Museum seringkali dianggap sebagai tempat wisata kuno yang tidak menarik untuk dikunjungi, apalagi buat anak muda. Kondisi ini tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di Australia. ArtProcessors sebagai salah satu startup yang peduli dengan isu tersebut membangun teknologi untuk mendukung museum.
DailySocial beserta rekan media lainnya yang diundang Kedutaan Besar Australia untuk mengikuti Digital Indonesia Media Visit, bertemu langsung dengan CEO ArtProcesssor Mike Nihill dan Co-Founder & Delivery Director Nic Whyte di kantornya, Selasa (27/11).
Nihill bercerita, ArtProcessors fokus pada perpaduan antara teknologi, media digital, dan desain spasial yang menggugah pengunjung dengan memberikan pengalaman baru saat berkunjung ke museum. Pengunjung betah berlama-lama di museum, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan jumlah kunjungan.
Sejak pertama kali berdiri di 2011, perusahaan kini memiliki 27 orang karyawan dari awalnya 8 orang saja. Beberapa orang di antaranya berlokasi di Amerika Serikat.
“Kami mulai tumbuh pesat sejak awal tahun ini, dari awalnya hanya tim kecil jadi lebih komersil karena ada tim baru di Amerika Serikat. Mengembangkan teknologi hybrid untuk museum demi meningkatkan engagement dengan para pengunjung,” terangnya.
Inovasi ArtProcessors
Dia pun mencontohkan aplikasi The O yang dibuat khusus untuk Museum Old and New Art (MONA), Australia. Sebelumnya, MONA bernama Moorilla Museum of Antiquities. Pengelola ingin merenovasi museum sejak 2006, namun tidak sukses meningkatkan angka pengunjung.
Niatan tersebut baru terlaksana lima tahun kemudian, bersama ArtProcessors melahirkan aplikasi The O. Aplikasi ini bisa diunduh sendiri di perangkat masing-masing atau cukup menggunakan perangkat yang disediakan pihak museum sebelum mengelilinginya.
Di dalam aplikasi, ArtProcessors sudah menanamkan data digital untuk menggantikan teks di dinding yang biasa menjadi keterangan di dekat objek seni. Begitu pengunjung mendekati objek, cukup menekan tap The O dan seketika informasi mengenai objek tersebut akan muncul dengan tampilan yang intuitif dan informatif.
Tidak hanya itu, pengunjung bisa melakukan pemesanan antrean secara virtual saat ingin mendatangi suatu objek seni tertentu yang laku dikunjungi. Nanti aplikasi akan memberi notifikasi ketika nomor antrean sudah mendekati.
“Kami menginginkan jumlah antrean paling lama sekitar 5-6 menit saja, dengan demikian waktu kunjungan bisa lebih efektif,” tambah Nic Whyte.
Hasil yang didapat pasca merilis aplikasi ini, sambung Whyte, MONA mengalami peningkatan kunjungan hingga 81%. Ditambah lagi pemugaran museum makin membuat MONA terkesan semakin modern, ramah untuk pengunjung dari segala rentang usia.
“Semua orang yang masuk ke dalam museum harus dapat info sebanyak-banyaknya. Makanya kami menyediakan iPad yang terkoneksi dengan sistem navigasi museum, mereka bisa mengetahui objek terdekat dan memberikan feedback-nya secara real-time.”
Whyte menjelaskan The O ini bisa bekerja karena perusahaan melakukan manajemen database yang dikumpulkan dari berbagai sumber, mengambil gambar objek, dan mulai membangun sistemnya. Dari situ data diterjemahkan ke dalam bentuk visual yang mudah dimengerti.
Selain The O, ArtProcessors juga membuat solusi suara untuk engagement yang lebih tinggi di Hermitage dan John Russell Audio Experiences berlokasi di Art Gallery of New South Wales (AGNSW). Kemudian dengan Universitas Melbourne untuk museum Awaken.
Perusahaan bekerja sama dengan Universitas Melbourne untuk eksibisi ‘Awaken’ dengan teknologi AR/VR. Hal ini dimaksudkan agar para mahasiswa semakin familiar untuk datang ke museum.
Selain ketiga perusahaan di atas, ArtProcessors bermitra dengan Zoos Australia, State Library New South Wales, NSW Government, Australian War Memorial, dan Kebun Binatang Melbourne.
Di Indonesia, perusahaan sejenis ArtProcessors sebenarnya sudah ada yaitu Siji AR, binaan dari Telkom. Teknolgi yang disajikan ini telah hadir di Museum Naskah Proklamasi, Museum Kebangkinan Nasional, Museum sumpah pemuda, dan Diorama Telkomsel.