Dari saat membuka mata di pagi hari hingga merebahkan tubuh di malam nanti, benda kecil bernama smartphone memegang peranan yang sangat besar dalam keseharian kita. Sulit dibayangkan apa jadinya jika kita lupa membawanya. Namun melihat dari perspektif berbeda, muncul satu pertanyaan, apakah manusia modern sudah begitu kecanduan smartphone?
Tak seperti yang kita asumsikan sebelumnya, ternyata rasa ketagihan kita pada mobile device lebih dari sekedar gaya hidup. Berdasarkan penjelasan CEO aplikasi app building Delvv, Raefer Gabriel kepada Digital Trends, dependesi tersebut sudah masuk ke level ‘kimiawi’. Hal itu didorong dari keinginan kita buat mendapatkan informasi baru, bahkan sampai pada tingkat merangsang pusat dopamine di otak.
Dopamine adalah neurotransmitter, salah satu zat kimia yang berfungsi mengirimkan sinyal antara sel saraf di otak. Kata para ahli, ia juga menjadi alasan mengapa kita jatuh cinta, merasakan kepuasan atau bahagia. Lalu apa hubungannya dengan perangkat bergerak? Gabriel bilang, saat manusia haus akan informasi, kita lebih sering mencari jawabannya di smartphone dan di dalam aplikasi mobile.
Ada sebuah perubahan tren di dua sampai tiga tahun ke belakang, di mana jejaring sosial mulai mengadopsi sistem feed pintar yang bisa beradaptasi dengan minat khalayak, menyebabkan konsumen rentan terhadap penggunaan berlebihan. Ia memicu perputaran dopamine, memperkuat pola perilaku ketergantungan kita. Dan mungkin aspek paling mengkhawatirkan ialah, kecanduan ini bersifat biologis.
Gabriel meneruskan pemaparannya, bahwa keranjingan pada smartphone tak sama seperti ketagihan alkohol atau rokok, yang didasari efek zat kimia eksternal. Kita mengajarkan diri sendiri buat menghasilkan dopamine lewat mencari serta mandapatkan informasi. CEO Delvv itu menyampaikan, masalah ini menyerupai kecanduan judi atau seks. Dan karena ketergantungan merupakan pola biologis, ia sangat sulit dihilangkan.
Tentu saja level kecanduan tiap manusia bervariasi, dan tak semua app sosial media memberikan imbas serupa. Generasi Millennial (kelahiran awal 1980-an sampai 2000-an) adalah golongan konsumen yang paling ‘terikat’ dengan smartphone namun mengaku sebagai yang paling sedikit terkena dampak dari gempuran informasi dibanding generasi terdahulu.
Fakta penting selanjutnya, ketergantungan terhadap smartphone tak selamanya membuat konsumen bahagia. Kemudahan akses informasi memang menjadikan kita lebih produktif, akan tetapi kita harus mempertimbangkan waktu yang terbuang buat menjelajahi Facebook atau menggunakan handset untuk mencari kegembiraan.
Raefer Gabriel menekankan, “Ada perbedaan jelas antara kesenangan sesaat dengan kebahagiaan sesungguhnya dalam hidup.”
Gambar header: Shutterstock.