Ini bukan cerita soal investasi bitcoin, melainkan cerita dan argumen mengapa kita harus mengajarkan coding bagi tenaga kerja kita.
Seorang teman saya pernah berujar, bitcoin adalah satu-satunya aset di dunia yang bentuknya sama di seluruh dunia tapi harganya berbeda-beda tergantung market. Bentuk bitcoin di Jepang, di Amerika Serikat, atau di Indonesia adalah sama dan dengan mudah bisa disalurkan ke seluruh dunia.
Tidak ada benda di dunia yang bentuknya sama di semua negara sehingga bisa memiliki perbedaan signifikan yang harganya ditentukan harga pasar. Tidak beras, tidak apel, atau bahkan tidak durian. Apel di masing-masing negara memiliki keunikan sendiri sehingga kalau dibilang harga apel di seluruh dunia berbeda-beda, orang menjadi maklum karena kualitas apel di semua negara berbeda-beda.
Bagaimana dengan barang elektronik seperti Apple atau Samsung? Bentuknya sama di semua negara tentu saja, tapi harganya ditentukan produsen. Harga produk Apple atau Samsung di masing-masing negara hanya berbeda sedikit, sehingga untuk kita membeli di berbeda negara hanya selisih sedikit tergantung kurs mata uang.
Hal yang berbeda berlaku bagi bitcoin. Bitcoin memiliki harga yang berbeda-beda di masing-masing negara, tergantung permintaan dan penawarannya.
Harga bitcoin di satu negara bisa berbeda antara 3-10% yang menyebabkan jual beli selisih bitcoin bisa menjadi bisnis yang menguntungkan. Bitcoin adalah aset digital yang mudah diperjualbelikan dan secara likuid mudah ditransfer.
Pembeli dari Amerika Serikat dengan mudah bisa membeli bitcoin dari Indonesia dengan harga yang mungkin lebih murah dan menjualnya di Amerika Serikat dengan harga lebih mahal. Ini adalah kekuatan penting dari barang yang sama di seluruh negara dengan harga berbeda.
Kemampuan coding yang universal
Di jaman digital ini, kemampuan coding merupakan suatu ilmu yang sama dan standard di seluruh negara. Jika seseorang mengerti dalam pemrograman HTML, CSS, atau Javascript, maka skill yang sama dibutuhkan di semua negara.
Seperti bitcoin, standar skill tersebut sama namun harganya berbeda-beda di semua negara. Ilmu pembuatan program di negara-negara maju dihargai dengan harga mahal, sementara di negara Indonesia dihargai dengan harga yang lebih murah.
Sistem pemrograman adalah likuid. Para programmer Javascript di Indonesia bisa dengan mudah mengambil proyek-proyek yang ada di negara maju dengan harga yang cukup mahal. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan dan keinginan untuk mencari proyek tersebut di Internet.
Sebetulnya, apa yang membuat harga pekerja di berbagai negara berbeda? Skill mereka? Bukan. Menurut suatu teori, harga tenaga kerja berbeda karena kebijakan imigrasi.
Dicontohkan perumpamaan mengenai harga pekerja yang berbeda di Swedia dan India. Gaji supir bis di Stockholm, Swedia (katakan namanya Sven) adalah 50 kali gaji supir bus di Mumbai (katakan namanya Ajit). Bagaimana Sven bisa mendapat gaji 50 kali lebih besar daripada Ajit. Apakah Sven memiliki skill mengemudi bus 50 kali lebih baik daripada Ajit? Dengan semrawutnya lalu lintas di Mumbai, kemungkinan besar Ajit jauh lebih pandai mengemudi bus daripada Sven di kota Stockholm yang lebih teratur. Jadi mengapa gaji Sven bisa 50 kali lebih tinggi daripada gaji Ajit?
Pemerintah Swedia memberlakukan kebijakan imigrasi, sehingga Ajit tidak bisa datang ke Stockholm dan mengambil pekerjaan Sven. Semua negara memberlakukan hal ini supaya tidak merusak tatanan budaya negara tersebut. Tentunya salah satu alasan ekonomi kebijakan imigrasi adalah untuk melakukan proteksi terhadap Sven supaya pekerjaannya tidak diambil Ajit.
Ada banyak Ajit-Ajit lain di berbagai bidang, seperti perbankan, kedokteran, atau buruh pabrik yang siap mengambil pekerjaan Sven-Sven lain di negara maju. Untuk itu dibutuhkan proteksi imigrasi.
Meskipun demikian, hal di atas tidak berpengaruh terhadap industri pemrograman. Perkembangan internet dan manajemen pembuatan software sudah berkembang dengan cukup maju sehingga software bisa dikerjakan di mana pun. Tidak perlu semua orang duduk di kantor yang sama, di kota yang sama, ataupun di negara yang sama. Saat ini dengan mudah fungsi-fungsi software dibelah-belah dan diberikan ke para programmer di seluruh dunia. Memang tidak semua software bisa di-outsource karena ada masalah IP rights, kerahasiaan, dan sensitivitasnya; tapi setidaknya 80% pekerjaan industri software bisa di-outsource ke seluruh dunia tanpa kesulitan.
Di industri ini kita tidak punya masalah imigrasi. Dengan mudah para programmer di Indonesia bisa mengambil alih pekerjaan programmer di Swedia hanya dengan menggunakan tools project management via Internet. Kita bisa duduk di Yogyakarta dan mendapat gaji yang secara teori kurang lebih sama dengan programmer di Swedia karena mengerjakan hal yang sama.
CodingMum
Konsep di atas adalah tesis CodingMum, sebuah produk Badan Ekonomi Kreatif kabinet terdahulu yang digagas Bapak Triawan Munaf bersama saya dengan tujuan mengajarkan coding kepada ibu-ibu Indonesia.
Para Ibu-ibu lulusan CodingMum, hampir 1000 orang jumlahnya sejak 2016, banyak mendapatkan proyek menarik hanya dengan bekerja dari rumah. Secara aktif mereka mencari proyek dari teman-teman dan juga dari Internet. Manfaat yang didapatkan mereka luar biasa.
Sangat inspiratif mendengar kesaksian mereka yang bisa mendapatkan penghasilan antara 3 juta sampai dengan 40 juta Rupiah per bulan hanya dengan bekerja di rumah.
Mereka bisa membantu suaminya untuk uang muka mobil dan bahkan beberapa mengatakan ikut menyumbang uang muka rumah. Mereka pun tidak menyangka bahwa ini bisa terjadi. Ada seorang lulusan dari Surabaya yang mendapatkan beasiswa Apple Academy dan 9 bulan kemudian lulus dan fasih memprogram untuk aplikasi iOS.
Benang merah
Melihat hasil di atas, kita sebetulnya bicara soal skill yang bisa mengubah nasib. Perubahan nasib yang sama dialami ratusan BMI (Buruh Migran Indonesia, pengganti kata TKW) di Singapura, Hongkong, dan Malaysia yang juga sempat mencicipi program CodingMum ini.
Para pembantu rumah tangga, yang sering dianggap masyarakat kelas bawah, berhasil mengubah nasibnya. Mereka membuat kaget majikannya, hingga sang majikan memberikan proyek pembuatan situs bisnis mereka ke para BMI. Ada lagi yang memutuskan tidak ingin meneruskan jadi BMI dan memilih pulang menjadi pembuat situs, walau pun majikannya membujuk-bujuk dengan janji menambahkan gaji.
Mengajarkan coding kepada tenaga kerja bisa menjadi batu loncatan yang cukup baik bagi kita di Indonesia. Kita bisa skip langsung ke industri 4.0 dengan mengajarkan kemampuan programming ke anak-anak kita pula. Kita bisa menjadi ratusan ribu atau jutaan pasukan digital baru yang siap masuk ke dunia kerja dengan kekuatan populasi Indonesia. Untuk membangun industri ini, kita tidak perlu modal besar karena yang kita jual adalah intangible asset yang nilainya bisa di-multiply dengan mudah.
Pemrograman adalah skill premium. Mengajarkannya pun tidak mudah. Dari ribuan peserta, CodingMum sudah membuktikan bahwa semua orang bisa diajak masuk ke industri digital. Apakah itu pembantu rumah tangga, anak-anak panti asuhan, anak autis, difabel tunanetra (yep, bisa), lansia–mereka semua bisa mengerti konsep industri ini.
Dari beberapa sesi awal, seperti ada kotak pandora yang terbuka. Sebuah pencerahan untuk mereka bisa mulai belajar. Sangat mungkin untuk mengajarkan coding secara masif kepada masyarakat.
Ada satu benang merah yang serupa dari kesaksian para lulusan CodingMum, apakah itu ibu rumah tangga di kota-kota besar, kota-kota kecil, atau buruh migran: suami mereka jadi lebih menghargai mereka. Suami mereka rata-rata kaget dengan kemampuan (dan penghasilan) baru mereka. Banyak kisah cerita yang mengharukan mengenai dampak sosial CodingMum dan memang harusnya ini adalah kunci semua kegiatan yang berfungsi memajukan ekonomi.
Pada akhirnya, para Ibu-ibu itu menjadi lebih bahagia dan lebih dipandang oleh suaminya. Mereka akan dipandang anak-anaknya dan pasti akan berusaha menularkan ilmu mereka kepada si anak. Pada akhirnya, unit terkecil dari masyarakat kita, keluarga, memiliki dinamika baru untuk maju karena martabat manusia telah ditinggikan.
–
Artikel tamu ini ditulis oleh Izak Jenie. Izak adalah CEO Jas Kapital dan Co-Founder MCAS Group.