Pajak adalah salah satu komponen penting yang ditarik dari individu atau korporasi guna menghidupi ekonomi suatu negara. Sebaliknya, bagi individu atau korporasi, pajak tak jarang dianggap penghalang dalam meraup untung semaksimal mungkin.
Kita dapat ambil contoh dari para raksasa digital yang sanggup melakukan manuver ajaib dalam menghindari pajak. Berbeda dengan individu yang hampir tak punya tenaga atau kemampuan untuk lari dari wajib pajak, korporasi raksasa bisa melakukannya.
Tentu saja, manuver pajak tak hanya dilakukan oleh perusahaan teknologi. Namun, menilik betapa dominan produk mereka dalam lini kehidupan manusia dewasa ini, ditambah riwayat perpajakan mereka dalam beberapa tahun terakhir, maka tak berlebihan menjadikan mereka contoh.
Google, Apple, dan Amazon adalah contoh paling jelas dalam penghindaran pajak (tax avoidance). Dengan segala kemampuannya, perusahaan-perusahaan tersebut dapat mencari celah hukum di sejumlah negara sehingga nominal pajak yang harus mereka bayarkan menjadi sangat kecil.
Amazon misalnya, meskipun tercatat sebagai salah satu perusahaan dengan valuasi terbesar di dunia saat ini, secara legal ia nyaris tidak membayar sepeser pun pajak pendapatan federal di Amerika Serikat. Mereka bisa demikian karena memindahkan pendapatannya ke negara-negara lain tanpa melanggar peraturan mana pun.
Skema Double Irish with Dutch Sandwich
Apa yang dilakukan Amazon, Google, maupun Apple dalam menghindari pajak tak lepas dari skema perencanaan pajak bernama Double Irish with Dutch Sandwich. Ini adalah skema yang memanfaatkan celah peraturan pajak di Irlandia, Belanda, juga negara suaka pajak di Karibia.
Skema ini berjalan ketika suatu perusahaan mendirikan dua anak perusahaan di Irlandia. Perusahaan pertama ini memang bertempat di Irlandia namun pengelolaannya berada di negara suaka pajak seperti Bermuda. Hukum di Irlandia menentukan kediaman subyek pajak mengikuti negara tempat perusahaan itu dikelola.
Perusahaan pertama tadi lalu mendirikan satu lagi perusahaan di Irlandia yang dikelola penuh di sana. Perusahaan kedua ini menampung hasil penjualan yang terjadi di pasar internasional. Hasil penjualan itu nantinya akan dioper lagi ke perusahaan pertama sebagai pembayaran royalti. Namun agar uangnya tetap utuh, mereka mentransfernya melalui anak perusahaan di Belanda.
Peraturan pajak di Belanda memungkinkan pembayaran royalti keluar dari satu perusahaan ke perusahaan lain dalam satu kawasan Uni Eropa dengan potongan pajak yang sangat kecil. Pada akhirnya keuntungan perusahaan dapat diparkir dengan tenang di perusahaan di Bermuda.
Mekanisme ini meski terlihat cukup rumit namun hasilnya sangat sepadan bagi perusahaan. Google berhasil memindahkan US$19,2 miliar atau Rp271,8 triliun dengan skema tersebut pada 2016, membuat mereka berhemat Rp5,3 triliun.
Upaya menutup celah
Double Irish with Dutch Sandwich memang skema yang cukup populer di telinga para pengangkang pajak legal. Namun sejatinya ia hanyalah satu dari sekian banyak metode transfer pricing yang belum banyak diketahui masyarakat pada umumnya.
Negara-negara yang kebijakannya dikangkangi perusahaan teknologi terkemuka pun tak tinggal diam. Mereka bertekad menambal kelemahan sistem perpajakan mereka dengan ketentuan pajak baru yang lebih agresif.
Langkah ini ditunjukkan sejumlah negara Eropa. Mereka berlomba-lomba membuat aturan baru agar bisa mengganjar pajak tambahan khusus bagi raksasa digital yang beroperasi di tanah mereka. Dalam hal ini Perancis berada di baris terdepan.
Pada Juli lalu, pemerintah Perancis meloloskan aturan bernama GAFA tax untuk mengenakan “pajak digital” sebesar 3 persen untuk perusahaan yang punya pendapatan global sedikitnya $845 juta atau Rp11,9 triliun dengan Rp394 miliar di antaranya berasal dari Perancis. Pajak itu juga disebut akan naik Rp7,7 triliun tiap tahun.
Pemerintah setempat menargetkan 30 perusahaan digital lewat peraturan ini, mayoritas di antaranya adalah raksasa digital Amerika Serikat. Google, Apple, Facebook, dan Amazon (akronim GAFA diambil dari keempat perusahaan ini) adalah empat target utama pemerintah Perancis lewat hukum barunya.
Namun upaya Perancis ini bakal menemui rintangan karena Amazon tak tinggal diam dengan sikap tersebut. Amazon bahkan mengancam balik mereka dengan menerapkan pajak 3 persen untuk para konsumen Perancis yang membeli barang lewat platform raksasa e-commerce ini.
Reaksi keras Amazon ini bisa dimaklumi karena mulai tahun depan Irlandia sebagai negara paling nyaman bagi raksasa teknologi itu akan menutup celah sistem perpajakan mereka. Dengan kata lain, tak akan ada lagi Double Irish with Dutch Sandwich.
Kondisi di Indonesia
Indonesia juga punya masalah dengan riwayat perpajakan para raksasa digital. Hal ini dapat tergambar pada tiga tahun lalu ketika pemerintah gencar mengejar pajak sejumlah perusahaan teknologi yang dianggap menghindar dari kewjajiban pajaknya.
Tiga tahun lalu Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan memperkirakan Google memiliki tagihan pajak senilai US$400 juta atau Rp5,2 triliun untuk tahun 2015. DJP bahkan menyebut Google hanya membayarkan 0,1 persen dari total pajak penghasilan (PPh), termasuk utang pajak penambahan nilai (PPn).
Kisruh pajak itu bisa terjadi salah satunya karena ada celah dalam tax treaty antara Indonesia-Singapura. Pada kesepakatan tax treaty itu tak terdapat aturan yang mengatur virtual presence suatu perusahaan sehingga Google tidak merasa wajib membentuk Bentuk Usaha Tetap (BUT) melainkan hanya kantor perwakilan lewat PT Google Indonesia.
Namun gelombang perlawanan negara terhadap raksasa digital juga terjadi di Indonesia. Setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi itu. Pertama adalah kepatuhan perusahaan digital yang mulai terwujud. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyebut Google sudah patuh dalam membayar PPh. Rudiantara juga menyebut Google tak lama lagi memberlakukan PPn 10 persen untuk layanan iklan mereka.
Kedua, Kemenkeu sedang menggodok Rancangan Undang-Undang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan yang akan menyentuh tiga UU sekaligus yakni UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU PPh, dan UU PPn. Salah satu aturan yang digodok dalam RUU tersebut adalah mengubah prinsip kehadiran fisik kantor menjadi kehadiran nilai dan aktivitas ekonomi yang signifikan (significant economic presence).
Peraturan perpajakan itu perlu seiring perkiraan Google-Temasek bahwa konsumsi barang dan jasa tak berwujud di Indonesia akan melonjak menjadi Rp277 triliun pada 2025. Dengan demikian potensi PPn dari transaksi itu mencapai Rp27 triliun. Potensi pajak yang tidak sedikit bagi pundi-pundi negara yang terus menggenjot pendapatan dari perpajakan.