Dark
Light

Ancaman Generative AI di Mata Pemeran Figuran Hollywood

4 mins read
August 10, 2023
Penggunaan AI di Hollywood

Aksi mogok kerja massal yang dilakukan para pekerja Hollywood masih terus berlangsung. Berawal dari aksi mogok para penulis di bulan Mei, para aktor dan aktris pun pada akhirnya juga ikut mengambil langkah yang sama. Tuntutan yang diajukan oleh serikat pekerja yang mewakili masing-masing pihak ada banyak, namun satu yang cukup menarik adalah yang berkaitan langsung dengan tren generative AI.

Sama halnya seperti industri kreatif lain, industri perfilman pun tidak luput dari kekhawatiran akan ancaman yang dibawa oleh generative AI. Para penulis takut pekerjaannya direbut oleh AI yang jago menulis naskah fiksi, sementara para aktor dan aktris khawatir perannya akan tergantikan oleh replika digital yang dibuat menggunakan AI.

Screen Actors Guild – American Federation of Television and Radio Artsits (SAG-AFTRA), serikat pekerja yang merepresentasikan sekitar 160.000 aktor dan aktris Hollywood, mengambil keputusan untuk melakukan aksi mogok pada 13 Juli lalu setelah gagal bernegosiasi dengan Alliance of Motion Picture and Television Producers’ (AMPTP), serikat dagang yang mewakili pihak studio dan produser. SAG-AFTRA menilai kontrak yang dijanjikan AMPTP masih belum bisa menjamin kesejahteraan para aktor dan aktris.

Detail kontrak AMPTP sendiri sempat dibeberkan secara cukup merinci melalui sebuah pernyataan resmi. Satu poin yang mencuri perhatian adalah: “Proposal AI yang melindungi kemiripan digital para artis, termasuk persyaratan persetujuan artis untuk pembuatan dan penggunaan replika digital, atau untuk perubahan digital pada sebuah pertunjukan.”

Namun hal ini bertolak belakang dengan yang disampaikan Duncan Crabtree-Ireland selaku negosiator utama SAG-AFTRA. “Mereka mengusulkan agar para pemain figuran kami dapat dipindai, menerima upah satu hari, dan perusahaan merekalah yang menjadi pemilik hasil pindaian tersebut, gambarnya, kemiripannya, dan dapat menggunakannya selama-lamanya dalam proyek apa pun yang mereka inginkan, tanpa persetujuan dan tanpa kompensasi,” jelas Duncan dalam sebuah konferensi pers, seperti dikutip dari The Verge.

AMPTP membantah klaim tersebut. Juru bicara AMPTP, Scott Rowe, menjelaskan bahwa proposal yang mereka buat hanya mengizinkan perusahaan untuk menggunakan replika digital dari pemain figuran dalam film yang memang memakai jasa dari aktor/aktris tersebut. Di luar itu, perusahaan harus meminta izin sang aktor/aktris dan membayarnya lagi.

Mana yang benar kita tidak bisa tahu. Namun yang pasti praktik pembuatan replika digital para aktor/aktris ini sudah dijalankan cukup lama, bahkan jauh sebelum topik generative AI marak dibicarakan seperti sekarang.

Pemindaian digital tanpa persetujuan yang jelas

Berdasarkan wawancara yang NPR lakukan dengan sejumlah pemain figuran, praktik pemindaian digital oleh studio Hollywood ini bahkan sudah dilakukan sejak 2019. Secara umum, mereka diminta untuk menandatangani non-disclosure agreement (NDA) untuk keperluan tersebut.

Salah satu studio besar yang melakukan praktik pemindaian digital terhadap para pemain figuran adalah Disney. Hal ini berdasarkan pengakuan seorang aktris figuran bernama Alexandria Rubalcaba, yang menjalani proses pemindaiannya selagi terlibat dalam produksi serial “WandaVision”.

Kala itu, ia bersama lusinan pemain figuran lain diminta untuk secara bergantian berdiri di tengah suatu alat khusus yang dilengkapi seabrek kamera selagi berpose sesuai permintaan. Mereka diminta untuk menunjukkan ekspresi ketakutan, ekspresi terkejut, membentangkan tangannya keluar, dan masih banyak lagi. Prosesnya memakan waktu sekitar 15 menit per orang.

Yang mengkhawatirkan adalah, para aktor dan aktris figuran itu sama sekali tidak diberi tahu kapan dan bagaimana replika digitalnya ini akan digunakan. Lebih parahnya lagi, mereka tidak akan menerima bayaran ekstra seandainya replika digital tersebut digunakan di proyek-proyek lain. Wajar jika kemudian mereka khawatir bakal tersingkirkan oleh AI (yang dipakai untuk membuat replika digital tersebut).

Para pemeran figuran ini sebenarnya tidak setuju dirinya dipindai secara menyeluruh oleh studio-studio film. Namun sering kali mereka terpaksa menyetujui karena takut bakal kehilangan peluang untuk bekerja di proyek-proyek lain di kemudian hari.

Namun kalau seandainya benar mereka tidak akan mendapatkan kompensasi apa-apa dari penggunaan replika digitalnya di kemudian hari, maka bisa dibilang fungsi dari keputusan menyetujui praktik pemindaian tersebut hanyalah sebatas menunda akhir dari karier mereka.

Evolusi implementasi teknologi digital di industri perfilman

Penggunaan teknologi digital super-canggih bukanlah sesuatu yang asing di Hollywood. Film-film seperti “Lord of the Rings” dan “Game of Thrones” merupakan contoh bagaimana teknologi digital dipakai untuk menciptakan adegan perang epik yang melibatkan ribuan orang.

Belakangan ini, semakin banyak raksasa teknologi yang terjun ke industri perfilman. Salah satu contohnya adalah Apple, dan mereka pun juga ikut memanfaatkan kemajuan teknologi dalam proyek-proyeknya.

Di serial “Ted Lasso” misalnya, Apple memanfaatkan teknik yang dikenal dengan istilah crowd tiling untuk menciptakan adegan di dalam stadion yang penuh sesak. Dengan bermodalkan replika digital dari hanya 20 pemeran figuran saja, mereka bisa menciptakan adegan yang menampilkan sekitar 26.000 orang yang memenuhi stadion tersebut.

Dengan adanya generative AI yang super-kapabel seperti sekarang, situasinya pun bakal berubah. Pasalnya, yang bisa dibuat secara digital sekarang bukan sekadar adegan-adegan keramaian saja.

Saat ini sudah ada banyak tools berbasis AI yang dapat digunakan dalam tahap penyuntingan film. Tools seperti TrueSync besutan perusahaan bernama Flawless AI memungkinkan manipulasi pergerakan mulut aktor agar dapat secara otomatis mengikuti dubbing bahasa lain yang diterapkan. Disney pun punya tools AI untuk mengubah penampilan aktor menjadi lebih tua atau muda dalam waktu singkat.

Namun yang paling kontroversial tentu adalah penggunaan AI untuk membuat replika digital seorang aktor/aktris. Mulai dari suara, wajah, sampai keseluruhan tubuh aktor dan aktris kini dapat dibuatkan replika digitalnya dalam kualitas tinggi.

Melihat keberadaan tools AI semacam ini, para pemeran figuran di Hollywood khawatir mereka bakal jadi yang pertama dalam industri ini yang digantikan oleh AI.

Studio-studio sendiri punya alasan kuat untuk memanfaatkan teknologi replika digital berbasis AI. Andrew Susskind, seorang profesor sekaligus produser dan sutradara berpengalaman 30 tahun, mengatakan bahwa penggunaan pemeran figuran digital dapat mengurangi pengeluaran studio film secara signifikan.

“Bayangkan adegan ballroom, adegan pesat, adegan apa pun yang membutuhkan figuran dalam jumlah banyak. Bayangkan besaran uang yang akan mereka hemat. Tidak perlu membayar $180 per hari. Belum lagi ditambah uang makan, uang kostum,” jelas Andrew. Sebagai konteks, angka tersebut mengacu pada upah harian yang diterima para pemeran figuran Hollywood saat ini: $187.

Andrew sendiri memaklumi kekhawatiran yang disuarakan para aktor/aktris dan penulis terkait maraknya penggunaan teknologi AI, apalagi mengingat saat ini belum ada perundangan yang jelas yang mengatur bagaimana studio bisa menggunakan teknologi ini secara wajar.

Penggunaan AI harus sesuai persetujuan

Perlu diketahui, para aktor dan aktris yang tergabung dalam SAG-AFTRA bukanlah anti-AI. Mereka menyadari manfaat yang dibawa teknologi replika digital, seperti misalnya untuk membantu seorang aktor menjalani dua sesi syuting sekaligus. Namun mereka sepakat hanya akan mendukung kontrak yang menjamin kompensasi yang memadai bagi para aktor atas penggunaan kemiripannya.

AMPTP sendiri berkomitmen untuk memberikan kompensasi yang adil atas penggunaan replika digital aktor/aktris. Mereka mengatakan bahwa mereka hanya akan menggunakan kreasi AI tersebut setelah menerima izin dari sang aktor/aktris.

Namun seperti yang sempat disinggung di awal, ada perbedaan pandangan antara studio dan aktor/aktris terkait masalah perizinan tersebut. Studio pada dasarnya merasa mereka hanya perlu meminta izin satu kali saja, sementara para aktor/aktris menilai harus ada kontrak berbeda yang didiskusikan setiap kali replika digital mereka hendak digunakan.

Gambar header: Thea Hdc via Unsplash.

IGN chatbot AI panduan video game
Previous Story

IGN Luncurkan Chatbot AI untuk Panduan Video Game

Next Story

Newzoo: Industri Game Global Masih Tumbuh di 2023, Segmen Konsol Jadi Kunci

Latest from Blog

Don't Miss

Dampak AI Pada Transformasi Bisnis di Indonesia: TELKOM, BUMA, dan DANA Berbagi Pengalaman

Sadar akan potensi besar yang ada pada teknologi AI ini,

Sistem Leaderboard untuk Mengevaluasi Cara Berpikir AI Telah Diluncurkan

Dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun, Generative AI telah