Dalam tiga tahun terakhir, industri perbankan Indonesia diramaikan dengan geliat pendirian bank digital, baik berbentuk bank baru maupun konversi dari bank yang sudah ada (existing). Sebagai langkah awal, Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis aturan baru yang diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan pelaku-pelaku bank digital.
POJK Nomor 12/POJK.03/2021 memuat berbagai ketentuan terkait pendirian bank dan modal. Di antaranya adalah ketentuan pendirian dua jenis bank digital. Pertama, pendirian bank baru sebagai bank digital dan kedua, transformasi bank existing umum menjadi bank digital
Di samping itu, aturan baru juga untuk memberikan batasan yang jelas terkait bisnis bank digital mengingat tren ini masih terbilang baru di industri perbankan Indonesia.
Dalam upayanya, bank digital terus melakukan literasi agar masyarakat memahami bisnis dan layanan yang mereka jalankan. Ini sembari memanfatkan momentum akselerasi keuangan digital yang pesat saat pandemi Covid-19. Berdasarkan survei FICO di 2020, 54% konsumen Indonesia lebih suka memakai kanal digital untuk berinteraksi dengan bank, 3% mobile banking, 7% internet banking, dan 14% lewat telepon banking.
Namun, kita tidak bisa melupakan bahwa masih besar kelompok masyarakat di Indonesia yang lebih nyaman bertransaksi keuangan dengan mendatangi ATM maupun ke kantor cabang bank.
PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) menggelar pelatihan jurnalistik demi memberikan pemahaman mendalam perihal bank digital. DailySocial berkesempatan mengikuti pelatihan yang digelar di Bali ini.
Beberapa pengamat terkemuka turut berpartisipasi, antara lain Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah, Advisor Pengembangan Bisnis Bursa Efek Indonesia Poltak Hotradero, dan Director Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bima Yudhistira.
Persepsi bank digital
Tak sedikit masyarakat di Indonesia yang mengenali bank digital sebagai layanan digital banking. Lagi-lagi mengingat model bisnisnya masih baru, pemahaman terhadap bank digital pun dinilai masih kabur di kalangan masyarakat.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah memberikan satu definisi yang sekiranya mampu membedakan bank digital dan bank konvensional secara signifikan. Menurutnya, bank digital didefinisikan sebagai bank beserta layanan yang mana kita tidak perlu lagi memikirkan di mana kantor pusat, kantor cabang, jumlah ATM, termasuk jumlah orang yang mengoperasikan.
Sama seperti platform dompet digital GoPay dan OVO, kita tak perlu tahu di mana uangnya disimpan. Dengan fenomena adopsi internet dan smartphone selama satu dekade ini, ia menilai bahwa bisnis bank akan tetap sama, tetapi delivery-nya saja yang kini mulai berbeda.
Menurutnya, persepsi ini wajar mengingat masyarakat terbiasa bertransaksi di bank. Bank diidentikkan sebagai lembaga keuangan dengan kantor cabang dan kantor pusat. Berbeda dengan era sebelum digital, persaingan perbankan dapat terlihat dari upaya bank membangun ekosistem. Dalam konteks bank konvensional, ekosistem mereka adalah kantor cabang dan ATM.
Kini perlahan-lahan keberadaan mesin ATM mulai tidak relevan. Orang-orang mulai terbiasa bertransaksi keuangan melalui platform mobile banking maupun dompet digital. Adopsi besar-besaran ini dinikmati industri perbankan selama masa pandemi.
Berdasarkan data OJK, sebanyak 2.593 jaringan kantor cabang ditutup dari 2017 hingga Agustus 2021. Penutupan kantor cabang ini selaras dengan transformasi digital bank yang terlihat dari meningkatnya volume transaksi secara digital.
Menurut Piter, di situasi sekarang apabila bank konvensional belum bertransormasi ke arah bank digital, tidak berarti mereka gagal melakukan digitalisasi. Ini lebih kepada kegagalan kompetisi. Perlu dicatat, faktor keunggulan perbankan sudah berubah, yang unggul di masa lalu, bisa jadi beban di era ekosistem digital.
“Ini bukan lomba lari cepat, tetapi maraton, ketahanan yang menentukan. Lagipula, bank digital masih jadi tren baru di Indonesia. Makanya, ini alasan bank-bank yang sudah mapan mempersiapkan diri, tapi tidak langsung face-to-face melainkan lewat proxy atau anak usahanya,” papar Piter.
Paparan di atas sedikit mengingatkan pada hipotesis Pendiri Bank Jago Jerry Ng ketika memutuskan mencaplok Bank Artos dan mengganti namanya. Jerry menilai Bank Artos tidak memiliki banyak legacy (kantor cabang, ATM, dan SDM). Dengan kondisi ini, pihaknya dapat leluasa mengembangkan teknologi dari awal ketimbang mengambil bank yang sudah punya ribuan kantor cabang.
Studi kasus bank digital
Pada paparan berikutnya, Advisor Pengembangan Bisnis Bursa Efek Indonesia Poltak Hotradero menyoroti ekosistem digital sebagai salah satu faktor kunci pada bank digital. Ia mengambil beberapa contoh bank digital sukses di dunia yang menerapkan model serupa, misalnya KakaoBank asal Korea Selatan.
KakaoBank berdiri di 2016 dan dimiliki oleh perusahaan raksasa internet Kakao Corp. Pada awal kemunculannya, KakaoBank mencatatkan pencapaian yang luar biasa. Dalam lima hari, KakaoBank mengantongi 1 juta pengguna.
KakaoBank juga mencatat kinerja keuangan di atas rata-rata industri. Misalnya, pertumbuhan deposit sebesar 13,65% dari rerata industri 11,98%. Kemudian, NPL KakaoBank juga sebesar 0,26% di mana industri mencapai 1,78%. Sementara, pendapatan fee mencapai 30,16% dari industri 28,02%.
Menurut Poltak, keberhasilan KakaoBank tak lepas dari ekosistem digital besar yang dimiliki perusahaan induknya. Kakao memiliki portofolio layanan beragam, seperti layanan chat, fintech, e-commerce, dan game.
“Evolusi internet membawa dampak perubahan pada manusia dan uang. Mesin-mesin juga saling berinteraksi berkat internet. Ini menjadi pondasi perkembangan bank digital di mana nantinya pembayaran, liquidity, dan analytics berada di awan (cloud). Dengan kata lain, teknologi memampukan bank [digital] untuk bisa scale up lebih cepat,” tuturnya.
Di masa depan, Poltak menyebutkan tiga jenis bank yang bakal berkompetisi antara lain bank konvensional, bank digital, dan embedded bank. Poltak mendefinisikan embedded bank (Bank-as-a-Service/BaaS) sebagai layanan yang sejak awal sudah beroperasi secara digital dan masuk ke ekosistem (native). Ia juga menilai embedded bank akan menjadi bagian dari plumbing system jasa keuangan korporasi atau individu.
“Platform digital akan memudahkan sinergi dengan layanan keuangan digital lainnya, misalnya layanan investasi dan asuransi. Namun perlu dicatat, biaya dan risiko terbesar dari transisi digital adalah kegagalan mempertahankan pangsa dan segmen pasar. Faktor tersebut dapat membuat bank menjadi tidak relevan,” tambahnya.
Maka itu, ia menggarisbawahi bahwa digitalisasi adalah keniscayaan kompetitif. Jangan sampai sektor keuangan hanya diserahkan perannya lewat bank saja mengingat potensi bisnis dan layanannya begitu besar. Ia meyakini perluasan pasar penting untuk mengembangkan bank digital mengingat masih ada segmen pasar yang belum tergarap di Indonesia dan hanya bisa dilayani lewat digital.
Proyeksi bank digital
Menurut studinya, Director Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira membagi bank digital ke dalam tiga model, yakni direct bank, neobank, dan challenger bank.
Ia memaparkan, direct bank memperbesar peluang layanan perbankan, seperti tabungan dan channeling pinjaman digital. Kemudian, neobank beroperasi sebagai bank yang full digital, tanpa kantor cabang, dan memiliki aplikasi mobile. Sementara, challenger bank dikatakan merevolusi cara transaksi, model pinjaman baru, dan personal finance.
Bhima mengungkap, potensi akumulasi pasar challenger bank dan neobank secara global dapat mencapai $578 miliar di 2027 menurut laporan Medici Research.
Kami mencoba mengambil sumber lain untuk memberikan definisi lebih dalam, terutama pada neobank dan challenger bank. Mengutip FinTech Magazine, neobank menawarkan fleksibilitas ke berbagai layanan, termasuk payroll dan expense management. Selain itu, neobank juga menawarkan solusi keuangan korporasi untuk menjawab tantangan yang dihadapi UMKM.
Kehadiran API membantu mengintegrasikan alur bisnis dengan persyaratan perbankan. Kendati begitu, neobank tidak punya lisensi perbankan karena mereka beroperasi dengan mengandalkan bank mitra. Dengan demikian, mereka tidak dapat menawarkan layanan perbankan tradisional.
Sementara challenger bank memanfaatkan teknologi untuk merampingkan proses perbankan. Namun, challenger bank juga mempertahankan kehadiran fisik untuk mengoperasikan layanan fintech. Sekop challenger bank umumnya jauh lebih kecil dibandingkan pada sektor perbankan mainstream. Diperkirakan ada 100 challenger bank secara global saat ini.
Berbeda dengan neobank, challenger bank memiliki lisensi bank dan dapat menawarkan nasabah terhadap berbagai macam layanan perbankan tradisional dan digital. Layanan perbankan tradisional ini juga dapat diakses dan dimanfaatkan lebih akomodatif dibandingkan bank umum.
Lebih lanjut, Bhima menilai bahwa bank digital menawarkan sejumlah keunggulan, baik untuk individu maupun pelaku usaha. Di level individu, bank digital meningkatkan literasi nasabah terhadap produk keuangan lainnya, misalnya investasi. Menurut data World Bank di 2020, porsi kapitalisasi pasar saham terhadap PDB masih relatif kecil. Kemunculan bank digital diproyeksi dapat mendorong minat investasi.
Selain itu, bank digital dapat mendorong upaya pengendalian keuangan di sektor UMKM dengan transparansi dan efisiensi keuangan. Apalagi, pelaku usaha juga bisa mendapatkan akses terhadap pembiayaan yang disalurkan bank digital melalui skema channeling.
“Selama ini bank tidak bersaing dengan teknologi, tapi dengan gede-gedean bunga. Lalu, tiba-tiba muncul bank digital yang menawarkan kemudahan layanan dan akses permodalan. Saat ini Indonesia punya 65 juta UMKM dan sebagian dari mereka belum dapat pinjaman. Bank digital dapat menambah kapasitas pembiayaan itu. Apabila Indonesia ingin memulihkan perekonomian ke level 5%, pertumbuhan kreditnya harus naik tiga kali lipat,” jelasnya.
Dengan berbasiskan data-driven credit scoring, bank digital dapat terus berkembang dengan menyalurkan kredit ke segmen yang belum terjamah. Di masa depan, penyaluran kredit ini dapat memakai indikator rating transaksi nasabah di platform e-commerce, food delivery, atau ride hailing.