Beberapa waktu lalu, melalui Satgas Anti-Pembajakan yang pernah diinisiasi, Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif) mengumumkan telah menutup puluhan situs online yang menyebarkan karya musik dan film digital bajakan. Mungkin langkah semacam ini bukan hal baru yang pernah kita dengar. Sebelumnya pemerintah melalui badan lainnya juga sering melakukan perang konten negatif dengan cara yang sama. Hasilnya terlihat booming sesaat, namun tak signifikan mengubah. Mati satu, tumbuh seribu.
Muncul sebuah pertanyaan, “apakah proses pemblokiran adalah langkah tepat di tengah lautan digital Indonesia yang makin terfragmentasi?”.
Menurut Ketua Satgas Anti-Pembajakan Bekraf Ari Juliano Gema, pemblokiran dinilai efektif menurunkan arus pengguna, meskipun selalu ada cara untuk mengakali, misalnya dengan mengganti nama domain. Selain itu langkah penutupan situs ini juga dilakukan untuk mengurangi periklanan judi dan pornografi yang biasa dipakai situs film dan musik bajakan.
“Dengan hancurnya traffic, iklan tidak mau datang. Situs ilegal itu pasti kesulitan bertahan karena mereka butuh server yang biayanya tidak murah,” ungkap Ari seperti dikutip dari BeritaSatu.
Layanan streaming belum mendominasi, tapi ada potensi tinggi di dalamnya
Sebagai representasi pemerintah untuk membereskan kasus di industri kreatif, Bekraf sudah menawarkan beberapa alternatif untuk suksesi industri ini. Sebut saja rencana pengembangan Gempita, sebuah paket komplit yang menyajikan kepada industri musik keperluan pemasaran, perlindungan HAKI hingga penyampaian produk ke konsumen. Layanan yang dinilai akan mirip Spotify tersebut (di sisi konsumen) dilansir lantaran tren pengguna sudah mulai ke sana.
Dalam sebuah survei tentang penikmat musik di Indonesia, DailySocial mengemukakan sebuah fakta bahwa tren ini masih belum menyeluruh. Tercatat hanya 29,54 persen dari responden survei yang mendengarkan musik melalui layanan streaming, sedangkan 70,46% sisanya masih memilih jalur offline. Namun menariknya lebih dari separuh responden mengatakan memiliki kemauan untuk segera beralih ke layanan musik streaming yang saat ini sudah mulai ramai di pasaran.
Model streaming adalah salah satu yang bisa dioptimalkan untuk penyampaian karya digital ke tangan konsumen dengan cara yang legal. Cara lain pun masih banyak yang bisa dioptimalkan, misalnya dengan memberikan ruang penjualan yang lebih luas dan edukasi dini tentang HAKI. Di lapangan sangat banyak orang yang sebenarnya tidak sadar, bahwa apa yang mereka konsumsi (karya digital) adalah sesuatu yang tidak legal. Carut-marut konten di internet membuatnya kadang sulit dibedakan oleh masyarakat awam.
Membatasi yang ilegal, menyuburkan yang legal
Kami pun coba meminta pendapat dari pelaku di industri musik sekaligus digital di Indonesia saat ini, terkait dengan langkah antisipasi yang pas untuk melindungi bisnis tersebut.
“Aksi anti pembajakan oleh Bekraf is politically necessary. Efektivitas nomor dua. Bayangkan, aksi anti pembajakan itu kayak satpam dan metal detector di mall. It acts as a deterrence rather than actual enforcement or prevention,” ujar Ario Tamat, salah satu profesional di bidang entertainment dan digital.
Jika dilihat dari satu sisi, aksi pemblokiran ini akan terlihat efektif. Memburu sumber konten pembajakan dan menghentikannya bisa menjadi cara yang pas dengan tujuan dan strategi yang jelas.
“Pokoknya hidup pembajak dibuat sesusah mungkin, begitu sih kata Bekraf. Kalau objektifnya ini sih saya setuju. Gempita, TELMI, tidak cukup. Harus bisa membuka jalan untuk pengusaha creative economy dengan membuat solusi-solusi bagi industri musik dan film juga. Buka peluang bisnis sebesar-besarnya untuk bisa bersaing di pasar, jangan cuma memikirkan inisiatif level nasional.” lanjut Ario.
Nyatanya pembajakan seperti sebuah virus yang sudah bertahun-tahun dihadapi tapi tak pernah punah.
“Pembajakan sih tidak akan hilang, tapi untuk mereka beroperasinya saja yang dipersulit. Dengan dukungan yang sesuai untuk alternatif pilihan layanan dan metode distribusi musik lain, baru jalan. Harus jalan bareng,” pungkas Ario.