Bertujuan merangkum data-data e-commerce informal di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) meminta bantuan Kementerian Koordinator bidang Perekonomian dalam waktu dekat. Menurut Kepala BPS Suhariyanto, pendataan ini menjadi krusial untuk dilakukan demi merumuskan kebijakan mengenai potensi ekonomi di masa depan.
Selama ini, selain layanan e-commerce besar yang hadir di Indonesia, banyak juga penjual yang memasarkan produk mereka memanfaatkan media sosial. Menurut BPS, makin bertambahnya penjualan barang melalui media sosial, cukup membuat BPS kesulitan mengumpulkan data yang ada. BPS sendiri sebelumnya memiliki rencana untuk mengumpulkan data layanan e-commerce pada minggu pertama atau minggu kedua bulan Januari 2018 lalu. Data tersebut mencakup transaksi, omzet, teknologi, investasi luar dan dalam negeri, serta metode pembayaran.
Secara khusus BPS menetapkan sembilan kategori layanan e-commerce, termasuk marketplace, transportasi, logistik, pembayaran, dan perusahaan investasi. Sejauh ini data diperoleh dari idEA mencakup 320 pelaku usaha.
Perlu dukungan penuh
BPS menyebutkan masih belum bisa memperoleh data yang akurat dari layanan e-commerce besar di Indonesia. Data yang berhasil dikumpulkan BPS saat ini masih seputar data jumlah pegawai dan jenis komoditas dengan pergantian arus barang (turnover) yang terbilang cepat. Data tersebut masih belum dilengkapi dengan data omzet yang berhasil dikumpulkan layanan e-commerce selama ini.
Meskipun target dirilisnya informasi tersebut sudah lewat (rencananya Februari 2018) namun BPS masih memiliki rencana untuk mengumpulkan data yang lebih lengkap. BPS belum bisa memberikan target penyelesaian proses tersebut, karena kerja sama dengan Kemenko Perekonomian baru pertama kali dilakukan.
Nantinya perhitungan tersebut juga bisa dipakai sebagai referensi roadmap e-commerce nasional, dan rujukan untuk menghitung inflasi. Hal ini akan membantu mengetahui kondisi dan porsi sebenarnya dari industri terkait, serapan tenaga kerja, hingga perilaku konsumen.