22 December 2022

by Dimas Galih W.

Developer Indonesia Cerita Keuntungan Setelah Ikut Google Game Indie Accelerator

Ternyata banyak keuntungan yang diraih oleh developer yang ikut dalam Google Game Indie Accelerator 2022 dari sisi bisnisnya

Pada acara Google Indie Game Accelerator 2022, para jurnalis yang hanya datang dari Indonesia memiliki kesempatan untuk mewawancarai 3 developer yang lulus. Dengan kesempatan ini, tentunya kami bisa menggali apa yang menjadi keuntungan dalam mengikuti Google IGA 2022 tersebut. Dan juga kita bisa mengetahui apa yang belum diketahui oleh para developer untuk mengembangkan produknya.

Developer pertama yang kami wawancara adalah Lucky Putra Dharmawan dari studio Eternal Dreams. Studio ini memiliki game yang bernama The Sun Shines Over Us,game visual novel naratif berlatar sekolah Indonesia yang menyentuh hati dengan beragam pilihan dan rute ending yang berbeda. Tujuan dari game ini adalah untuk menyebarkan kesadaran atas pentingnya kesehatan mental dan memberikan dukungan kepada orang-orang yang sedang berjuang menghadapi nya. Lucky mengatakan bahwa game tersebut juga sudah dikonsultasikan dengan seorang psikolog, sehingga ceritanya tidak terlalu berlebihan.

Lucky mengatakan bahwa saat dia mendaftarkan game-nya ke IGA, sama sekali tidak memiliki ekspektasi apa-apa. Hal tersebut dikarenakan cukup sulitnya developer yang bisa dipilih oleh Google untuk ikut dalam program tersebut. Persyaratan yang dibutuhkan pada saat itu memang harus ada game yang sudah ada, walaupun dalam tahap alpha hingga sudah jadi.

Langkah pertama yang dilakukan adalah mengisi form pendaftaran dan nantinya bakal ada interview dengan tim Google. Tim Google selama sekitar 1 jam nantinya akan menanyakan dari segala macam aspek, seperti studionya saat ini seperti apa, performa game yang dimiliki, serta harapan jika masuk ke program IGA. Lucky mendaftarkan game-nya pada bulan Juli 2022 dan menerima notifikasi penerimaan pada pertengahan bulan September. Setelah itu, Google akan menanyakan apa yang bakal dilakukan selama mentoring 10 minggu.

Lucky mengatakan bahwa dari sisi business mentor-nya membuat dia berubah. Hal tersebut dikarenakan dia belajar bagaimana menbaca data, membuat pengguna untuk kembali bermain, serta poin-poin detail saat mendapatkan publishing deal. Kesempatan untuk mendapatkan koneksi dengan berbagai developer juga didapatkannya. Bahkan saat ini game The Sun Shine Over Us akan dijadikan sebuah film.

Wawancara dilanjutkan dengan Shafiq Husein selaku CEO dari Gambir Studio. Shafiq mengatakan bahwa studionya akan membawa konten lokal ke pasar global, sehingga game yang mereka produksi sangat kental dengan ke-Indonesiaannya. Hal ini juga tertuang dalam game yang mereka daftarkan ke IGA, yaitu Selera Nusantara. Selain itu, Gambir Studio juga membuat game yang mereka akan jual di Steam dengan judul Knight vs Giant untuk PC dan konsol.

Shafiq mengatakan bahwa membuat game untuk mobile tidak kalah susahnya dengan PC dan konsol. Untuk membuat sebuah game free to play memang cukup sulit karena untuk membuat game premium, uang hasil pembelian sudah didapatkan di depan. Pada saat membuat game free to play, mereka harus memikirkan bagaimana caranya membuat orang harus membayar. Hal tersebut tentu harus bermain psikologi dan strategi untuk membuat penawaran.

Menjalankan program 10 bulan IGA menurut Shafiq merupakan saat yang paling intens. Hal tersebut mengubah mereka dari yang tidak bisa membaca data dan mengolah data, yang tadinya hanya berpikiran untuk membuat sebuah game yang bagus saja dan lihat nantinya seperti apa jadinya. Dan yang pasti IGA membuat Shafiq sadar untuk me-maintain komunitasnya. Sayangnya, game mereka dengan judul TTS Lontong tidak terurus sehingga 15 juta pengguna sepertinya mubazir.

Hal tersebut tidak terulang pada game Selera Nusantara yang sudah memiliki komunitas. Hal tersebut dikarenakan Gambir Studio mendapatkan mentor yang juga berasal dari Disney Game. Dengan begitu, game Selera Nusantara sendiri juga akan dibuat sebagai sebuah Intellectual Property (IP). Gambir juga sudah berbicara dengan beberapa rumah produksi untuk membuat game Selera Nusantara untuk dijadikan serial TV.

Shafiq mengakui bahwa setelah IGA langsung terpikir untuk rencana jangka panjang, bukan one hit wonder. Saat ini, data mereka sudah diolah per hari sehingga keputusan seperti untuk memasang Facebook Ads tidak lagi gegabah. Dan saat ini, developer indie untuk bertemu dengan publisher besar juga menjadi lebih mudah.

Developer Indonesia terakhir yang kami wawancarai adalah Satrio Aji Nugroho selaku CEO dari Rigged Box Softworks. Game yang mereka daftarkan ke IGA memiliki judul Wangan Dorifto. Aji sendiri mengatakan bahwa sebelum IGA, fokus bisnis mereka adalah B2B, di mana membuatkan game untuk perusahaan lain seperti Telkom. Namun, mereka sendiri kesulitan untuk mendapatkan investasi.

Wangan Dorifto sendiri terinspirasi dari game Wangan Midnight. Game dengan genre yang sama dengan Wangan sendiri juga cukup hype di tahun 90-an. Hal tersebut pernah dimainkan oleh Aji sehingga ingin membuat game balapan dengan drifting. Hal ini cukup unik karena game Wangan sendiri memiliki jenis drag race namun dicampur dengan teknik drifting.

Game Wangan sendiri memang dibuat seorganik mungkin sehingga jumlah download-nya kurang 'nendang', karena tujuan awalnya adalah mencari publisher. Tujuan ini sendiri juga sudah tercapai karena sudah mendapatkan publisher untuk game ini. Wangan Dorifto sendiri paling banyak diunduh di negara Brazil dan Rusia.

Keunikan lain dari Wangan Dorifto adalah permainan game mobile balapan yang dimainkan dengan posisi portrait bukan landscape. Walaupun banyak menuai protes, namun hal tersebut lah yang menjadi pembeda dari kebanyakan game sejenis. Wangan Dorifto juga sudah mendapatkan revenue melalui iklan dan in-app purchase.

Setelah mengikuti IGA, Aji mengakui bahwa banyak perubahan yang dilalui oleh studio game-nya. Salah satunya yang paling berdampak adalah pengambilan strategi untuk perusahaan. Mentor dan Master Class membantu membuka wawasan Aji bahwa menentukan visi perusahaan harus melihat gambaran secara luas. Hal tersebut menjadi kelemahan dari Aji sebagai CEO sekaligus lead programmer.

Aji diberikan sebuah tugas untuk menentukan main map game-nya seperti apa dan apa rencana ke depannya. Untuk membuat sebuah game sendiri, Aji membutuhkan waktu hampir 2,5 tahun untuk Wangan Dorifto. Namun tentu saja hal tersebut akan berbeda dari sisi jenis game dan berapa orang yang mengerjakannya.