Sepanjang 2018, kehadiran Dragon Ball FighterZ telah membuat dunia kompetitif fighting game terasa begitu segar. Game yang diciptakan oleh Arc System Works ini punya kualitas begitu tinggi dan sangat digemari di kalangan para pegiat fighting game. Begitu pun di dunia esports, turnamen Dragon Ball FighterZ di EVO menjadi salah satu turnamen paling populer, bahkan game ini mendapat predikat Fighting Game of the Year dari ESPN.
Akan tetapi masa depan dunia esports Dragon Ball FighterZ mendadak terlihat suram, bahkan mungkin saja bisa punah. Kegaduhan ini muncul sejak adanya pengumuman dari Aksys Games bahwa Dragon Ball FighterZ batal masuk ke turnamen Anime Ascension 2019 yang akan diadakan pada bulan Februari mendatang. Aksys Games sendiri merupakan penerbit berbagai fighting game ternama seperti seri Under Night In-Birth dan Guilty Gear.
Anime Ascension bukan turnamen pertama yang gagal menampilkan Dragon Ball FighterZ. Sebelumnya, DreamHack Atlanta juga mengalami hal serupa. Game ini juga tidak muncul di EVO Japan 2019. Para organizer turnamen tidak menyebutkan apa alasan mereka gagal menampilkan Dragon Ball FighterZ, tapi diskusi di komunitas-komunitas fighting game memunculkan kecurigaan pada masalah lisensi. Beberapa tokoh fighting game yang mengemukakan hal tersebut misalnya YouTuber Maximillian Dood, YouTuber D-Piddy, dan Ultra David yang berprofesi sebagai pengacara.
Dragon Ball adalah salah satu properti intelektual (IP) terbesar dan terpopuler sepanjang masa. Namun hak cipta atas IP ini telah mengalami perjalanan yang cukup rumit. Pemilik IP Dragon Ball orisinal adalah Bird Studio (studio milik Akira Toriyama) dan Shueisha selaku penerbit komiknya. Namun IP ini juga dimiliki bersama oleh Toei Animation selaku penyiar serial animasi Dragon Ball.
Untuk wilayah di luar Jepang, Dragon Ball juga berada di bawah Funimation Productions selaku pemegang lisensi animasi, sementara Bandai Namco sendiri memegang lisensi sebagai penerbit game Dragon Ball. Terlepas dari developernya yaitu Arc System Works, ada lima perusahaan yang terlibat dalam hak cipta franchise Dragon Ball sejauh ini. Karena itulah Anda dapat melihat copyright footnote yang cukup panjang di sampul ataupun situs resmi Dragon Ball FighterZ.
Tidak diketahui perusahaan mana yang menyebabkan isu pelarangan turnamen Dragon Ball FighterZ, akan tetapi ini bukan pertama kalinya Dragon Ball terkena masalah lisensi. Salah satu contoh ekstrem adalah kejadian di bulan Maret 2018, di mana kedubes Jepang mengirim permintaan pada pemerintah Meksiko untuk melarang acara nonton bareng anime Dragon Ball Super tanpa izin.
Cuitan Joey Cuellar—co-founder EVO—menunjukkan bahwa dampak pelarangan ini sangat serius. Bahkan mungkin saja menyebabkan “kematian” dunia kompetitif Dragon Ball FighterZ. Beberapa pemain Dragon Ball FighterZ profesional juga mengekspresikan rasa frustrasi. Yohosie, misalnya, mengalami kerugian karena sudah terlanjur memesan tiket pesawat ke lokasi turnamen, tapi akhirnya harus membatalkannya.
https://twitter.com/yohosiefgc/status/1076236339324932096
Menurut Maximillian Dood, ada kemungkinan pelarangan ini hanya bersifat sementara. Dulu pun Nintendo pernah melakukan hal yang sama, yaitu melarang pengadaan turnamen Super Smash Bros. Pada akhirnya, komunitas fighting game berhasil meyakinkan Nintendo untuk menghapus larangan tersebut, dan kini Nintendo menjadi salah satu sponsor tetap di EVO.
Nakkiel, salah satu pemain Dragon Ball FighterZ profesional di bawah tim Panda Global, juga menyatakan bahwa kita tidak perlu terlalu khawatir, karena persoalan lisensi di dunia esports sudah lumrah terjadi. Semoga saja dalam waktu dekat game ini bisa kembali muncul di turnamen. Tapi bila itu tidak terjadi, maka masa depan dunia esports Dragon Ball FighterZ ini benar-benar terancam.
Sumber: EventHubs