui penolakan ini bukan berarti kami ingin mendapat bagian dari iklan tersebut sama sekali. Penolakan ini adalah bagian untuk bagaimana kita membuat industri persaingan khususnya di industri digital advertising yang sehat,” tegas pria yang juga dikenal sebagai Direktur Grup Digital Kompas Gramedia.
Edi menambahkan, praktek penyusupan iklan yang sebenarnya telah berjalan sejak kurang lebih satu tahun lamanya ini harus segera dihentikan, dan akhirnya pada saat ini, pihaknya dan beberapa institusi terkait lain secara inisiatif telah membuka situs stoptelcointrusiveads.com sebagai wadah khusus yang mengakomodir segala bentuk penolakan terhadap praktik intrusive ads. Selain itu, petisi online melalui change.org juga dilakukan dan hingga saat ini telah didukung oleh lebih dari 15ribu tanda tangan.
“Sejauh ini sudah ada 84 situs yang masuk ke website tersebut dan menolak praktik intrusive ads. Kedepan jumlahnya mungkin akan terus bertambah mengingat pola iklan yang mereka pasang secara acak dan bisa menyerang situs mana saja,” tambahnya.
Tindakan penyusupan konten semacam ini sebelumnya telah cukup sering dilakukan oleh pihak operator yang menyerang kenyamanan pengguna. Jika masih ingat, kasus spam pesan singkat dan pemasangan Ringback Tone (RBT) tanpa izin yang telah menyedot saldo pulsa, juga sempat menjadi perhatian publik yang akhirnya berujung pada peneguran keras dan pelarangan izin penyelenggaraan konten yang dikeluarkan oleh pemerintah. Otomatis, hal ini kembali lagi berada di tangan kebijakan pemerintah yang tentu diharapkan bisa memberikan jalan keluar terbaik.
“Setelah ini, secara proaktif kami akan mengadakan pembicaraan dengan pihak Kemenkominfo dan KPPU untuk memperjuangkan hal ini, pihak BRTI juga mengkonfirmasi akan membantu mediasi upaya kami,” tutup Daniel Tumiwa.
[foto: dok. DailySocial]