East Ventures (EV) kembali merilis edisi kedua laporan Digital Competitiveness Index (DCI) yang memetakan daya saing digital pada 34 provinsi dan 25 kota di Indonesia. Laporan ini banyak menyoroti bagaimana pandemi Covid-19 mengakselerasi digitalisasi di Indonesia secara signifikan.
Salah satunya adalah kenaikan penetrasi internet yang luar biasa. Dalam laporannya, EV-DCI menyebutkan bahwa pengguna internet Indonesia bertambah 25 juta hanya dalam kurun waktu delapan bulan (Mei-Desember 2020). Sementara, Indonesia membutuhkan 10 tahun sejak 2009 hingga 2019 untuk mendapatkan 30 juta pengguna internet menjadi 167 juta.
Menurut Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca, pertumbuhan ekonomi digital Indonesia akan sulit dikebut apabila infrastrukturnya tidak merata. Jika infrastruktur dan layanan digital tersebar di setiap provinsi, Indonesia dapat ‘menyetir’ ekonomi digital dengan baik.
“Ibarat dalam ketapel, ekonomi digital kita adalah bola. Gara-gara Covid-19, bola ketapel kita tertahan ke belakang. Di sini terjadi akumulasi power di mana pelaku startup disiplin dan merespons situasi dengan baik. Dengan infrastruktur yang dibangun bertahun-tahun dan populasi internet bertumbuh, potensi ekonomi digital kita terkumpul dalam peregangan ketapel. Artinya, bola ini akan melesat begitu situasi Covid-19 mereda,” ujarnya dalam paparan virtual EV-DCI.
Untuk memetakan daya saing digital tersebut, EV-DCI menggunakan pengukuran yang mengacu pada sembilan metode pada tiga pilar, antara lain input (sumber daya manusia, penggunaan TIK, pengeluaran TIK), output (perekonomian, kewirausahaan & produktivitas, ketenagakerjaan), dan penunjang (infrastruktur, keuangan, regulasi & kapasitas pemerintah daerah).
Skor daya saing digital Indonesia
Secara keseluruhan, indeks daya saing digital Indonesia di 2021 berada di angka tengah 32,05 atau meningkat dari skor sebelumnya 27,92 di 2020. Ada beberapa temuan yang disoroti dari capaian indeks ini.
Pertama, skor pada pilar SDM semakin melandai dari 77,3 poin di 2020 menjadi 58,4 poin di 2021. Artinya, daya saing ke-34 provinsi dalam menyiapkan SDM semakin merata. Pada pilar infrastruktur digital, laporan ini mencatat kenaikan signifikan hingga 7,5 poin dari semula 46,8 poin di 2020 menjadi 54,3 di 2021.
Secara keseluruhan, DKI Jakarta masih mengungguli provinsi dengan daya saing digital terbesar. Namun, kali ini Bali dan Riau sama-sama naik tiga peringkat dengan masing-masing ke posisi empat dan tujuh di tahun ini. Kenaikan ini dipicu oleh peningkatan infrastruktur internet yang semakin menjangkau pedesaan sehingga mendorong pertumbuhan usaha.
“Alasan kenaikan skor di Riau adalah karena konsentrasi di SDM semakin membaik. Kerja sama Indonesia dan Singapura untuk membangun Nongsa Digital Park di Batam otomatis memberikan spillover effect sehingga mendorong pertumbuhan talenta digital. Demikian juga di Bali yang kini menjadi destinasi digital nomad yang bekerja remote, baik di Thailand, Malaysia, atau negara lain. Makanya ada pergerakan ekonomi yang signifikan di sana,” jelasnya.
Kendati demikian, ketimpangan digital masih sangat terasa di luar Jawa. EV-DCI melaporkan bahwa hampir semua wilayah Indonesia, kecuali Jawa, terwakili dalam sepuluh provinsi dengan daya saing terendah. Ada tujuh provinsi non-Jawa di posisi ini antara lain Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, Aceh, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Kalimantan Barat, Maluku Utara, Sulawesi Barat, dan Papua
Pentingnya akses dan SDM
Dari sejumlah laporan yang disoroti di atas, Willson menekankan bahwa akses dan SDM menjadi salah satu elemen penting dalam meningkatkan daya saing digital. Misalnya, daerah membuka akses investasi dari luar.
Di luar itu, ada juga variabel lain yang dapat mendorong daya saing digital per daerah, seperti pengembangan edukasi dan kapabilitas. Willson menilai bahwa penyerapan digital terhadap UMKM bisa lebih cepat apabila setiap wilayah di Indonesia memiliki SDM yang baik. Artinya, ada akselerasi yang membuat output menjadi lebih besar.
“Pemerataan digital itu tidak berkaitan dengan keharusan memiliki startup di setiap wilayah. Startup itu pasti terkonsentrasi di kota besar seperti Jakarta, tetapi mereka bisa membuka cabang tanpa harus menunggu di daerah itu ada startup baru. Apa yang dibangun di Jakarta dapat dipakai tempat lain, makanya jalannya harus dibangun supaya bisa kencang dan dinikmati,” jelas Willson.
Dampak pandemi
Transportasi dan travel online menjadi dua sektor yang terdampak signifikan akibat Covid-19. Dampak ini terlihat dari jumlah kunjungan per Januari 2020 yang mencapai 1,29 juta kunjungan, anjlok 89% menjadi 141.269 per Januari 2021.
Kendati demikian, perubahan pola masyarakat Indonesia ke perjalanan domestik diprediksi mendongkrak bisnis OTA hingga lima kali lipat di 2025. Terutama dengan distribusi vaksin lebih luas, confidence level terhadap bisnis OTA akan perlahan-lahan pulih.
Di sisi lain, dampak positif juga dialami pada sektor lain, seperti infrastruktur digital, e-commerce, dan edtech. Pada kasus Tokopedia, unicorn ini mengantongi sebanyak 2,5 juta merchant di sepanjang 2020. Padahal, Tokopedia membutuhkan waktu 10 tahun untuk mendapatkan 7 juta merchant.
“Semua bisnis dipaksa online karena tidak bisa jualan offline saat pandemi. Makanya pengeluaran pulsa juga turut naik. Di Indonesia, ada 30 juta pengguna internet baru yang pertama kali bertransaksi di e-commerce selama masa pandemi. Tetapi, apakah setelah go online, ekonomi digital bisa langsung melesat? Di sini mengapa O2O penting. Behavior akan tetap stay, begitu vaksin didistribusikan, offline dan online jalan, akselerasi akan lebih cepat,” katanya.
Tren digital selanjutnya
Willson juga mengungkap beberapa tren digital selanjutnya yang bakal semakin terakselerasi karena Covid-19. Pertama, sektor yang berkaitan dengan media (game, media sosial, video, etc) akan semakin meningkat dan mendorong terciptanya kategori baru, yakni creator economy.
“Semua orang bisa menciptakan konten sendiri ke depannya sejalan dengan tren perilaku konsumen yang beralih dari [konsumsi] TV. Eyeball semua tadinya di TV, kini konsumen bisa [menciptakan] konten mengikuti tren pasar,” tutur Willson.
Selanjutnya adalah tren investasi di dompet digital. Menurutnya, bisnis dompet digital sudah mendominasi pasar Indonesia. Jika bicara investasi ke dompet digital, tren ini dinilai tak lagi menarik. “Justru yang menarik adalah bagaimana isi dompetnya. Makanya, semua [pelaku startup] masuk ke bank digital,” ucapnya.
Terakhir, konsep remote working dan Work From Home (WFH) yang sudah mulai terbiasa diadaptasi perusahaan selama masa pandemi, akan semakin meningkatkan adopsi Software-as-a-Service (SaaS), misalnya cloud based computing.