Teknologi artificial intelligence (AI) dipercaya bakal membantu manusia dalam banyak hal. Di saat yang sama, ada kekhawatiran juga akan bahaya yang bisa muncul akibat perkembangan AI. Anggapan ini datang langsung dari Sam Altman selaku CEO OpenAI, perusahaan yang mengembangkan ChatGPT.
Dalam sebuah wawancara dengan ABC News, Sam memaparkan risiko yang harus dihadapi seiring perkembangan teknologi AI terus berjalan. Ia mengaku agak sedikit takut dengan pencapaian AI sejauh ini, dan menurutnya rasa takut itu penting demi memastikan mereka tetap berhati-hati dalam mengembangkannya.
“Saya khawatir sistem ini dapat digunakan untuk mewujudkan disinformasi dalam skala besar,” ujar Sam. “Berhubung mereka sekarang semakin baik dalam menulis kode komputer, [mereka] bisa saja digunakan dalam aksi serangan siber,” imbuhnya.
Solusinya, kalau menurut Sam, adalah campur tangan dari pihak regulator dan masyarakat. Ia percaya umpan balik dari para pengguna dapat membantu OpenAI meminimalkan potensi konsekuensi negatif yang dapat dipicu oleh AI. Komunikasi rutin dengan pihak pemerintahan juga krusial, dan Sam mengaku sudah melakukannya selama ini.
Announcing GPT-4, a large multimodal model, with our best-ever results on capabilities and alignment: https://t.co/TwLFssyALF pic.twitter.com/lYWwPjZbSg
— OpenAI (@OpenAI) March 14, 2023
Pekan lalu, OpenAI resmi meluncurkan GPT-4, versi terbaru dari AI yang mengotaki ChatGPT. Meski jauh lebih pintar, GPT-4 masih mewarisi sejumlah kekurangan milik pendahulunya, salah satunya kecenderungan untuk menyampaikan informasi yang tidak akurat sebagai fakta.
Kemungkinan hal ini terjadi di GPT-4 memang sudah menurun. OpenAI mengklaim GPT-4 punya kecenderungan 40% lebih tinggi untuk memberikan tanggapan yang faktual. Pun begitu, Sam tetap percaya bahwa ChatGPT tidak semestinya digunakan sebagai sumber informasi utama.
“Cara yang tepat untuk memperlakukan sistem yang kami buat adalah sebagai mesin penalaran, bukan database fakta. Mereka juga dapat bertindak sebagai database fakta, tapi bukan itu yang istimewa dari mereka — yang kami ingin mereka lakukan adalah yang lebih menyerupai kemampuan bernalar, bukan menghafal,” jelas Sam.
Terkait kekhawatiran akan AI yang bisa menggantikan manusia, Sam punya pendapat yang agak berbeda. Menurutnya, AI hanya bekerja di bawah pengawasan manusia. “Ia menunggu seseorang memberikan perintah. Ini merupakan alat yang berada dalam kendali manusia,” tutur Sam.
Bagi Sam, yang lebih perlu dikhawatirkan adalah manusianya, yakni siapa yang memegang kendali. “Kami tidak akan menjadi satu-satunya pencipta teknologi ini. Akan ada orang-orang lain yang tidak menetapkan batasan keamanan seperti yang kami lakukan,” ucap Sam.
Via: The Guardian. Gambar header: TechCrunch via Flickr.