Beberapa kali mungkin kita pernah mendengar inisiatif untuk mengangkat kota tertentu di Indonesia untuk menjadi pusat kewirausahaan digital, atau istilah kerennya “Silicon Valley-nya Indonesia”. Di Bandung dan Yogyakarta misalnya, pemerintah setempat mencanangkan kehadiran hub industri digital, dimulai dengan membangun fasilitas dan mencoba memberikan akses bisnis yang dibutuhkan.
Di Yogyakarta, dua lokasi di daerah Piyungan (Bantul) dan Sentolo (Kulon Progo) disiapkan dengan luas total wilayah mencapai 25,86 hektar untuk hub seperti ini. Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setda DIY Budi Wibowo menyebutkan bahwa dua area tersebut akan menjadi Silicon Valley-nya Indonesia. Investasi yang digelontorkan tidak sedikit, yakni senilai 7 triliun Rupiah.
Kondisi di Indonesia
E-Commerce menjadi salah satu industri yang sudah dalam tahap matang di Asia Tenggara dan di Indonesia. Perkembangannya kini dapat menjadi sebuah tolok ukur tentang bagaimana para pemainnya mampu menguasai pasar internet. Menariknya, pangsa pasar e-commerce di Indonesia didominasi kekuatan pemain lokal.
GO-JEK, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak menjadi startup yang telah mencapai gelar “unicorn”. Tahun ini beberapa startup juga tengah merencanakan untuk melakukan IPO (Initial Public Offering) untuk memperkuat permodalan guna melakukan ekspansi. Tahapan tersebut dibutuhkan, karena jika melihat data, pemain lokal telah mampu menjadi “raja” di Indonesia untuk beberapa lanskap penting, termasuk on-demand, hospitality, dan digital technology.
Sayangnya permasalahan justru hadir dari ketidaksiapan pasar. Sebagai contoh, setelah isu seputar persaingan layanan transportasi berbasis aplikasi dan konvensional mereda, kini permasalahan justru datang dari dalam. Mitra pengemudi menuntut upah yang lebih layak. Lagi-lagi ini tentang bagaimana regulasi selayaknya berperan menjadi kanopi bisnis digital itu sendiri.
Inovasi berjalan kencang, regulasi selalu berusaha untuk mengiringi, walaupun tidak mungkin secepat itu. Perbedaannya adalah seberapa fleksibel pemerintah menanggapi berbagai dinamika perubahan dari digitalisasi itu sendiri.
Silicon Valley sebagai role model
Pada pertengahan Februari 2016 lalu, Presiden Joko Widodo menyambangi daerah selatan San Francisco Bay Area untuk melihat secara langsung geliat ekosistem digital di sana. Jokowi bertemu dengan beberapa petinggi perusahaan teknologi, termasuk Mark Zuckerburg dan Sundar Pichai. Selain menjajal Oculus Rift untuk permainan virtual di kantor Facebook, kunjungan tersebut membawa pulang beberapa inisiatif, salah satunya upaya peningkatan kuantitas developer di Indonesia dan kegiatan akselerasi startup.
Pemerintah sendiri mencanangkan di tahun 2020 mendatang Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi digital terkuat di Asia Tenggara. Area digital dinilai penting menjadi ujung tombak ekonomi Indonesia, didasarkan pada kondisi populasi pengguna internet yang terus merangkak naik. Harapannya, persentase konsumen digital yang besar dapat diakomodasi dengan produk dan inovasi dari dalam negeri.
Inovasi, regulasi, dan akses menjadi sebuah sinergi yang kini tengah terus diupayakan berbagai pihak di Indonesia untuk mewujudkan cita-cita Silicon Valley tersebut. Penguatan inovasi dilakukan dengan berbagai program berbentuk inkubasi dan akselerasi. Di sisi lain, kendati belum sempurna, kebijakan pemerintah sudah mulai mengarah ke dukungan perkembangan teknologim misalnya aturan soal fintech, transportasi daring, atau investasi startup.
Beberapa pemain lokal tengah bersiap melakukan ekspansi ke wilayah regional. Hal ini menjadi kabar baik, karena ekspansi berarti menunjukkan operasi bisnis tersebut sudah menancapkan akar yang kuat di basis utamanya. Namun ekonomi digital tidak bisa ditopang melalui segelintir pemain saja. Definisi ekosistem adalah ketika banyak pemain terlibat di dalamnya untuk mendongkrak kemapanan industri digital itu sendiri.
Ada dua hal yang menjadi pusat perhatian ketika ingin mengadopsi “konsep Silicon Valley”, yaitu penataan industri digital dan kultur pengembangan bisnis yang ada di sana. Desain area bisnis di Silicon Valley memperlihatkan tentang bagaimana keteraturan diciptakan, memungkinkan kolaborasi dan kompetisi beradu bersama. Implikasinya dapat menciptakan pergerakan inovasi dan adopsi yang cepat untuk tren-tren digital terbaru.
Akhir-akhir ini “kerasnya” hidup dan bisnis di Silicon Valley membuat banyak startup hengkang. Salah satunya disebabkan gaya dan biaya hidup yang dirasa makin memberatkan para pelaku bisnis startup di sana.
Yang perlu dilakukan
Dalam laporan tahunan DailySocial, beberapa isu dipetakan sepanjang tahun 2017. Ada empat hal yang digarisbawahi, yakni Talent Shortage, Regulatory Hurdles, Matchmaking between Investors & Founders, dan Paradox of Unicorn. Terkait dengan talenta misalnya, permasalahannya bukan soal jumlah ketersediaan, melainkan soal kualifikasi. Hal ini menjadi PR bersama, khususnya pemerintah harus mengupayakan sistem pendidikan (kurikulum) yang mampu menunjang kebutuhan SDM yang berkualifikasi.
Jika melihat semangat yang dicetuskan pemerintah tentang “Silicon Valley”, ada kecenderungan hanya pada penyediaan infrastruktur tempat berkumpulnya para pelaku digital. Di luar fasilitas megah yang diciptakan, ada hal-hal fundamental yang perlu dioptimalkan terlebih dulu. Blok industri megah untuk bisnis teknologi tidak akan menunjukkan kemajuan tanpa diimbangi oleh hasil inovasi yang menakjubkan. Inovasi tersebut baru dapat tercetus jika isu mendasar, seperti SDM, regulasi, atau akses terhadap bantuan yang mendukung sudah berproses dengan baik.