Setelah proses negosiasi panjang antara pemerintah dengan pihak Apple Inc. terkait pemenuhan TKDN pemasaran produk iPhone di Indonesia, pihak Apple mengumumkan komitmennya untuk investasi dalam bentuk pendirian pusat pengembangan. Dengan nilai investasi mencapai $44 juta dan digunakan dalam tiga tahun mendatang. Kepastian tentang hal tersebut disampaikan langsung oleh I Gusti Putu Suryawirawan, Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika.
Langkah Apple ini juga menjadi tindak lanjut setelah sebelumnya berhasil mengantongi sertifikasi konten lokal untuk perangkat iPhone teranyar. TKDN yang akan ditegakkan mulai 2017 ini memaksa pengembang perangkat ponsel 4G/LTE untuk memberikan porsi SDM lokal untuk berkontribusi, baik dalam bentuk pengembangan perangkat lunak ataupun perakitan keras. Visinya pemerintah ingin memastikan bahwa Indonesia tidak hanya dimanfaatkan sebagai ladang konsumen saja, melainkan ada timbal balik yang memberikan insight seputar pengembangan produk tersebut.
Pengembangan Apple Innovation Center di beberapa kota Indonesia
Secara bertahap pusat inovasi akan dikembangkan mulai tahun 2017 dalam bentuk Apple Innovation Center (AIC), ditempatkan di 4 kota yakni Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surakarta. Disampaikan langsung Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto bahwa AIC akan turut memberikan pelatihan dan pengembangan SDM, khususnya untuk bisa mengembangkan startup baru. Setiap tahun ditargetkan 1800 orang bisa dilatih melalui pusat inovasi tersebut.
Lalu apakah pengembangan pusat inovasi tersebut sudah tepat, baik untuk kebutuhan Apple atau khususnya untuk masyarakat Indonesia?
Untuk menjawabnya kami mencoba berbincang dengan pakar dan pengamat TIK di Indonesia, dalam hal ini bersama Executive Director di Indonesia ICT Institute Heru Sutadi. Menurutnya jika melihat aturan yang dikeluarkan kehadiran AIC masih kurang signifikan dampak yang dihadirkan. Aturan pemerintah membuat TKDN untuk keterlibatan inovator lokal dalam pengembangan hardware dan software.
Tujuannya jelas, salah satunya akan bermuara pada penyerapan tenaga kerja. Terlebih lapangan kerja saat ini juga menjadi permasalahan bagi Indonesia. Tiap tahun banyak lulusan teknik dari berbagai perguruan tinggi tidak mendapatkan pekerjaan, atau kalaupun bekerja bukan di bidangnya. Padahal kalau vendor ponsel membuka pabrik, engineer dari lulusan dalam negeri dapat terserap, kemudian ada bagian marketing, bahkan security, sehingga akan membuka banyak lowongan kerja.
“Pembentukan Innovation Center bagus secara nama, namun tidak bermanfaat apa-apa. Beberapa bukti, konsep ini sudah dikembangkan beberapa vendor sebelumnya, yang kerja sama dengan beberapa kampus. Yang terjadi cuma penempatan perangkat dan perangkat itu dipakai untuk semacam lab saja. Jadi hampir tidak ada pembukaan lapangan kerja baru. Ini yang tidak dimengerti oleh teman-teman yang membuat regulasi,” tegas Heru kepada DailySocial.
Heru melanjutkan sembari menuturkan pengalamannya bersama pusat R&D di Jerman, “Kalau saya melihat Research and Development (R&D) beda dengan hanya Innovation Center, sebab R&D akan melibatkan banyak orang untuk melakukan riset, pengembangan perangkat serta mengintegrasikan perangkat, dari hardware, software, hingga aplikasi. Kalau nanti yang dibangun atau yang dimaksud dengan Apple Innovation Center itu pusat R&D, maka itu sudah tepat. Sebaliknya kalau cuma sekadar Innovation Center dan tidak melakukan riset, pengembangan serta integrasi, saya merada manfaatkan akan tidak begitu besar.”
Urgensi Apple mengejar lulus aturan TKDN di Indonesia
Berbicara soal urgensi, tech blogger dan pengamat digital Aulia Masna kepada kami memberikan pemaparan menarik. Menurutnya apa yang dilakukan Apple sebenarnya akan dihitung berbanding lurus dengan apa yang sudah/akan didapat dari konsumen Indonesia. Produk Apple saat ini segmentasinya sangat gamblang, diminati oleh kalangan terbatas (menengah ke atas). Daya belinya masih sedikit jika dipatok dengan jumlah konsumen perangkat mobile di Indonesia, dan jumlah penjualannya belum pun berarti besar. Terlebih secara kasat mata bisa dinilai, penikmat produk Apple yang masih minim tersebut umumnya orang-orang yang punya akses beli ke luar negeri.
Kendati demikian Aulia juga menyampaikan tentang sebuah strategi yang memang harus Apple bangun sejak dini. Jika Apple tidak menggarap pasar Indonesia secara serius dari sekarang, maka ketika nantinya sudah banyak konsumen yang mampu menjangkau produk-produknya, brand-image dan brand-loyality akan sangat minim. Ini bisa menjadi apa yang dipikirkan Apple saat ini, membaca dan mempertimbangkan tren yang akan datang dengan bertumbuhnya ekosistem produk Apple di Indonesia.
“Lagian brand Apple kan dilihat sebagai panutan. Orang pengen punya iPhone tapi bakal beli yang lebih murah kalau nggak mampu. Saat sudah mampu mereka bakal beli iPhone,” pungkas Aulia.