Kegagalan bisa menjadi suatu hal yang destruktif bila tidak bisa disikapi dengan benar, tapi di sisi lain tiada kesuksesan tanpa kegagalan. Akan tetapi, pernahkan Anda membayangkan bagaimana perlakuan yang diberikan lingkungan sosial masyarakat di suatu negara atas kegagalan bisnis suatu perusahaan startup?
Rupanya tidak semua negara bisa mentolerir hal tersebut dengan baik. Tulisan Mark Suster, yang dimuat oleh Both Sides of the Table, mengungkapkan tingkat tolerasi atas kegagalan startup lebih tinggi di Amerika ketimbang di Eropa, Jepang, dan Korea Selatan.
Suster mengungkapkan masyarakat Amerika sangat menyukai cerita sejarah. Pasalnya, banyak cerita sejarah yang penuh inspirasi mengenai orang-orang yang dulunya adalah “underdog” menjalani hidup penuh lika-liku kegagalan dan berhasil bangkit dari keterpurukan tersebut.
Contohnya, presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln dan pemimpin perusahaan teknologi ternama Steve Jobs. Hingga kini kedua kisah tokoh tersebut menjadi inspirasi seluruh orang di dunia.
Silicon Valley didirikan berkat trial dan error yang terus menerus terjadi dan kemudian terus memperbaiki diri. Suster percaya, pendekatan ilmiah trial dan error, menjadi salah satu kekuatan utama Silicon Valley.
Sementara itu, di London, misalnya, Suster menyaksikan sendiri momen saat pendiri startup gagal menjalani bisnis, dia akan diasingkan oleh media dan ke depannya akan sulit untuk mendapatkan pendanaan baru.
Prancis, lebih parah lagi perlakuannya. Saat pendiri mengalami kegagalan, tidak ada perlindungan hukum yang menjadi landasan terakhir. Malah dia sendiri yang akan menanggung seluruh tanggung jawab.
Ditambah lagi, ketika mempekerjakan seseorang terlalu cepat namun bisnis tidak bisa berjalan seperti yang diharapkan, Anda tidak bisa dengan mudah memecatnya. Hal-hal tersebut dikhawatirkan akan membunuh semangat entrepreneurship di Prancis.
Masyarakat Korea Selatan sangat memikirkan prestise dengan bekerja di perusahaan skala besar. Hal yang sama terjadi juga di Jepang. Masyarakat di sana memberikan tekanan yang berat kepada orang yang bekerja atau mendirikan perusahaan startup.
Beda halnya dengan perlakukan orang Korea yang tinggal di Los Angeles yang sebagian besar adalah seorang entrepreneur.
Perbedaan tingkat toleransi masyarakat di beberapa negara menimbulkan pertanyaan, jika pemerintah ingin mendorong lebih banyak wirausahawan, lebih baik mencari solusi bagaimana membuat masyarakat lebih menerima saat melihat kegagalan di startup.
Pemerintah, lanjut Suster, juga perlu menetapkan perlindungan hukum bagi startup agar dapat lebih agresif dan berani mengambil risiko mengingat adanya hukum probabilitas di antara 100 kali percobaan hanya dua keberhasilan besar yang diciptakan. Dua keberhasilan tersebut mampu mengubah industri dan masyarakat, serta menciptakan lapangan pekerjaan.
Di akhir tulisannya Suster menerangkan dirinya tidak yakin cara mana yang tepat demi mengubah pandangan masyarakat menjadi lebih toleran terhadap kegagalan di startup. Meskipun demikian, toleransi terhadap kegagalan sekecil apapun oleh masyarakat diharapkan bisa membawa pengaruh terhadap kegagalan besar lainnya.