East Ventures memimpin pendanaan tahap awal dengan nilai dirahasiakan untuk startup D2C (direct-to-consumer) asal Singapura, mohjo. iSeed Southeast Asia, K3 Ventures, dan sejumlah angel investor ternama turut berpartisipasi dalam putaran tersebut. Mohjo akan memanfaatkan dana segar ini untuk membangun kapasitas perusahaan, meluncurkan lebih banyak produk, memperkuat tim, dan meningkatkan penetrasi pasar.
mohjo didirikan pada Januari 2021 oleh Juhi Dang. Startup ini fokus menyajikan produk makanan dan minuman nabati yang 100% bersih. Perusahaan meluncurkan lini produk pertamanya, yaitu susu almond dan minuman berbahan dasar susu almond di Singapura. Produk ini dibuat dengan bahan-bahan berkualitas tinggi dan bebas dari bahan penstabil, pengental, pemanis buatan, dan bahan kimia lainnya.
Dang menjelaskan, sebagian besar produk alternatif susu yang tersedia secara komersial itu rendah nutrisi dan mengandung zat penstabil. Produk tersebut mengandung 95%-98% air, dicampur dengan zat aditif, dan rasanya kurang enak atau tidak berasa sama sekali.
“mohjo dibuat berdasarkan pengalaman saya sebagai konsumen produk alternatif susu. Sejak kecil, saya minum susu segar, tapi ketika saya mengetahui bahwa saya tidak toleran laktosa, saya tidak dapat menemukan susu nabati yang rasanya enak. Ketika saya pindah ke Singapura, saya pikir saya akan menemukan alternatif susu yang enak dan bersih di sini, tapi ternyata tidak. Yang bisa saya temukan hanyalah cairan yang tampak seperti susu tanpa nutrisi atau rasa,” ucapnya, Senin (16/8).
Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, seiring dengan pertumbuhan populasi intoleransi laktosa di seluruh dunia, pihaknya melihat peluang besar dari alternatif dari nabati (plant-based alternatives). Pasar ini mendapat momentum dan mengalami peningkatan permintaan karena orang mulai mengevaluasi kembali pola makan mereka.
“Sebagai perusahaan D2C, mohjo didirikan untuk melayani konsumen yang mencari makanan dan minuman yang lebih sehat namun lezat. Kami percaya bahwa mohjo dapat tumbuh dengan membawa inovasi ke pasar,” terangnya.
mohjo adalah digital native brand yang memiliki tim dengan pengalaman yang luas dalam inovasi, branding dan strategy. Dang memiliki latar belakang lebih dari 13 tahun di inovasi produk konsumen langsung. Selain itu, para profesional di bidang branding dan pemasaran digital menduduki kepemimpinan senior perusahaan.
mohjo sedang memperluas dan memperkuat operasi, penjualan dan pemasaran di Singapura. “Kami mencari orang-orang yang bersemangat dan memiliki ambisi serta percaya bahwa kita dapat mengubah planet ini dengan pilihan yang kita buat saat makan. mohjo sedang membangun tempat kerja yang inklusif di mana bisnis dilakukan dengan cara yang benar,” tambahnya.
Alternatif susu memiliki market size secara global senilai sekitar $23 miliar, dan diperkirakan CAGR akan tumbuh sebesar sekitar 12,5% di tahun 2021 hingga 2028. Wilayah Asia Pasifik mendominasi pasar ini dengan market share sebesar 44%, menurut Grand View Research.
Pasar produk alternatif susu sedang booming karena meningkatnya jumlah orang dengan intoleransi laktosa dan flexitarian, kesadaran masyarakat untuk fokus pada pilihan yang lebih sehat, serta perhatian terhadap etika dan lingkungan dalam mengonsumsi produk susu.
Alasan investor tertarik startup D2C
Mohjo menambah jajaran startup D2C yang mengantongi pendanaan dari investor lokal. Dari pantauan DailySocial, modal ventura lokal lain juga mulai mengalokasikan dana untuk startup nondigital. Beberapa di antaranya Alpha JWC Ventures, Intudo Ventures, Teja Ventures, Salt Ventures, dan lain-lain. Startup kecantikan merupakan salah satu vertikal D2C yang kian hari diminati investor.
Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li mengatakan, ada sejumlah faktor mengapa pelaku startup kecantikan menarik bagi VC. Pertama, brand lokal masa kini menggunakan model D2C untuk membidik segmen digital native.
Kedua, konsumen produk kecantikan cenderung memiliki user stickiness dan repeat purchase yang tinggi. Artinya, bisnis ini dapat mengantongi pertumbuhan bisnis dengan cepat. Tentu bagi VC, masuk ke vertikal ini dapat menjadi sebuah diferensiasi bisnis. Akan tetapi, investasi tetap memerlukan scalibility.
Sementara Senior Investment Analyst Kolibra Capital William Auwines menyoroti perspektif lain. Banyak brand kecantikan lokal mengembangkan strategi marketing yang berbeda untuk membangun brand equity-nya. Selain itu, yang cukup menonjol adalah produk kecantikan terbilang memiliki biaya produksi rendah sehingga keputusan untuk membeli produk menjadi lebih mudah dan nature bisnisnya akan selalu membutuhkan constant repurchasing.
Ia menilai kehadiran e-commerce seperti Tokopedia, Shopee, dan Lazada menjadi game changer bagi industri ini karena mereka mampu mengantongi consumer purchasing journey. Alhasil, tak hanya pelaku industri kecantikan saja yang meningkat, tetapi juga bisnis pendukungnya, seperti sales, marketing, dan logistik untuk segmen SME. Dari paparan ini, industri kecantikan menjadi vertikal yang menarik bagi VC karena berhasil menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan dalam beberapa tahun terakhir.
“Sebagai VC, biasanya kami mengabaikan perusahaan tradisional, seperti fashion dan retail. Bagi kami, ada banyak perusahaan teknologi baru yang tumbuh eksponensial dengan menjaga biaya tetap rendah, menjangkau pasar lewat pemasaran online, dan meningkatkan layanan logistiknya untuk memperoleh keuntungan. Faktor ini membuat valuasinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan tradisional,” paparnya.