Bagi warga kota Jakarta, tanggal 11 Juli 2012 kemarin merupakan hari yang cukup menarik perhatian karena saat itu berlangsungnya pilkada 2012 untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta yang baru. Kemenangan pasangan Jokowi-Ahok pada putaran pertama ini memang cukup membuat kaget banyak pihak, tapi secara jujur memang pasangan tersebutlah yang cukup menonjol selain pasangan Foke-Nara. Lalu bagaimana di dunia maya? Apa yang terjadi? Saya akan mencoba menganalisa hasil monitoring yang dilakukan oleh teman-teman Saling-Silang yang infografiknya bisa Anda lihat di sini.
Berdasarkan hasil pantauan tim SX Index, didapatkan bahwa pasangan nomer urut 5 (Faisal Basri dan Biem Benyamin) berhasil mengumpulkan sentimen positif tertitinggi jumlahnya yaitu 92.43%. Sedangkan urutan berikutnya adalah pasangan Alex Noerdin dan Nono Sampono dengan 84.49%. Hidayat Nur Wahid–Didik J. Rachbini 79.91%, Hendardji Supandji–Achmad Riza Patria 78.59%, Joko Widodo–Basuki Tjahja Purnama (Ahok) 78.27%, dan terakhir adalah pasangan Fauzi Bowo–Nachrowi Ramli 70.98%.
Hasil ini sangat berbeda dengan kenyataan yang terjadi, ya karena memang banyak yang lupa bahwa persentase pengguna internet di Indonesia dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia itu baru 23% yang kebanyakan berpusat di kota-kota besar, dan hanya 4.1% yang berada di rural area (data didapat dari sini). Artinya yang bisa sukses di social media hampir tidak bisa dijadikan penggambaran yang akurat bagi total hasil keseluruhan. Justru kalau kita mengenyampingkan sentimen dari percakapan yang terjadi, jumlah buzz-nya sendiri cukup representatif. Pada infografik tersebut ditunjukkan bahwa buzz yang tertinggi justru diraih oleh pasangan Jokowi – Ahok dan yang kedua adalah Foke – Nara, artinya kedua pasangan kandidat tersebut berhasil membanjiri timeline Twitter dengan sentimen apapun dan berhasil membuat banyak orang membicarakannya di Twitter.
Banyak faktor yang akhirnya bisa membentuk hasil pilkada putaran pertama ini termasuk kekecewaan terhadap Foke dan karisma Jokowi yang memang sudah terbangun sebelum beliau dipinang oleh PDIP untuk maju sebagai cagub DKI. Dan gaung ini sudah terlanjur menggema kemana-mana menggulung kandidat-kandidat lainnya, sehingga akhirnya dari perspektif yang lebih lebar kita jadi bisa melihat siapa yang benar-benar stand-out, sekali lagi terlepas dari sentimen yang didapat.
Pengalaman mengamati pembicaraan di social media memang sangat menarik. Sewaktu saya masih bersama Thoughtbuzz, saya sempat juga di bulan-bulan awal memonitor percakapan-percakapan di social media tentang keenam cagub ini dan yang saya dapatkan bukan hanya data-data seperti di atas namun juga banyak hal-hal yang bisa dipelajari, misalnya pola berkomunikasi tim social media dari tiap-tiap cagub, buzzer-buzzer yang digunakan oleh mereka, dan lain sebagainya. Data-data tersebut tentu bisa jadi bahan analisa yang menarik.
Abang Edwin adalah seorang praktisi online community management sejak tahun 1998 jauh sebelum istilah social media/social network muncul di dunia internet. Ia memulai perjalanan eksperimentasinya dengan beberapa komunitas online yang akhirnya berkembang sukses pada saat itu, sampai saat ini ia pun masih memberikan konsultasi-konsultasi mengenal karakter dan membina komunitas online bagi brand/agency maupun perseorangan.
Ia sempat bekerja di Yahoo! selama lebih dari 4 tahun sebagai community manager dan sempat pula menjabat sebagai Country Manager untuk sebuah perusahaan start-up social media monitoring yang bernama Thoughtbuzz.
Untuk mendapatkan update terbaru, Anda bisa memfollow @bangwinissimo di Twitter, atau membaca blognya di bangwinissimo.com.
[Gambar: Tebarpesonasenirupa]
Mengapa menggunakan sentimen sebagai faktor pertama untuk menganalisis? Dan mengapa menyimpulkan bahwa faktor sentimen berbeda dengan kenyataan?
Logikaku simpel. Semakin populer seorang tokoh semakin besar kemungkinan mendapat kritik (sentimen negatif)
bukan hanya kritik sih mas, tapi juga pujian….dengan sentimen analisis kita bisa mengukur prosentase (bukan hanya besarannya) sentimen negatif dan positif nya mas…:-)
Iya….tapi ya itu…sentimen tidak bisa jadi faktor pertama buat menganalisis
Well betul kalau digunakan secara stand alone mas…..pada pekerjaan analisis yg biasa saya lakukan sentimen merupakan salah satu faktor saja bersama dengan faktor lainnya seperti jumlah buzz, perilaku social media team yg menjalankan, dan lain sebagainya untuk mendapatkan hasil yang jauh lebih akurat
Meski dapat sentimen positif yg terbanyak, Faisal justru jeblok yah..kenapa itu ya? bisa dituliskan analisanya?
Agus Jafar Sodiq
http://agusjafar.com
Penasaran, sebenernya seberapa akurat sih pengukuran sentimen di social media? Mengingat tone dalam text kadang bersifat bias (kata “gila” bisa berarti positif atau negatif).
To be honest tidak bisa diandalkan sih mas dalam bahasa Indonesia, bukan hanya ambiguiti kata, tapi juga konteks, slank, alay dan lain sebagainya yang membuat sentimen analisis dalam social media dgn target bahasa Indonesia jadi super duper susah banget jika mengandalkan HANYA mesin yang bekerja. Saya sendiri masih berpendapat bahwa hasil analisa sentimen itu harus didrive oleh analyst (yaitu orang yang hands-on conversationj-by-conversation menyisir), dan menempatkan tools atau mesin sebagai ALAT BANTU.
Menurut saya sih seperti yang ditulis mas, jumlah percakapan yang terjadi di social media tidak mewakili secara keseluruhan jumlah pemilih sehingga yang tertangkap tidak mewakili