Salah satu startup yang dulu sempat menjadi kesayangan di Silicon Valley, Homejoy, beberapa waktu yang lalu mengumumkan penutupan layanan mereka. Homejoy adalah startup yang fokus sebagai penyedia jasa pembantu kegiatan domestik (rumah tangga). Menariknya di Indonesia juga telah berkembang bisnis yang serupa, mulai dari Cabara, Pembantu.com, Seekmi, hingga Tukang Bersih.
Laju perkembangan teknologi di Indonesia sejatinya telah membuka banyak peluang baru dalam dunia bisnis Indonesia. Lihat saja industri e-commerce yang begitu booming saat ini. Pemanfaatan teknologi pun seolah menjadi tak terbatas dengan merambahnya mereka ke segmen bottom of pyramid seperti 8Villages, e-Fishery, Ruma, dan yang paling hangat adalah Go-Jek dan GrabBike.
Tapi, ada satu lagi industri yang memberdayakan segmen bottom of pyramid, yang kini mulai menjamur, yakni mereka yang membantu dalam mencari jasa ART. Pemainnya pun sudah cukup ramai, ada Cabara, Pembantu.com, Seekmi, hingga Tukang Bersih yang merupakan anggota Ecocare Company dan didukung oleh PT Indocare Pacific yang memiliki pengalaman 25 tahun di bidang ini. Dengan penutupan layanan Homejoy, yang semula disukai di Silicon Valley, saya rasa ada beberapa pembelajaran yang bisa dipetik dari sana.
Subsidi harga yang berujung pada penutupan layanan
Berdasarkan tulisan Forbes, Homejoy menutup layanan mereka karena pelanggannya sudah tidak lagi memesan melalui platform mereka. Di awal, Homejoy memberikan harga promosi kepada calon penggunanya dengan selisih harga yang menarik jika dibandingkan harga jasa pembersihan di daerah sekitar. Namun ketika program promosi tersebut berhenti, ternyata pelanggan juga berhenti untuk memanfaatkan layanan ini.
Menurut CEO Homejoy Adora Cheung, faktor penentu penutupan layanannya adalah masalah hukum yang menerpa layanannya. Tapi, jika ditelusuri kembali, ada lebih banyak masalah internal yang menyebabkan layanan mereka tutup. Salah satunya adalah rendahnya retensi pelanggan mereka, yang merupakan imbas dari program promosi yang bertujuan untuk mengikat lebih banyak pelanggan. Menurut salah satu mantan karyawan Homejoy, model akuisisi pelanggan dan buruknya retensi mereka adalah hal yang benar-benar membunuh Homejoy.
Di Indonesia, berdasarkan penelusuran yang saya lakukan, tak banyak layanan serupa yang memberikan program promosi layaknya Homejoy. Hanya TukangBersih yang saya temukan memberikan program membership dengan menawarkan potongan hingga 40 persen. Itu pun untuk jangka panjang dan bukan program promosi layaknya Homejoy.
Menariknya, program seperti ini justru terjadi di layanan lain, yaitu Go-Jek dan GrabBike. Imbasnya yang terasa, kualitas salah satu layanan untuk mendapatkan tukang ojek terdekat di sekitar menurun, apalagi di jam-jam sibuk Jakarta.
Pelatihan tenaga kerja dan legalitas hukum
Jika memberdayakan segmen bottom of pyramid, ada satu tantangan yang sudah pasti harus dihadapi para pemainnya, yakni tenaga kerja yang tak terlatih. Yang saya maksud di sini adalah dari berbagai aspek, bukan hanya kemampuan teknologi saja. Untuk layanan seperti Go-Jek, GrabBike, 8Villages, dan eFishery edukasi mungkin akan sangat berkaitan dengan teknologi, tetapi bagaimana dengan jasa layanan domestik?
Salah satu penyebab penutupan Homejoy berkaitan erat dengan tenaga kerja mereka sendiri. Homejoy mengalami dilema untuk melatih tenaga kerja mereka dan hal ini berujung pada misklasifikasi yang membawa mereka pada tuntuan hukum di sana.
Saya tak tahu banyak mengenai regulasi di Indonesia mengenai tenaga kerja ART. Satu hal yang pasti, ART di Indonesia masih sering terlibat dengan kasus hukum, mulai dari penculikan, penyiksaan oleh majikan, hingga, mungkin, pencurian benda berharga. Selain itu tak sedikit pula yang mengatakan sering mendapat ART dengan keahlian yang kurang memuaskan dalam urusan housekeeping.
Masalah tersebut paling sering kita dengar gaungnya dari tetangga kita, yang seringa mengeluhkan kualitas Tenaga Kerja Indonesia, biasanya ART, tidak sesuai harapan mereka. Ini selalu berujung pada masalah hukum. Hal-hal seperti ini lah yang akan menjadi tantangan bagi startup pencarian ART di Indonesia, yakni melatih tenaga kerja mereka menjadi profesional dan terhindar dari masalah hukum.
Mengejar pertumbuhan di tempat yang salah
Seperti yang pernah kami sampaikan, hubungan antara startup dengan investor bisa menjadi rumit. Seperti kebanyakan startup lainnya, Homejoy pernah memperoleh pendanaan yang terbilang cukup besar, yakni $38 juta di tahun 2013. Dengan besarnya pendanaan tersebut, tuntutan untuk tumbuh pun sangat berat dirasakan.
Sayangnya, sepertinya ini tak disikapi secara bijak oleh Homejoy. Dengan tekanan untuk tumbuh, mereka mulai berekspansi ke berbagai wilayah dengan cepat, malah bisa dibilang terlalu cepat. Homejoy berekspansi ke 30 kota hanya dalam jangka waktu enam bulan.
Di tiap pasar yang baru mereka masuki, Homejoy selalu menjalankan program diskon layaknya Groupon dan LivingSocial di situs mereka sendiri. Ketika program tersebut berhenti, masalah-masalah seperti yang sudah saya sebutkan di atas pun mulai naik ke permukaan. Tak banyak yang kembali untuk menggunakan jasa mereka.
Diungkapkan oleh salah seorang mantan pegawai Homejoy yang dikutip Forbes:
“Melihat ke belakang, rasanya itu tak masuk akal. Jika bisnis inti Anda tidak bekerja di sini (daerah asal), mengapa memperluas ke pasar yang baru?“
Jika melihat kondisi di Indonesia, saya rasa ini masih belum banyak terjadi, khusunya untuk layanan yang serupa dengan Homejoy. Lain cerita dengan Go-Jek, yang sudah mulai berekspansi. Seperti yang dijelaskan oleh mantan karyawan Homejoy, jika bisnis inti tidak bekerja di daerah asal, buat apa memperluas ke pasar yang baru.
Mengejar pertumbuhan memang penting, namun elemen lain seperti keuntungan, retensi pengguna, legalitas layanan rasanya perlu menjadi bahan pertimbangan. Bukan tidak mungkin startup yang menyasar bottom of the pyramid akan berakhir sama dengan Homejoy. Apalagi di Indonesia yang masih punya banyak celah di sisi regulasi.