Antara Prestasi dan Konten Tim Esports, Mana yang Lebih Penting?

Apa resep membangun organisasi esports yang sukses? Terus mengejar prestasi atau rajin menyajikan konten kreatif? Atau malah, keduanya saling melengkapi?

Memiliki tim esports papan atas mungkin menjadi salah satu mimpi besar dari para penggemar esports. Aktualisasi diri sebagai gamers terbaik, banyak uang, dan dikagumi banyak orang, jadi beberapa alasan kenapa punya tim esports menjadi hal yang diimpikan. Tetapi membangun organisasi esports bukanlah perkara yang mudah.

Nyatanya butuh modal yang besar untuk mencapai kejayaan tersebut. Misal jika Anda bercita-cita punya tim yang menjadi juara Dota 2 The International, Anda butuh modal pada kisaran ratusan juta rupiah untuk PC High-End, internet, gaji pemain, gaminghouse, dan berbagai tetek-bengek biaya operasional lainnya.

Namun, selain mengejar prestasi, konten mungkin bisa dibilang menjadi alternatif yang relatif murah-meriah untuk mengumpulkan modal. Kisah sukses ini sempat saya bahas saat menulis profil FaZe Clan, sebuah organisasi esports yang mengawali hidupnya sebagai clan hura-hura dengan channel YouTube berisikan sajian konten trickshot keren.

Pada sisi lain ada juga kisah sukses tim esports lain yang mengawali perkembangannya dari prestasi. Kisah sukses tersebut datang dari Team Liquid, yang sedari awal memang diciptakan sebagai clan gaming kompetitif, dan menuai sukses dari dominasinya di ragam skena esports di dunia.

Prestasi vs Konten, jadi juara atau menjaring exposure, apa sebenarnya resep membangun organisasi esports yang sukses? Berikut pembahasan saya.

Biaya Untuk Mengelola Sebuah Tim Juara

Mengumpulkan prestasi, mungkin jadi satu resep paling umum yang dilakukan organisasi esports untuk menjadi sukses. Contoh saja T1, yang selama tahun 2020 dapat banyak sekali sponsor karena prestasi, mulai dari Nike, Logitech G, sampai monitor Samsung. Memang sih, sepertinya agak muluk-muluk jika kita ingin seperti T1 yang juara dunia 3 kali berturut-turut di salah satu skena esports paling populer di dunia, League of Legends.

Supaya tidak kejauhan, mari kita coba intip dari kacamata lokal saja. Sebagai contoh kasus di skena lokal, saya menggunakan divisi AOV milik EVOS Esports, yang pencapaiannya mirip T1, cuma saja di tingkat nasional… Hehe.

EVOS AOV mencatatkan rekor juara 3 kali berturut-turut di turnamen tingkat nasional lewat gelaran AOV Star League Musim pertama, kedua, dan ketiga.

Kemenangan ini menjadi pundi-pundi pendapatan yang cukup besar bagi manajemen EVOS Esports. Tercatat EVOS AOV menerima Rp500 juta dari ASL Season 1 juga 2, dan Rp355 dari ASL Season 3. Jika hanya menghitung hadiah ASL saja, maka EVOS AOV sudah mengumpulkan pundi-pundi sebesar Rp1,3 miliar. Kami juga pernah menuliskan total pendapatan EVOS dari hadiah kemenangan selama tahun 2019.

Jumlah yang besar?

Sepertinya sih lumayan, tapi coba kita lihat berapa biaya operasional untuk mengelola tim tersebut. Untuk mengetahui hal ini, saya mewawancarai sahabat saya, Hilmy Khairy yang juga dikenal sebagai Hiruma, Deputy of Esports di EVOS Esports. Sebelum menempati jabatannya sekarang, ia merupakan manajer tim EVOS AOV.

Lalu saya bertanya, kira-kira berapa biaya operasional yang dibutuhkan oleh tim EVOS AOV? “Wah ini rahasia sih, tapi setiap bulan kurang lebih ada total puluhan juta rupiah dikeluarkan untuk operasional tim.” Jawabnya.

Lebih lanjut, Hilmy lalu menjelaskan apa saja biaya yang dikeluarkan oleh manajemen EVOS untuk mengelola divisi AOV. “Yang pasti gaji pemain dan staf, biaya gaming house, internet, pemeliharaan rumah, air dan listrik, serta biaya sehari-hari, dan biaya katering.”

Itupun belum semua, masih ada biaya-biaya tak terduga, yang biasanya muncul ketika tim tersebut menjalani pertandingan tatap muka. “Kalau tanding offline biasanya ada biaya tambahan, seperti uang transpor untuk datang ke menuju ke dan pulang dari event, ada juga cemilan untuk mood booster ketika tanding. Kalau hotel dan akomodasi untuk pertandingan di luar kota atau luar negeri biasanya ditanggung oleh penyelenggara acara." Tambah Hilmy.

Dari apa yang dijelaskan, mari kita kira-kira berapa biaya operasional untuk tim seperti EVOS AOV. Pertama-tama, gaji pemain. Hilmy memang tidak memberikan angkanya, namun ia mengatakan bahwa gaji tim EVOS AOV bervariasi mulai dari lebih dari UMR sampai 2 kali UMR.

UMR Jakarta saat ini adalah Rp4.276.349.906, kita bulatkan jadi Rp4,3 juta. Supaya lebih mudah, anggap saja semua gaji pemain EVOS AOV adalah 2 kali UMR yang berarti Rp8,6 juta dikalikan 5 orang. Baru menghitung gaji saja, kita sudah menyentuh angka pengeluaran sebesar Rp43 juta setiap bulannya.

Ini kita belum menghitung biaya sewa gaming house, internet, listrik dan air, laundry, katering, serta operasional bulanan lainnya. Anggap saja, jika ditotal semua, angka kasarnya bisa mencapai kisaran Rp80 juta setiap bulan. Dengan angka tersebut setiap bulannya, maka biaya operasional dari tim juara seperti EVOS AOV adalah Rp960 juta per tahun.

EVOS AOV saat memenangkan gelarn juara nasionalnya yang ketiga dalam gelaran ASL Indonesia Season 3. Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono

Angka yang cukup mengejutkan, apalagi pendapatan turnamen EVOS AOV dari turnamen AOV Star League cuma Rp1,3 miliar. Itupun didapatkan selama 3 musim yang berjalan selama satu setengah tahun. ASL Season 1 dan 2 diadakan pada tahun 2018, yang berarti EVOS AOV mendapatkan Rp1 miliar selama seathun dari turnamen.

Manajemen tim tidak mengambil semua hadiah turnamen, mereka hanya mengambil sebagian saja dari hadiah yang didapatkan. Hilmy menceritakan, organisasi esports punya sistem potongan hadiah yang bervariasi mulai dari 20% hingga 40%. Dengan asumsi EVOS menggunakan potongan yang terbesar, ini berarti manajemen hanya mendapat Rp400 juta saja. Jika hanya mengandalkan hadiah turnamen, sudah pasti manajemen tidak dapat menutup biaya operasional tahunan tim tersebut.

Tetapi memang pada kenyataannya pendapatan bagi organisasi esports sebesar seperti EVOS Esports tidak terbatas pada satu tim saja dan juga tidak berasal hanya dari satu muara saja. Pembahasan singkat tadi mungkin bisa menjadi gambaran yang sangat kasar, bahwa biaya operasional tim itu besar dan hadiah turnamen tidak dapat menutupnya.

Namun itu harusnya tidak masalah. Menurut asumsi saya, semua biaya yang dikeluarkan tersebut lebih bersifat investasi, yang timbal baliknya bisa sangat beragam bagi sang organisasi di masa depan nanti.

Mengintip Sumber Pemasukan Tim Esports

Sebelum kita melaju ke pembahasan berikutnya, mari kita bahas dulu, sebenarnya apa saja ladang bisnis dari tim esports. Memang sebenarnya asumsi bahwa organisasi esports hanya mengandalkan hadiah turnamen sebagai satu-satunya sumber pendapatan adalah penyederhanaan yang kelewatan. Mungkin hanya tim amatir atau semi-pro yang melakukan praktik seperti itu.

Organisasi esports sebesar seperti EVOS Esports, Rex Regum Qeon, BOOM Esports, atau Bigetron Esports, biasanya punya lebih dari satu sumber pendapatan. Bahkan, hadiah turnamen mungkin bukan dianggap sebagai sumber pendapatan, melainkan hanya bonus atas kerja keras yang dilakukan manajemen dan pemain saja.

Dalam sebuah artikel blog milik penasihat investasi asal Amerika Serikat, Roundhill Investment, disebutkan bahwa setidaknya ada 6 sumber pemasukan lain dari sebuah organisasi esports. Dalam artikel berjudul “How Esports Teams Make Money”, dikatakan bahwa sumber pemasukan organisasi esports termasuk sponsorship, advertising, merchandise, league revenue sharing, dan ticket sales.

Sponsorship mungkin jadi satu pemasukan terbesar. Anda pembaca setia Hybrid.co.id mungkin sadar akan hal ini. Berita soal sponsorship menjadi salah satu berita yang paling sering berseliweran di portal kami. Dari ekosistem lokal terakhir kali kita melihat EVOS disponsori oleh Lazada pada 15 April 2020 lalu. Dari ekosistem internasional biasanya lebih banyak lagi berita-berita sponsorship terhadap tim esports.

Mengutip data dari Newzoo, sponsorship ternyata memang sumber pemasukan terbesar esports, baik bagi organisasi esports atau penyelenggara turnamen esports. Menurut catatan sponsorship menyumbangkan pemasukan sebesar US$636,9 juta (sekitar Rp9,3 triliun) sampai Februari 2020 kemarin. Jumlah tersebut merupakan jumlah yang terbanyak, dibanding sumber pemasukan lainnya.

Lalu penjualan merchandise. Ini juga menjadi satu sumber pemasukan yang menggiurkan, terutama jika tim esports tersebut punya derajat yang tinggi di dalam skena, dan dilengkapi dengan ragam rancangan busana yang mencerminkan personalita para penggemarnya.

Di luar negeri, FaZe Clan jadi organisasi esports yang giat menjalankan bisnis merchandise. Mereka bahkan dengan berani menyatakan ambisinya untuk menjadi Supreme-nya esports. Di Indonesia, EVOS jadi salah satu organisasi esports yang meraup cukup banyak dari bisnis merchandise. Menurut laporan terakhir, EVOS dikabarkan menerima Rp150 juta hanya dari penjualan merchandise selama M1 dan MPL ID Season 4.

Selanjutnya, bagi hasil kompetisi liga dan penjualan tiket mungkin jadi sumber pemasukan yang masih gelap di kancah lokal. Sejauh ini, belum ada pertandingan esports dalam negeri yang berhasil untung besar dari penjualan tiket. Sehingga kita masih belum bisa membahas penjualan tiket sebagai sumber pemasukan tim esports.

Lalu kalau soal bagi hasil, MPL Indonesia menerapkan sistem liga franchise pada musim keempat yang juga menerapkan sistem bagi hasil antara tim-tim yang berlaga.

Jumlahnya tidak diketahui, namun Senior Editor Hybrid Esports, Yabes Elia sempat berbincang dengan Chandra Wijaya, Managing Director ONIC Esports membahas buah investasi slot MPL ID Season 4. Jika Anda penasaran bagaimana dampak franchise league MPL ID S4 kepada aspek bisnis sebuah tim esports, Anda bisa menyaksikan video interview tersebut di bawah ini.

Dari semua beragam sumber pemasukan tim esports, bagaimana konten berperan dalam perkembangan tim esports? Mari kita bahas pada bagian berikutnya.

Konten Sebagai Sumber Pemasukan Tim Esports

Sebelum membahas lebih jauh, mari kita samakan persepsi terlebih terhadap apa yang dimaksud dengan konten. Dalam pembahasan ini, kita akan membatasi pembahasan konten kepada konten kanal media sosial Instagram, konten video kreatif pada platform YouTube, dan juga konten video live-streaming.

Dari sumber pemasukan tim esports yang kita bahas sebelumnya, pemasukan yang bisa didapatkan oleh konten mungkin bisa dibilang di dalam irisan pemasukan advertising dan juga sponsorship. Mengapa demikian? Karena sponsorship bisa menyertakan kerja sama konten di dalamnya dan konten juga bisa mendapat pemasukan khusus berupa advertising atau iklan brand dalam satu konten milik tim esports.

Jika kita berkaca kepada esports di luar negeri, FaZe Clan mungkin bisa dibilang menjadi contoh paling ideal dari bagaimana sebuah organisasi esports memanfaatkan konten sebagai sumber pemasukan mereka. Jika kita merujuk kepada situs analitik media sosial, Socialblade, kita bisa melihat bahwa channel YouTube milik FaZe Clan merupakan salah satu yang terbesar dalam kategori gaming. Tercatat channel YouTube FaZe Clan sudah di-subscribe oleh 7 juta orang dan bisa menghasilkan sampai dengan US$1,5 juta (sekitar Rp22 juta).

Namun estimasi penghasilan tersebut sebenarnya baru berasal dari Google AdSense saja. Terlebih, walau terlihat sangat besar, jumlah tersebut sebenarnya belum seberapa bagi organisasi esports yang, menurut Forbes, memiliki nilai valuasi sebesar US$240 juta (sekitar Rp3,5 triliun).

Walau secara estimasi pemasukan Google AdSense tidak sebegitu besar, namun sajian konten menghibur yang dinikmati oleh banyak orang dari FaZe Clan membuka peluang bisnis lain. Seperti yang saya sebut di awal, yaitu sponsorship dan advertising. Contoh nyata dari hal ini adalah kolaborasi antara FaZe Clan dengan Manchester City.

Dalam kerja sama Co-Branding tersebut dikatakan bahwa penggunaan jersey Manchester City dengan elemen brand Faze Clan menjadi salah satu hal yang dilakukan dalam kerja sama ini. Namun selain itu, ada juga kerja sama konten yang dilakukan oleh keduanya. Dengan jutaan view dari setiap konten yang diungga oleh FaZe Clan, tak heran jika sponsor berebut ingin dapat kesempatan berkolaborasi dengan organisasi esports yang mengawali perjalanannya dari Call of Duty tersebut.

Melihat industri gaming dan esports yang sedang “panas” belakangan. Tak heran jika berbagai brand, baik endemik dan non-endemik, ingin merebut perhatian sebagian dari seluruh penonton esports yang menurut Newzoo mencapai 495 juta orang di dunia.

Selain konten di YouTube, bidang lain yang tak kalah menjanjikan dari aspek konten bagi organisasi esports adalah live-streaming. Twitch sebagai platform yang paling menonjol dengan total waktu tonton mencapai 3 miliar jam pada Q1 2020 lalu, menjadi wadah terbaik bagi organisasi esports untuk menjangkau para penggemarnya.

Pada ekosistem esports luar negeri, tak heran jika kita melihat organisasi esports memiliki seorang streamer yang melakukan streaming dengan menggunakan nama organisasi tersebut. Team SoloMid misalnya, punya Ali Kabbani (Myth) sebagai kreator konten serta streamer untuk mewakili brand organisasi esports asal Amerika Serikat tersebut. FaZe Clan juga, yang dahulu memiliki Turner Tenney (tfue) sebagai streamer serta konten kreator andalan mereka, walaupun akhirnya ditinggal karena skandal kontrak yang eksploitatif.

Dari contoh kasus di atas, kita melihat bagaimana konten juga menjadi sumber pemasukan yang menjanjikan bagi organisasi esports. Lalu bagaimana dengan organisasi esports di Indonesia? Jika bicara live-streaming, satu perbedaan yang paling terasa adalah posisi Twitch yang tidak relevan bagi pasar gaming Indonesia.

Mengutip laporan Esports Markets Trend yang dirangkum oleh DSResearch pada September 2019 lalu, 84,6 persen dari 1.445 total responden masih memilih YouTube sebagai platform favorit untuk menonton konten gaming.

Untuk melihat peran konten bagi organisasi esports Indonesia, saya mengmbil contoh Rex Regum Qeon, yang punya kanal YouTube dengan 1,49 juta subscriber, salah satu yang terbanyak di Indonesia. Jika mengutip data Socialblade, channel milik salah satu tim esports papan atas Indonesia ini ternyata bisa menghasilkan paling banyak sebesar US$17,4 ribu (sekitar Rp258 juta) per bulan dengan total US$208,5 ribu (sekitar Rp3 miliar) per tahun dari Google AdSense.

Lucunya angka tersebut ternyata bersaing dengan total hadiah kemenangan yang didapat RRQ sepanjang tahun 2019 yang setidaknya mencapai Rp5,7 miliar. Apalagi, seperti yang sudah kita bahas di awal artikel tadi, tim esports biasanya tidak mengambil semua hadiah turnamen, melainkan paling banyak hanya 40% bagian saja.

Jadi, jika dengan asumsi RRQ memotong 40% bagian dari hadiah turnamen yang didapat pemain, manajemen RRQ berarti hanya menerima Rp2,2 miliar, Rp800 juta lebih kecil dibanding dari pendapatan Google AdSense YouTube Channel yang mereka miliki.

Lalu bagaimana soal pengeluaran untuk membuat konten? Gaji untuk seorang streamer bisa jadi lebih mahal atau lebih murah ketimbang gaji yang dibutuhkan untuk satu tim esports. Anggaplah tadi gaji untuk tim AOV untuk EVOS ada di kisaran Rp43 juta sebulan atau gaji minimal untuk tim MPL ID adalah Rp45 juta sebulan (Rp7,5 juta x6), nominal ini juga bisa jadi sama besarnya untuk membayar gaji bulanan streamer beserta tim produksinya (video editor, videografer, dkk.). Belum lagi jika kita berbicara soal alat-alat yang dibutuhkan, seperti kamera, webcam, PC untuk editing video. Modal awal untuk kebutuhan peralatan tadi mungkin saja mencapai Rp50-100 jutaan untuk sebuah kanal konten video. Untungnya, modal untuk peralatan ini mungkin memang tidak rutin -- kecuali setiap bulan banting kamera.

Meski pengeluaran untuk tim esports dan tim kreator konten bisa jadi sama besar atau bahkan lebih mahal tim konten-nya (tergantung dari prestasi para pemain tim esports-nya), satu hal yang tak bisa dipungkiri adalah membangun tim juara itu mungkin lebih sulit dilakukan ketimbang membangun tim konten yang populer.

Sumber: PUBG Mobile Esports

Kenapa? alasannya ada 2. Pertama, industri konten sudah jauh lebih matang dan tua ketimbang industri esports. Para profesional yang piawai merekam video atau mengedit bisa ditemukan dari industri-industri hiburan di luar esports. Demikian juga peralatannya. Misalnya, Anda bisa saja menemukan setiap komponen untuk merakit desktop PC kelas proletar sampai kelas sultan di Indonesia. Sedangkan di esports, para pemain yang masuk di kategori papan atas masih sangat terbatas. Demikian juga dengan pelatihnya, misalnya. Anda tidak bisa merekrut pelatih sepak bola untuk melatih tim Dota 2 dan berharap ia bisa dengan mudah beradaptasi -- tidak seperti videografer atau video editor dari industri hiburan di luar esports.

Alasan kedua kenapa membangun tim juara lebih sulit karena memang caranya cuma satu; yaitu memiliki kemampuan yang hebat agar bisa jadi juara. Kemampuan ini kemungkinan besar tidak akan bisa didapat dengan cara instan. Kekompakan tim saat bertanding juga demikian.

Sedangkan popularitas konten? Ada banyak cara untuk bisa mencari popularitas. Para streamer perempuan bisa saja memanfaatkan eksplorasi tubuh dan wajah. Faktanya, wajah cantik ataupun bodi ciamik bisa didapatkan dengan mudah -- jika Anda beruntung dalam undian genetik. Ada juga streamer yang lebih suka memanfaatkan perilaku menyimpang dan kata-kata kasar untuk memancing popularitas. Kenyataannya, popularitas itu memang seringnya tidak berbanding lurus dengan kapabilitas. Anak kecil makan bakso saja bisa jadi populer tanpa perlu ribuan jam berlatih layaknya tim esports. Sebaliknya, Anda tidak bisa jadi juara kompetisi hanya dengan menunjukkan belahan dada -- kecuali mungkin memang kompetisinya soal itu...

Batasan etika dari definisi juara itu memang jauh lebih sempit, ketimbang populer. Faktanya, organisasi esports juga memanfaatkan gadis-gadis cantik untuk mendulang popularitas -- yang sebelumnya juga pernah kami bahas.

Kesimpulan

Melalui pembahasan yang telah kita lakukan, kita setidaknya bisa mendapat gambaran kasar, apa yang bisa didapatkan organisasi esports atas prestasi yang mereka kejar dan konten-konten kreatif yang mereka produksi.

Jadi, prestasi atau konten? Sepertinya keduanya seperti dua sejoli yang tak terpisahkan dan saling melengkapi dalam proses perkembangan sebuah organisasi esports.

Toh tim yang berat ke konten seperti FaZe Clan, pada akhirnya juga berambisi menjadi juara, sampai-sampai rela keluar US$700.000 pada tahun 2016 hanya untuk membeli roster CS:GO. Team Liquid yang gencar mengejar prestasi juga tetap membuat konten agar mereka tetap eksis di dunia maya.

Bahkan RRQ yang punya orientasi menjadi juara, tetap memanfaatkan popularitas atas kemenangan mereka sebagai konten agar tetap menghasilkan pundi-pundi untuk membantu membawa RRQ kepada kesuksesan.

Apalagi, faktanya, membangun tim juara itu tetap butuh waktu yang panjang -- setidaknya tidak sesingkat menemukan gadis-gadis berparas menarik ataupun streamer yang lucu dan kontroversial.