COVID-19. Sesuatu yang sedang menghantui benak semua orang di dunia.
Pada akhir cerita War Of The Worlds, pasukan pesawat dan mesin perang Mars yang digdaya akhirnya lumpuh karena mahluk Mars tidak tahan pada mikroba Bumi, dan akhirnya serangan Mars dapat ditekukkan. Padahal ya kenyataannya, umat manusia pun tidak rentan terhadap serangan mikroorganisme, terutama yang belum pernah menyerang manusia sebelumnya seperti novel coronavirus.
Tentunya, dampak dari penanganan COVID-19 ini adalah terimbasnya penghasilan berbagai sektor industri, terutama yang memiliki akar di dunia “nyata”. Dari toko, bioskop, pabrik sampai hiburan. Demi mencegah penyebaran yang lebih luas, di berbagai penjuru dunia masyarakat telah dikarantina, lockdown, sampai versi Indonesia, Pembatasan Sosial Berskala Besar. Sebuah krisis kemanusiaan sedang berlangsung untuk banyak orang akibat COVID-19, baik yang tertular secara langsung maupun yang terkena dampak akibat tidak dapat bekerja seperti biasa lagi. Tidak ada yang luput dari imbasnya, dan tentunya kita bertanya, sampai kapan?
Banyak pihak yang sudah mengangkat, “apa yang hendak kamu lakukan setelah COVID-19?”. Tapi menurut saya, kondisi ini tidak akan cepat kembali ke keadaan seperti sebelumnya. Terlepas dari penanganan COVID-19, keadaan ini telah memaksa kita untuk memiliki kerangka berpikir baru terhadap hidup dan berkarya sebagai manusia. Bukan hanya beradaptasi terhadap kondisi, namun justru menyiapkan diri menapaki era yang sama sekali baru.
The New Normal
Karena KaryaKarsa banyak bersentuhan dan bersinggungan dengan pekarya, di sekitar kami terdengar jelas pergeseran dari, misalnya, musisi yang penghasilan utamanya berasal dari manggung, lantas tidak bisa manggung sama sekali. Penghasilan mereka pun hilang. Beruntung bila masih ada penghasilan dari sumber lain, namun yang bisa melakukannya hanya segelintir. Wajar apabila para pekarya ini bertanya, kapan kondisi ini berakhir?
Kami di KaryaKarsa, yang tentunya terimbas juga, ingin memajukan kerangka berpikir lain. Pergeseran yang terjadi karena “keterpaksaan” ini dapat kita olah jadi kesempatan untuk membangun Ekonomi Karya Baru. Sebuah ekonomi dengan ketahanan lebih tinggi, karena diperkuat oleh pola pikir berwiraswasta dan dibantu oleh infrastruktur digital. Kita sebagai manusia abad 21, toh, sudah hidup secara bersamaan pada dunia “nyata” dan padang digital.
Sebelumnya, Ekonomi Karya itu banyak terdoktrin wujud atau kehadiran fisik, yang merupakan respons terhadap persepsi bahwa barang digital itu “gratis” dan tidak bernilai. Pelan-pelan ini sudah bergeser dengan hadirnya layanan-layanan berbayar yang orang sudah rela mengeluarkan uang untuk berlangganan, meskipun masih untuk sebagian kecil masyarakat Indonesia. Mendadak, kini semua harus berperan aktif dalam ekonomi digital. Mengutip meme yang tengah beredar, yang memicu transformasi digital di semua perusahaan bukanlah CEO maupun jajaran komisarisnya, melainkan COVID-19.
Ekonomi Karya yang Baru
Dalam Ekonomi Karya Baru, kreator dapat berkarya dan berpenghasilan dari kegiatan dalam ruang fisik maupun maya, dengan efektivitas yang sama. Baik kreator maupun audience sudah terbiasa dengan menonton konser secara langsung, maupun secara live streaming dari rumah (atau nonton bareng dari tempat yang jauh dari tempat acara). Kreator maupun audience sudah terbiasa menjadikan ruang fisik dan maya sebagai bagian dari rencana berkarya, tanpa membeda-bedakan – karena toh yang utama untuk audience itu konten, bukan medium. Tentunya medium memiliki peran kuat dalam konten, tapi menjadi fungsi kontekstual, bukan utama.
Bagaimana bentuk Ekonomi Karya Baru ini?
Dalam Ekonomi Karya Baru, wujud dan medium karya merupakan konsekuensi dari strategi, bukan tujuan akhir – karena sebenarnya berdasar pada pendekatan bisnis yang terfokus pada Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property, IP). Sebagai contoh, sebuah lagu tidak harus hanya berwujud sebuah pementasan langsung, tapi juga dapat diwujudkan sebagai merchandise interaktif, konser live streaming, bahkan proses di balik layar pembuatannya. Karyanya sama, tapi perwujudan dan penyampaiannya disesuaikan dengan medium dan target audience.
Model pembiayaan kegiatan berkarya pun memiliki berbagai pilihan. Selain model-model yang sudah lebih dulu berlangsung, seperti melalui iklan, sponsor endorsement, kerja sama dengan pemilik modal dan keahlian (misalnya, music label) dan lisensi karya, dapat juga mendapatkan pendanaan kegiatan langsung dari audience (seperti via KaryaKarsa). Dan dengan dibantu akses digital, daya jangkau pendanaan langsung ini tidak terbatas pada hadirnya audience di sebuah acara, namun bisa dikonsumsi di mana saja asal terdapat koneksi internet.
Dalam Ekonomi Karya Baru, ada sebuah harapan. Tapi tentunya ada pekerjaan rumah juga untuk semua pelaku industri. Sebuah pergeseran kerangka berpikir dari yang berfokus pada wujud karya, ke yang berfokus pada HKI. Tentunya tidak mudah, karena seringkali karya tidak dapat dipisahkan dari wujudnya. Dan tidak semua kegiatan karya dapat mudah diterjemahkan ke dalam wujud lain, apalagi digital. Belum lagi kefasihan pelaku-pelaku industri kreatif dalam dunia digital masih sangat bervariasi.
Yang jelas dalam Ekonomi Karya Baru ini, para pemainnya tak lagi terbatas pada pekarya-pekarya yang lazimnya dianggap berkarya, seperti musisi, seniman, penulis, pembuat komik dan sebagainya. Di KaryaKarsa saja sudah ada pelatih yoga, pelatih olahraga, edukasi soal marketing, pembahasan tentang personal branding, bahkan sampai pembaca kartu tarot.
Tapi ya balik lagi, ini pekerjaan rumah masing-masing. Yang harus dipahami adalah bahwa dengan pola pikir Ekonomi Karya Baru, ekonomi kreatif Indonesia dapat adaptif untuk terus tumbuh, bertahan, dan berkembang.
Semangat yuk, karena kita pasti bisa. Mari berbenah dan ikut membentuk The New Normal ini demi membangun Ekonomi Karya Baru. Agar kita kembali menjadi umat manusia yang menang berkat virus, seperti dalam film War Of The Worlds.
–
Disclosure: artikel tamu ini dibuat oleh Ario Tamat.
Ario adalah CEO Karyakarsa, platform apreasi kreator. Ia bisa dikontak via Twitter @barijoe