Peranan wanita di dunia teknologi menjadi sorotan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Memanfaatkan waktu luang yang dimiliki ibu-ibu rumah tangga, Bekraf berencana membuat pelatihan bahasa teknis, khususnya yang berbasis HTML5. Diharapkan pelatihan ini dapat membantu memasok permintaan tenaga kerja dengan kemampuan pemrograman saat Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) berlaku akhir tahun ini.
“Kami merencanakan pembuatan kurikulum coding untuk ibu rumah tangga,” kata Kepala Bekraf Triawan Munaf kepada Jawa Pos saat menghadiri pembukaan Popcon Asia 2015 di Jakarta.
Seperti apa kurikulum yang nantinya akan diajarkan? Menurut Triawan, hingga kini masih digodok formulanya, namun pada intinya adalah fokus utama kurikulum tersebut agar ibu-ibu rumah tangga bisa memahami dan mengaplikasikan bahasa HTML5. HTML5 sendiri adalah bahasa yang digunakan untuk menampilkan situs Internet modern.
Idealnya kurikulum ini diberikan kepada anak-anak sekolah, namun menurut Triawan saat ini anak-anak sudah terlalu banyak dibebani oleh kurikulum yang sudah ada, sehingga menyulitkan penerapan pelajaran tambahan tersebut. Di sini peranan ibu-ibu rumah tangga, yang dianggap memiliki potensi besar, untuk menciptakan tenaga ahli baru yang menguasai sintaks HTML5.
“Yang belajar HTML5 itu sedikit sekali. Butuh tenaga itu, apalagi MEA jalan nanti,” tuturnya.
Untuk mendukung rencana tersebut, Bekraf tengah menjajaki kerja sama dengan perusahaan, lembaga, hingga inkubator yang bersedia membantu memberikan pembelajaran kepada ibu-ibu rumah tangga. “Ada beberapa perusahaan yang siap [bekerja sama],” ujar Triawan.
Triawan menargetkan kurikulum siap diimplementasikan akhir tahun ini di sejumlah lokasi tertentu. Nantinya proses pembelajaran bukan hanya terbatas pada teori, melainkan juga disediakan sarana untuk belajar, termasuk soal bandwidth Internet. Triawan sendiri belum memberikan gambaran jelas seperti apa calon peserta yang ideal untuk program ini.
Mereka yang telah mendapatkan pelajaran HTML5 diharapkan bisa membuat situs atau aplikasi baru yang dapat mengubah social challenge menjadi social entrepreneurship. Role model yang digunakan adalah Go-Jek, yang diklaim bersifat sederhana (dari sisi ide), tetapi mampu menyejahterakan masyarakat banyak.