“Habis gelap terbitlah terang”. Istilah ini mungkin tepat menggambarkan kondisi yang terjadi di industri teknologi dunia pada awal tahun 2000-an silam. Saat itu terjadi fenomena yang dikenal dengan istilah ‘dotcom bubble’, di mana fenomena ini dianggap sebagai sejarah kelam dalam bisnis IT. Begitu banyak perusahaan internet yang sempat berjaya, lalu tiba-tiba kandas begitu saja. Meski dampak terbesarnya dirasakan oleh perusahaan-perusahaan di Amerika, ekosistem bisnis di Indonesia juga tak luput dari pengaruh fenomena ini.
Pada masa dotcom bubble berlangsung di antara tahun 1995-2001, beberapa perusahaan berbasis internet asal Indonesia juga lahir termasuk Astaga.com, KopiTime.com, KafeGaul.com, serta Lipposhop.com dan walaupun sempat dikenal luas oleh masyarakat, nama-nama tersebut akhirnya berguguran (saat ini hanya Astaga.com yang masih dapat dikunjungi).
Namun, kegagalan yang dialami oleh beberapa bisnis di masa dotcom bubble yang lalu justru menjadi penanda dalam perjalanan bisnis internet, yang kemudian membuka kesempatan bagi startup Indonesia untuk lebih bijak dalam melangkah ke depan. Berikut 5 (lima) pelajaran penting dari meledaknya dotcom bubble, yang telah menjadi pendorong startup Indonesia menjadi berjaya seperti sekarang.
1. Pivot bisa jadi pilihan, namun harus sesuai dengan DNA perusahaan
Saat ledakan dotcom bubble terjadi, salah satu masalah besar bagi startup adalah perusahaan tidak fokus dengan model bisnis yang digelutinya. Seperti Kopitime.com misalnya. Pertama berdiri sebagai portal media, saat itu Kopitime.com juga memiliki bisnis retail di bawah bendera PT Kopitime Tbk dengan produk Kopimall yang ditengarai tidak menguntungkan – meski perusahaan telah melaksanakan IPO pada tahun 2001 dan memiliki dana sebesar 15 miliar Rupiah dari publik. Alih-alih pivot demi menyelamatkan bisnis, nasib Kopitime.com di tahun 2002 justru semakin terombang-ambing dengan keputusannya merumahkan sebagian besar karyawan akibat performa bisnis yang anjlok. Sampai pada akhirnya di medio 2004, perusahaan dengan kode emiten KOPI itu menerima sanksi berupa suspensi saham dari pihak bursa efek yang berakibat terkendala dalam penerimaan investor baru. Sempat berwacana melebarkan bisnis pada usaha infrastruktur, BTS (base tranceiver station) hingga pembangunan jalan tol, namun hingga kini tidak jelas kabarnya.
Dari pengalaman itu bisa dilihat, bahwa meski memiliki dukungan modal dan investasi yang besar, konsistensi dalam menjaga DNA perusahaan berperan sangat penting untuk menjaga keberlangsungan bisnis meski berada di tengah iklim ekonomi yang tidak pasti. Atau dalam arti kata lain, membangun model bisnis yang tepat justru sangat penting bagi kemajuan dan keberlangsungan sebuah perusahaan. Berbekal pelajaran dari pecahnya dotcom bubble di awal dekade 2000-an, banyak founders yang akhirnya mulai mendirikan startup dengan model bisnis yang jelas, berkelanjutan, dan memiliki proyeksi yang menguntungkan.
2. Produk yang sukses adalah produk yang diinginkan pasar
Dalam membangun sebuah bisnis, hukum dasar ekonomi berupa hukum demand dan supply (hukum permintaan dan penawaran) tetap patut menjadi pegangan. Ketika membangun perusahaan, sangat penting untuk memahami kebutuhan dan kondisi pasar dan menyesuaikan model bisnis. Apalagi untuk bisnis berbasis teknologi, para founder perlu mengetahui secara jelas tingkat literasi dan penggunaan teknologi yang digunakan pada masyarakat yang menjadi target pasarnya. Ada kalanya, sebuah model bisnis berbasis teknologi telah sukses di luar negeri, namun baru bisa diterima oleh pasar lokal pada 5 atau 10 tahun ke depan.
Seperti pengalaman dari Lipposhop.com, e-commerce B2C yang berdiri pada tahun 2000 untuk kawasan pasar Jakarta dan area sekitarnya. Kala itu, persiapan Lipposhop.com sendiri sebetulnya cukup matang. Dengan didukung oleh salah satu korporasi raksasa Indonesia, geliat Lipposhop.com cukup masif. Dimulai dengan membangun warehouse, armada ekspedisi mandiri, hingga modal beriklan di halaman depan surat kabar ternama hingga dua halaman penuh dilakoninya demi mencoba mengedukasi pasar.
Namun sayang, saat itu adopsi penggunaan internet untuk perorangan masih sangat rendah, bahkan angka kepemilikan perangkat komputer di Indonesia paling rendah se-Asia. Tak heran, bisnis Lipposhop.com sangatlah lesu, dan akhirnya hanya dapat bertahan selama sekitar satu tahun sebelum akhirnya ditutup pada tahun 2001.
Berbekal pelajaran di masa lalu, terutama dari fenomena dotcom bubble, banyak founders juga mulai membangun produk sesuai dengan kebutuhan pasar. Salah satunya lewat metode lean startup untuk memastikan bahwa solusi yang ditawarkan memiliki demand dan pasar yang jelas. Sehingga modal tidak habis di awal hanya untuk mengiklankan produk yang belum tentu diinginkan pasar. Hal ini menunjukkan bahwa langkah awal membangun perusahaan perlu didukung oleh riset dan pengetahuan akan kondisi pasar, sehingga produk dan layanan yang ditawarkan dapat diterima dengan baik, sesuai dengan kebutuhan pasar saat itu.
3. Tidak hanya dukung lewat sokongan modal, investor juga berperan penting dalam berbagi ilmu untuk pelaku startup
Di awal tahun 2000-an, fokus investor umumnya hanya sebatas mengucurkan pendanaan ke startup dan menunggu investasi tersebut kembali. Namun, sejak ledakan dotcom bubble, para investor mulai menyadari pentingnya bimbingan dan arahan untuk para founder startup agar dapat membangun perusahaan dan bisnis yang menguntungkan dan berkelanjutan. Maka itu, tak heran jika di era ini, banyak pemodal baik itu yang datang dari Venture Capital, hingga angel investor turut berperan aktif dalam mengedukasi startup baru agar semakin matang dan berkembang. Caranya macam-macam, bisa dengan dengan memfasilitasi mereka lewat berbagai program, mulai dari inkubasi, akselerasi, hingga mentorship dari pakar turut pula dihadirkan.
Seiring semakin matangnya ekosistem wirausaha berbasis digital, korporasi besar – bahkan dari negara – sekalipun turut mendukung pertumbuhan ekosistem startup lewat sokongan modal yang banyak berasal dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Salah satu contoh caranya adalah dengan mendirikan Corporate Venture Capital (CVC). Dengan iklim investasi yang semakin baik, ekosistem startup di Indonesia pun semakin berkembang ke arah yang lebih matang.
4. Kolaborasi dengan startup lain bantu percepat laju pertumbuhan bisnis
Membangun startup yang sukses tidak dapat dilakukan dengan hanya berfokus ke organisasi sendiri. Dibutuhkan berbagai elemen lain seperti pengguna, mitra, dan juga organisasi yang solid dalam menawarkan produk dan layanan yang dibutuhkan oleh pengguna. Salah satu cara cepat yang bisa dilakukan adalah dengan berkolaborasi.
Kolaborasi adalah kunci sukses bagi startup. Dengan layanan yang beragam, startup di Indonesia mampu mendukung kemajuan bisnis lain seperti UMKM dan startup lainnya. Salah satunya adalah Midtrans yang turut mendorong perkembangan industri e-commerce di Indonesia, lewat layanan payment gateway yang digunakan oleh Tokopedia, Bukalapak, Blibli, serta UMKM, institusi finansial, hingga perusahaan multinasional. Dengan mengerahkan upaya terbaik untuk membantu kesuksesan mitra usaha, startup seperti Midtrans juga turut mendukung pertumbuhan bisnisnya.
Dengan ekosistem kuat dan beragam, startup juga bisa memberikan dampak bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Seperti Gojek yang membuka jutaan lapangan kerja baru bagi para mitra pengemudinya, serta mampu menyumbang Rp104,6 triliun untuk ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2019 berdasarkan riset FEB UI. Gojek juga mendukung kemajuan startup anak bangsa lainnya lewat berbagai kolaborasi yang dilakukan, serta program akselerasi Gojek Xcelerate dan unit permodalan Go-Ventures yang dimiliki.
5. Dalam berinovasi untuk menguasai pasar, penting untuk membangun basis pelanggan dalam jangka panjang
Salah satu pelajaran menarik dari fenomena meletusnya dotcom bubble adalah, saat itu perusahaan dan investor hanya fokus pada target jangka pendek. Kebanyakan investor menganggap bahwa internet akan merajai kehidupan, segala hal dapat dijual secara online, dan dengan kekuatan internet mereka akan menguasai pasar dalam waktu singkat. Namun, nilai-nilai fundamental dalam membangun sebuah perusahaan, yaitu usaha dan ketekunan untuk menggaet target pasar serta membangun basis pelanggan, seringkali luput dari perhatian.
Contoh yang bisa dilihat, nama-nama startup besar yang kita kenal dengan sebutan unicorn, decacorn, dan sebagainya tidak serta merta meraih kesuksesan dalam semalam. Perjalanan panjang bertahun-tahun berhasil dilalui startup seperti Tokopedia, Traveloka, hingga Gojek.
Butuh waktu bertahun-tahun bagi startup-startup tersebut untuk meraih kepercayaan masyarakat, yang akhirnya bisa membangun basis pelanggan yang besar seperti saat ini. Beragam upaya pun dilakukan, salah satunya lewat edukasi pasar yang konsisten, dan inovasi berkelanjutan yang secara tekun dilakukan untuk menghadirkan layanan yang semakin berkualitas. Dari sini bisa disimpulkan pula bahwa keahlian dalam meramu teknologi juga ada baiknya diimbangi dengan memegang nilai-nilai dasar bisnis demi kelangsungan usaha.
Fenomena ledakan dotcom bubble di awal tahun 2000-an memang mengejutkan bagi dunia startup, namun setidaknya dari lima pembelajaran dotcom bubble tadi bisa menjadi bekal bagi startup digital di era saat ini untuk memiliki daya tahan tinggi. Terlebih di tengah kondisi pandemi yang terjadi sejak 2020 lalu dengan dampak pukulan ekonomi yang luar biasa, para startup diharapkan tidak hanya mampu bertahan, namun juga bertumbuh secara signifikan. Seperti pepatah “habis gelap terbitlah terang”, kemampuan startup untuk beradaptasi dalam berbagai situasi, termasuk menghadapi pandemi seperti saat ini juga semakin menunjukkan kualitas fondasi startup Indonesia yang semakin baik dan siap untuk berjaya di masa depan. Semoga!